JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Pengamat Politik Universitas Telkom Dedi Kurnia Syah menilai, penggunanaan pasal makar untuk menghalau gerakan massa tidak lah tepat. Hal itu sampaikan Dedi, terkait adanya penangkapan sejumlah aktivis yang gencar menyuarakan people power.
"Tidak tepat, terlebih undang-undang yang afiliasinya terhadap pengjinaan Presiden telah di hapus, begitu juga perundangan tentang makar. Sehingga membangkitkan lagi tuduhan makar, pada gerakan massa teramat tidak relevan," ujar Dedi, saat berbincang dengan Teropong Senayan, pada Kamis 16 Mei 2019.
Direktur Pusat Studi Demokrasi dan Partai Politik (PSDPP) ini pun menjelaskan, bahwa setidaknya ada dua dampak sosial dan politik, jika kepolisian memaksakan penggunakan undang-undang makar untuk membatasi gerak publik dalam menunjukkan ekspresi politik.
Pertama, iklim demokrasi tercemar dengan keputusan represif kepolisian, hal ini justru akan menimbulkan gejolak di masyarakat, sekaligus menghadirkan rasa takut untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk di media sosial yg telah menjadi ruang publik.
"Jika kemungkinan ini terjadi maka saat itu juga demokrasi telah gugur, setidaknya dalam hal memberikan ruang kebebasan publik," jelasnya.
Kedua, Dedi kembali menerangkan, secara politik memungkinkan pihak kepolisian bertindak diluar batas-batas kewenangan hukum, lantaran perundangan yang mengatur makar telah dihapus.
Sehingga, Doktor Diplomasi Politik dan Kajian Media ini pun menegaskan, pihak kepolisian harus memahami kondisi sosial politik publik.
"Bahwa dengan kedewasaan berdemokrasi, tidak seharusnya dengan cara menekan publik. Tetapi memberikan pengayoman bagi siapa saja warga negara dalam menyalurkan aspirasinya di muka umum, dengan tetap menjaga stabilitas dan keamanan yang diperlukan," pungkasnya. (ahm)