Opini
Oleh Dr. KH Amidhan Shaberah Ketua MUI (1995-2015) dan Komnas HAM (2002-2007) pada hari Senin, 03 Jun 2019 - 08:57:43 WIB
Bagikan Berita ini :

Idul Fitri dan Kesucian Kemanusiaan

tscom_news_photo_1559527063.jpg
Dr. KH Amidhan Shaberah Ketua MUI (1995-2015) dan Komnas HAM (2002-2007) (Sumber foto : ist)

Islam sebagai agama terakhir dengan kitab suci Al-Qur’an harus diakui sebagai pencetus Hak Asasi Manusia (HAM) pertama di dunia – 14 abad sebelum deklarasi HAM PBB (1948). Al-Qur’an secara tegas menyatakan manusia di hadapan Allah sama, tidak tergantung warna kulit, suku, dan bangsa. Yang membedakannya adalah perbuatan baiknya kepada satu kemanusiaan.

Dalam narasi Al-Quran, kemuliaan manusia itu tergantung seberapa besar perbuatan baiknya (takwa, amal saleh, dan sikap positif) di sisi Allah (Al-Hujarat 13). Menurut Al-Quran Surah Al-Hujarat 13 itu, Allah menciptakan manusia (pria dan wanita), berbangsa-bangsa, dan bersuku-suku, semata-mata untuk saling mengenal. Kata “saling mengenal” ini perlu digaris bawahi. Ini karena statement “saling mengenal” merupakan dasar dari relationship yang menjadi fondasi penghormatan manusia terhadap manusia lain. Dari perspektif humanisme universal, penghormatan manusia terhadap manusia lain merupakan HAM yang hakiki, di mana PBB baru mendelarasikannya pada tahun 1948 setelah selesainya Perang Dunia Kedua.

Konsep dasar HAM yang diinisiasi Islam yang belum pernah ada pada agama dan kepercayaan sebelumnya adalah pengakuan terhadap kesucian manusia. Islam secara tegas menyatakan bahwa manusia lahir ke dunia dalam keadaan suci. Nabi Muhammad menyatakan, setiap manusia yang lahir ke dunia dalam keadaan suci tanpa dosa (kullu mauluudin yuuladu ‘alal fitri). Pendidikan dari orang tua dan lingkunganlah yang merubah anak manusia menjadi apa kelak. Konsep kefitrahan manusia inilah yang menjadikan ajaran Islam sangat progresif. Islam menolak ajaran bawa manusia terlahir membawa dosa dan samsara seperti ajaran agama-agama lain yang ada sebelumnya.

Penegasan Islam terhadap kesucian kelahiran manusia ini, dalam perspektif HAM merupakan sebuah deklarasi kemanusiaan paripurna dari sebuah ajaran agama (tauhid). Kenapa demikian? Karena pandangan kesucian manusia yang lahir di dunia merupakan dasar dari “eksistensi yang manusia harus dihormati dan dijunjung tinggi keberadaannya” – terlepas dari gender, suku, warna kulit, dan bangsanya.

Demikian tinggi penghormatan Islam terhadap kemanusiaan, sehingga Al-Qur’an – kitab suci Islam – menyatakan: Barangsiapa membunuh seorang manusia (padahal ia tak bersalah seperti membunuh orang lain atau membuat kerusakan dimuka bumi), maka dia (pembunuh) seakan-akan telah membunuh seluruh umat manusia. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan seluruh umat manusia (Al-Quran Surat Al Maidah 32). Makna dari ayat tersebut sangat mendalam dan memperkuat fondasi HAM universal.

Dari perspektif inilah, kita seharusnya merenungkan kebesaran Hari Raya Idul Fitri. Idul Fitri adalah hari di mana umat Islam diingatkan kembali oleh Allah bahwa manusia pada hakikatnya adalam makhluk yang suci. Kesucian itu akan automatically terinternalisir kepada setiap manusia jika sang manusia mampu mengendalikan nafsu angkara murkanya; nafsu syahwat seksnya; syahwat kuasanya; syahwat hartanya; dan syahwat politiknya. Untuk dapat mengendalikan semua nafsu syahwat itu, Allah memerintahkan umat Islam melaksanakan puasa di Bulan Ramadhan (Surah Al-Baqoroh 183). Perlu diketahui, Allah juga memberitahukan bahwa puasa tersebut telah diwajibkan pula kepada umat-umat sebelumnya. Apa artinya? Puasa adalah sebuah simbol yang terintegrasi dan terkoneksi terhadap perintah penghormatan terhadap kemanusiaan.

Dalam konteks menjalankan nilai-nilai kemanusiaan dan HAM-nya, Agama Islam – seperti dikatakan Prof. Dr. Quraish Shihab dalam pengajian Tafsir Al-Misbah di Metrotivi belum lama ini – lebih mendahulukan perdamaian dibandingkan apa pun. Hal itu dicontohkan Rasul pada saat menandatangani Perjanjian Hudaibiyah. Saat itu, orang kafir Mekah menuntut Rasul untuk tidak melakukan umrah di Mekah, agar perjanjian perdamaian diterima pihak Quraish. Dan Rasul menerimanya, padahal tuntutan tersebut sebetulnya terlalu berat bagi umat Islam. Tapi demi terselenggaranya perdamaian, Rasulullah menyetujuinya. Itulah sebabnya, kata Qurais Shihab, Islam mendahulukan perdamaian ketimbang pelaksanaan agama. Dalam bahasa tagar sekarang, Rasulullah berprinsip: “Damai dulu, Islam kemudian.”

Apa arti semua itu? Perdamaian adalah segala-galanya. Kenapa demikian? Karena perdamaian hanya akan terjadi jika manusia punya niat suci. Dan niat suci hanya terjadi jika manusia itu hatinya suci. Itulah sebabnya, kata Nabi Muhammad, hanya orang yang hatinya damai yang masuk surga. Surga adalah tempat yang damai yang dihuni oleh orang-orang yang hatinya damai (salam).

Dalam kaitan ini, perlu digarisbawahi, bahwa Islam dengan makna damai, itulah hakikat agama yang dibawa Muhammad SAW. Al-Quran menyatakan bahwa Muhammad diutus Allah untuk menjadi rahmat seluruh alam (Surah Al-Anbiyaa 107). Rahmat itu menjelma dalam kehidupan yang damai, saling menghargai antarsesama, dan tegaknya keadilan untuk semua.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #lebaran  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Ahlan Wa Sahlan Prabowo Sang Rajawali!

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Rabu, 24 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Prabowo Subianto sah sebagai Presiden RI ke delapan. Itu adalah takdir Prabowo yang biasa dipanggil 08 oleh koleganya. Keputusan MK ...
Opini

Jalan Itu Tidaklah Sunyi

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --"Jika Mamah jadi penguasa apakah Mamah akan menjadikan anak Mamah pejabat saat Mama berkuasa?" Itu pertanyaan anakku malam ini. Aku mendengarkan anakku ini. ...