Opini
Oleh Margarito Kamis (Doktor HTN, Staf Pengajar FH. Univ Khairun Ternate) pada hari Jumat, 14 Jun 2019 - 06:50:50 WIB
Bagikan Berita ini :

Pilpres Disidangkan: Dengan Apa MK Membimbing Keadilannya?

tscom_news_photo_1560469850.jpeg
Margarito Kamis (Doktor HTN, Staf Pengajar FH. Univ Khairun Ternate) (Sumber foto : ist)

Perselisihan hasil pemilihan umum presiden dan wakil presiden tahun2019 ini akan disidangkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 14 Juni.Persidangan ini tentu saja dilihat sebagai sebuah pilihan dan panggung
menarik. Menarik bukan karena tndakan ini menandai fasilitas yang tersedia dalam katatanegaraan demokratis Indonesia yakni MK, dimanfaatkan. Bukan.

Menarik karena sejumlah soal yang disajikan dalam permohonanPrabowo-Sandi diketahui telah dipersoalkan, tentu pada tahap tertentu dalam proses pemilu ini. Tetapi respon KPU tidak cukup menjanjikan, dan tidak mampu mengurangi kekhawatiran, bahkan kecurigaan beralasan pasangan Prabowo-Sandi. Penilaian pasangan Prabowo-Sandi terhadap DPT misalnya, terlihat cukup beralasan.Beralasan karena itu isu DPT kembali mewarnai permohonan ini. Tentu keduanya mengharapkan MK tidak hanya mengenalinya, tetapi memeriksasecara jujur. Isu ini dalam kenyataannya berakumulasi dengan isu lainnya yang cukup menarik. Diantara isu menarik itu, status hukum Kiyai Ma’ruf di BNI Syariah merupakan isu paling menantang. Menariknya lagi isu ini muncul setelah permohonan diperbaiki.

Apa Bimbingannya?

Dua soal di atas – DPT dan Status Kiyai Ma’ruf- mudah sekali, dalam perspektif tradisional hukum pemilu, yang diikuti secara acak oleh MK sebagaihal yang tidak memiliki sifat sebagai angka, hasil pemilu. Itu isu yang dalam hukum pemilu dikenali sebagai isu administratif, tata cara, prosedur dan
mekanisme. Menurut UU pemilu Nomor 7 Tahun 2017 kedua isu harusdipersoalkan di Bawaslu dalam kerangka sengketa administrasi.Sama dengan sifat hukum dari kedua isu di atas, isu lainnya misalnya
soal besaran dana kampanye Pak Jokowi. Isu lainnya adalah jumlah anggota KK dalam satu daftar KK. Isu-isu ini, semuanya sekali lagi memiliki sifat administratif. Dalam kenyataannya semua isu itu tidak dibawa ke Bawaslu oleh Prabowo dan Sandi. Semua isu itu baru muncul dalam permohonan untuk diperiksa oleh MK.

Dalam perspektif konservatif, semua isu di atas harus diakui memiliki hukum tersendiri, berbeda hukumnya dengan hasil, angka perolehan suara pasangan capres dan cawapres. Disitu soalnya. Akankah MK menerima semua isu itu sebagai objectum litis, objek perkara dan memeriksanya? Secara teknisitu akan dapat dijernihkan oleh ahli yang dihadirkan kedua belah pihak, bahkan termasuk pihak ketiga, Pak Jokowi dan Kiyai Ma’ruf yang dalam sidang ini disebut pihak terkait. Tetapi apapun pandangan para ahli itu, hakimlah yang menentukan.

Pada titik itulah terasa beralasan menyodorkan pertanyaan “dengan apa
para hakim yang memeriksa, mengadili dan menetapkan hukum” atas perkaraini membimbing keadilannya? Bukan hakim harus adil, tetapi bagaimana hakim membimbing keadilannya? Keadilan yang akan dinyatakan dalam putusan hakim itu penting, tetapi harus itu tidak lebih penting dari “bagaimanakeadilan itu dibimbing? Samir Aliyah mengutip sabda Nabi Sallallahu Alaihi wa Sallam, yang isinya “ Hakim itu ada tiga; satu di surga, dan dua di neraka. Adapun yang di surga adalah orang yang mengerti kebenaran lalu dia memutuskan dengannya. Sedangkan orang yang mengerti kebenaran lalu dia menyeleweng dalam hukum maka dia di neraka. Sedangkan orang yang memutuskan kepada manusia berdasarkan kebodohan, maka dia (juga) di neraka.

Dalam riwayat lain disebutkan, dan ini dikutip oleh Muhammad Salam Makdur Hakim itu ada tiga; Dua di neraka dan satu di surga. Hakim yang memutuskan dengan kebodohan sehingga dia merugi karena merusak harta
manusia dan merusak dirinya, maka dia di neraka. Demikian pula hakim yang memutuskanhukum dengan zhalim sehingga dia merusak harta manusia dan dirinya, maka dia di neraka. Sedangkan hakim yang berilmu lalu dia bertindak adil, menjaga harta manusia dan menjaga dirinya, maka dia berada di surga.

Abu Hanifah yang dua kali menolak diangkat oleh penguasa bani Abasyiah menjadi hakim memberi tiga kategori tentang hakim. Katanya, hakim ada tiga. Pertama, orang yang bagus dalam berenang dan dia memasuki laut yang panjang sehingga terlelahkan lalu tenggelam. Kedua, orang yang sedikit menguasai renang maka dia tenggelam karenanya. Ketiga, orang yang tidak bisa berenang dan menceburkan dirinya ke dalam air, sehingga dia tenggelam seketika.

Hakim, siapapun pertama-tama harus membaca teks hukum, karena di situlah hukum ditemukan. Bagaimana hakim tahu atau menemukan teks yang dibacanya memiliki arti lebih dari satu? Dengan apa ia mengetahuinya?Mengetahuinya dengan pengetahuan hukum sebagai alat bantunya atau apa? Jawabannya positif, ya. Tetapi bagaimana mengerakan pengetahuan hukum itu? Itu juga soal.

Nasr Hamid Abu Zaid mengutip sebuah hukum menarik. Yang dicontohkan adalah tindakan Sayidina Umar Bin Khattab memutuskan (bukandalam sidang) membagi zakat kepada orang muallaf. Dalam kasus ini Zaidberpendapat Sayidina Umar dapat mampu menangkap hikmah dari tasyri
di balik pembagian zakat kepada muallaf. Ia memahami hikmah dari“penyantunan” tersebut dimaksudkan untuk memperkuat Islam yang masihlemah pada saat itu. Betapapun hebatnya hukum ini, Zaid mengakuidiperlukan kajian komprehensif tentang hubungan teks dan realitas.

Tidak Susah, Tetapi Tidak Mudah

Sayidina Umar Bin Khattab pernah menulis surat yang ditujukan kepadaMuawiyah Bin Abu Sufyan. Disebutkan dalam surat itu konsistenlah dalamkebenaran, niscaya Allah menempatkanmu pada posisi kebenaran, pada hari yang Dia tidak memutuskan melainkan dengan kebenaran. Diantara perkataanUmar, tulis Samir Aliyah “celakalah bagi para penguasa bumi di hadapan
Penguasa langit pada hari mereka bertemu dengan-Nya kecuali orang yang memerintah dengan adil, memutuskan dengan kebenaran, dan tidak memutuskan hukum dengan hawa nafsu, bukan karena kerabat, bukan karena senang pujian atau takut kecaman manusia dan menjadikan Kita Allah di depan matanya.

MK harus diakui telah terbiasa memutus perselisihan sejenis. Dalamsetiap aspek perkara sejenis dan hukumnya, harus diakui MK telahmengetahuinya. Apakah di lautan sejenis dan alat renang -metode tafsir- yang juga sejenis yang telah berulangkali digunakan, akan direnangi dan digunakan sebagai alat oleh MK saat ini? Wallau a’alam bissyawab.Tafsir adalah inti dalam penegakan hukum, begitulah ilmu hukum
mengajarkan. Teks “hasil” dalam pasal 24C ayat (1) UUD 1945 tetap begitusaja, tidak berubah. Jadi? MK akan tetap seperti dulu menyamakan teks “hasil dengan angka”? Saya tidak tahu. Yang saya tahu sejauh yang bisa dinyatakan adalah realitas pemilu berubah. Dalil-dalil yang diajukan Prabowo-Sandi di atas terlihat sebagai realitas baru dalam pilpres.

Beranikah MK menunjuk perubahan realitas itu sebagai “sebab khusus”sehingga teks “hasil” pada pasal 24C ayat (1) yang bersifat umum ditarik dan dimaknai dalam kerangka sebab yang khusus? Menurut saya beralasan untuk dilakukan, karena satu sebab. Sebabnya adalah MK diadakan untuk menjaga prinsip-prinsip konstitusi. Konstitusi adalah hukum tertinggi untuk bangsa ini.

Jadi MK dalam hakikatnya sebenarnya diadakan untuk menjaga bangsa ini.
Apakah teks “hasil” hanya menunjuk pada realitas “memindahkan,mengambil” angka orang lain, menjadikan angkanya lebih banyak jumlahnya dari angka yang diperoleh orang lain. Bilapun begitu berfikir atas teks “hasil’ maka soalnya rasionalkah tafsir itu tak dihubungkan dengan hukum tentang cara –prosedur- memperoleh suara?

Dalam ilmu hukum adil tidak pernah bisa secara rasional disamakandengan “menyamakan atau membedakan, menambahkan atau mengurangi secara sah atau tidak sah.” Tidak. Adil dalam ilmu hukum adalah soal keseimbangan dalam perspektif paradigmatik hak. Itu yang dikaji secara hebat oleh John Rawls, filosof kawakan, mutakhir berkebangsaan Amerika Serikat ini. Peradigma keadilan ini, hebatnya dinyatakan dalam UU pilkada dalam bentuk petahana harus –imperative- cuti, dan tidak menggelontorkan APBD untuk Bansos. Tragisnya paradigm hebat ini tidak diterjemahkan dan diatur dalam UU Pemilu kali ini. Tragis betul.

Pintar itu harus, begitu juga takut pada Dia yang Maha Adil, dan beraniberkata benar. Satukan semua menjadi satu jiwa, nafs adalah cara orangbesar membimbing keadilannya. Keadilan bukan soal tambah-tambah, kurang-kurang, bagi-bagi dan kali-kali. Bukan.Keadilan adalah keseimbangan yangmenghasilkan kehidupan yang di dalamnya sah dan tidak sah, tidak bercampur menjadi satu.

Jakarta, 14 Juni 2019

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #mahkamah-konstitusi  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Kode Sri Mulyani dan Risma saat Sidang MK

Oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
pada hari Kamis, 18 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Sri Mulyani (dan tiga menteri lainnya) dimintai keterangan oleh Mahkamah Konstitusi pada 5 April yang lalu. Keterangan yang disampaikan Sri Mulyani banyak yang tidak ...
Opini

Tersirat, Hotman Paris Akui Perpanjangan Bansos Presiden Joko Widodo Melanggar Hukum: Gibran Dapat Didiskualifikasi?

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --1 April 2024, saya hadir di Mahkamah Konstitusi sebagai Ahli Ekonomi dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2024. Saya menyampaikan pendapat Ahli, bahwa: ...