Opini
Oleh Margarito Kamis (Doktor HTN, Staf Pengajar FH Univ. Khairun Ternate) pada hari Sabtu, 15 Jun 2019 - 17:54:39 WIB
Bagikan Berita ini :

Pilpres Sudah Disidangkan: Sejauh apa MK Mengenal Hukum Pilpres?

tscom_news_photo_1560596079.jpeg
Ilustrasi sidang MK (Sumber foto : ist)

Pilpres 2019 yang hasilnya disengketakan di Mahkamah Konstitusi (MK) sudah disidangkan pada hari jumat tangal 14 Juni. Saling sanggah antara tiga pihak –pemohon (pasangan nomor urut 2), termohon (KPU) dan pihak terkait (pasangan nomor urut 01) secara formil (dalam sidang) memang belum terjadi. Tetapi metafora-metafora yang muncul sebagai tanggapan atas dalilpemohon sudah terlihat secara fragmentasi.

Tautan berita di media-media online misalnya diajukan pemohon sebagai bukti, setidaknya tautan itu dinilai memiliki kekuatan sebagai alatbukti, menuai sanggahan ringan dari kubu pasangan nomor 1. Dalammembantahnya, pemohon menunjuk hukum alat bukti dalam UU MK sebagai pijakannya. Dalam UU ini memang dinyatakan “petunjuk sebagai alat bukti.” Dalil pemohon tentang pengerahan ASN oleh pasangan nomor 1 terlihat disanggah oleh pihak terkait, juga dengan nada yang lumayan ringan.

Apa buktinya, siapa saja mereka, dimana, apa bentuknya dan kapan, begitu kurang lebih esensi sanggahan pihak terkait. Sanggahan ini tipikal logika pembuktian. Menarik juga melihat sanggahan pihak terkait terhadap dalil besaran sumbangan Pak Jokowi. Terhadap hal ini sanggahannya sangat teknis, tidak ada yang salah karena telah diaudit akuntan publik.Selalu seperti itu sanggahan pihak terkait terhadap status Kiyai Ma’ruf,
sederhana. Anak BUMN menurut pihak terkait bukan BUMN, sehingga secarahukum tidak memiliki konsekuensi apapun, begitu argumennya. Sederhana sekali.

Nada yang sama juga terlihat pada sanggahan KPU. Praktis sanggahan-sanggahan ini cukup ringan. Mengenai DPT yang didalilkan pemohon disanggah pihak terkaitdengan argumen yang nadanya menunjukan level analisis yang lumayan dalam. DPT pemilu kali ini satu. Pemilu kali ini adalah pemilu legislatif dan pilpres. Konsekuensinya DPT yang sama yang dipakai untuk dua peristiwa (pileg dan pilpres) secara serentak harus melahirkan akibat hukum yang sama. Tidak bisa yang satu sah, tetapi yang lainnya tidak sah. Ini menarik.

Perintah UUD 1945

Dalam nada yang lebih umum semua yang didalilkan pemohon padakategori ini –kualitatif- istilah yang dibuat sendiri tim kuasa hukum pemohon. Istilah ini nampaknya digunakan untuk menghindari kategorisasi hukum atas dalil-dalil itu sebagai hal-hal yang bersifat administratif menurut hukum UU
Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu. Menurut UU Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilu hal-hal yang bersifat administratif merupakan wewenang – kompetensi absolut- Bawaslu.Konsekuensinya tidak bisa disengketakan di MK.

Itulah esensi argumentasi pihak terkait bahwa seharusnya hal-hal itudilaporkan ke Bawaslu, bukan ke MK karena hal-hal itu tidak menjadi
wewenang memeriksa MK. Konsekuensinya MK tidak bisa memeriksanya. Perbedaan pandangan kedua belah pihak memunculkan pertanyaan dimanakah MK mengambil posisi. Posisi MK dalam dua isu berbeda ini, hemat saya ditentukan oleh sejauh apa MK mengenal hukum pemilu. Apakah MK mengenal hukum pemilu semata-mata bersumber pada UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu berikut Peraturan-Peraturan KPU?

Bila hanya dua kategori hukum itu yang dikenali MK dan menjadi dasar MK mengambil posisi dalam memeriksa perkara ini, maka argumentasi pihakterkait bernilai hukum cukup. Begitu sebaliknya, bila MK mengenal hukumpemilu tidak sebatas UU Nomor 17 Tahun 2017 dan Peraturan KPU, maka
soalnya menjadi lain secara fundamental. Konsekuensinya MK berwenang memeriksa, mengadili dan memutus dalam pengertian menetapkan hukum atas semua dalil pemohon berkategori kualitatif itu.
Hukum pemilu yang manakah yang harus diambil MK dalam menentukan posisinya? Hemat saya hukum pemilu yang harus diambil dan dijadikan pijakan penentu posisi MK adalah kedua-duanya; UUD 1945 dan UU
berikut Peraturan KPU. Pemilu presiden secara langsung oleh rakyat menurut
hukum ada karena diperintahkan oleh UUD 1945. Perintah ini tertuang dalam
pasal 6A UUD 1945. Begitu juga dengan pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD.

Penggabungan kedua jenis pemilihan yang berbeda pada saat ini jugadiperintahkan oleh konstitusi. Perintahnya melalui putusan Mahkamah Konstitusi. Azas-azas pemilu yang terdapat dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 itu, untuk alasan apapun, sepenuhnya merupakan fotokopy dari asas pemilu yang terdapat dalam pasal 22E ayat (1) UUD 1945.

Dalam ilmu hukum, sistem hukum sebuah negara merupakan tatananhukum yang berlaku dalam negara tersebut. Tatanan ini merupakankristalisasi dari beragam hukum. Itu yang dalam sistem hukum Indonesia
dinyatakan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan. UUD, UU, Perpu, PP, Perpres, Permen dan Perda yangterintegrasi secara hirearkis sebagai sistem hukum Indonesia.

Fungsi sistem hukum tidak lain selain sebagai pemecah kebuntuan-kebuntuan hukum, karena kelemahan satu UU dapat ditutupi dengan UU laindengan cara interpretasi sistematis atau memungkinkan penggunaan prinsip-prinsip hukum, misalnya lex spesialis derogat legi generale. Oleh karena pemilu yang diperintahkan oleh konstitusi itu secara tegas mengatur, dalam pasal 6A ayat (5) “tata cara pemilu presiden” diatur dengan UU, maka beralasan MK berdiri pada titik ini, bukan pada UU pemilu saja.

Ini Konsekuensinya

Apakah MK telah memperlihatkan sikapnya berdiri pada titik pemilutidak bisa dilihat dan dikenali semata-mata dengan lensa UU Nomor 7 Tahun 2017? MK telah memeriksa sengketa ini. Permohonan Prabowo-Sandi yang mendalilkan sejumlah soal yang berkategori kualitatif, kata lain dari “tata
cara” menurut kata pasal 6A ayat (5) UUD 1945 atau “prosedur, tata cara dan
mekanisme” menurut UU Nomor 7 tahun 2017, telah diperiksa.Akankah hal kualitatif itu akan terus diperiksa? Bila ya, maka sengketa Ini akan sengat menarik dalam perspektif bukan hanya ilmu hukum tata negara, tetapi bangsa besar ini mengatur dirinya, mengatur kehidupanbernegara. Saya, dengan menyelami sejarah ilmu hukum tata negara dansejarah keadilan harus memberi selamat kepada MK.

Memberi selamat karena posisi itu menegaskan paradigma keadilan
baru di Indonesia dalam hukum pemilu disandarkan pada cara, prosedurmemperoleh hasil. Keadilan perolehan angka “hasil” dipertalikan ataudisandarkan pada “tata cara atau prosedur atau mekanisme” mencapai hasil itu. Itu hebat dengan segala alasan yang menyertainya.

Pertempuran argumen dalam sidang-sidang berikut, terutama padasaat memeriksa saksi ahli akan sangat seru. Pertarungannya meliputi dua dalilmematikan “DPT dan status hukum Kiyai Ma’ruf.” Soal DPT pertarungannya berkisar pada argumen pendahuluan kuasa hukum Pak Jokowi-Kiyai Ma’ruf bahwa DPT pada pemilu kali ini hanya satu, digunakan untuk pilpres dan pileg. Itu krusial. Soal status Kiyai Ma’ruf pertarungannya berkisar pada apakah anak BUMN berkualifikasi hukum sebagai BUMN atau tidak.

Perihal DPT yang secara faktual harus diakui digunakan baik untuk pilpres maupun pileg, akan bisa dipatahkan secara mudah bila kuasa Prabowo-Sandi menyajikan secara argumentatif hal-hal hukum yang dapat dikategori sebagai “sebab khusus.” Apa sebab khusus itu? Dalam kasus ini sebabkhusus itu adalah “DPT yang dipersoalkan TIM BPN Prabowo-Sandiadalah DPT yang dikaitkan langsung dengan Pilpres bukan pileg.”
Kenyataan obyektif itu menjadi dasar sanggah, yang bersifat mengenyampingkan argumen bahwa DPT hanya satu dan digunakan untukdua hal hukum; pilpres dan pileg. Praktis “sebab khusus” itu menjadi
pembenaran dalil Prabowo-Sandi tentang DPT, sekaligus mengesampingkansanggahan kuasa Pak Jokowi-Kiyai Ma’ruf.

Siapa yang mengangkat Kiyai Ma’ruf menjadi Ketua atau apapunkualifikasinya (ketua atau anggota) Dewan Pengawas Bank Syariah Mandiri,yang merupakan usaha Bank Mandiri itu? Bila menteri yang mengangkat, mengapa harus menteri? Apakah Dewan Pengawas berkualifikasi dan memiliki sifat hukum sebagai organ Bank Syariah Mandiri? Apakah uang yang digunakan mendirikan dan menjadi modal usaha Bank Syariah Mandiri berasal dari Bank Mandiri? Bila ya, apakah uang pada Bank Syariah Mandiri itu kehilangan sifatnya sebagai uang dari Bank Mandiri, yang secara hukum merupakan uang negara, dalam bentuk kekayaan negara yang terpisahsetelah disetorkan dan menjadi modal usaha Bank Syariah Mandiri?

Itu sebagian soal hukum yang harus kristalkan oleh kuasa hukumPrabowo-sandi di satu sisi, dan disanggah atau dipecahkan secara
argumentatif dan logis oleh kuasa hukum Pak Jokiwi dan Kiyai Ma’ruf dalam sidang nanti. Anak BUMN memang tidak disebutkan dalam UU BUMN sebagai BUMN, tetapi UU ini memungkinkan BUMN mendirikan, memperluas usahanya dengan cara mendirikan badan hukum baru.

Kenyataan ini memunculkan hukum berupa BUMN dan anak usaha BUMN memiliki pertalian sifat dan kualitas hukum. Konsekuensinya anak usaha BUMN tidak memiliki sifat dan kapasitas hukum lain selain sifat dankapasitas hukum sebagai BUMN.
Diatas itu semua mari menantikan dan biarkan MK berenang di lautanpenuh gelombang dan arus besar ini. Biarkan MK bekerja secara pintar, jujur,dan berani di lautan ini. Bangsa ini sedang menanti dengan penuh harapkeadilan dalam putusan MK untuk dijadikan kekuatan baru, yang tak
tertandingi buat kehebatan ini di masa-masa berat yang akan datang. ***

Jakarta 15 Juni 2019

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #mahkamah-konstitusi  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Kode Sri Mulyani dan Risma saat Sidang MK

Oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
pada hari Kamis, 18 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Sri Mulyani (dan tiga menteri lainnya) dimintai keterangan oleh Mahkamah Konstitusi pada 5 April yang lalu. Keterangan yang disampaikan Sri Mulyani banyak yang tidak ...
Opini

Tersirat, Hotman Paris Akui Perpanjangan Bansos Presiden Joko Widodo Melanggar Hukum: Gibran Dapat Didiskualifikasi?

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --1 April 2024, saya hadir di Mahkamah Konstitusi sebagai Ahli Ekonomi dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2024. Saya menyampaikan pendapat Ahli, bahwa: ...