Opini
Oleh Margarito Kamis (Doktor HTN, Staf Pengajar pada FH Univ Khairun Ternate) pada hari Rabu, 19 Jun 2019 - 05:56:34 WIB
Bagikan Berita ini :

MK di Lautan Keadilan Prosedural

tscom_news_photo_1560898594.jpg
Margarito Kamis (Doktor HTN, Staf Pengajar pada FH Univ Khairun Ternate) (Sumber foto : ist)

Sungguh tak berarti, tak bermakna,hambarnya kemenangan yang diperoleh dengan cara yang terkutuk oleh adab keadilan. Keadilan, karenaitu dalam urusan apapun pada semua aspek kehidupan yang beradab danbermartabat, tidak bakal bisa, dengan cara apapun diletakan sejauh mungkin dengan tata cara, prosedur. Prosedur, karena itu bernilai sama dengan substansi.

Itu sebabnya prosedur, apapun yang dimaksudkan dengannya, tidak pernah menemukan sifatnya sebagai hal yang tidak andal untuk semua orang beradab, bermartabat dan mereka yang tahu bahwa Pencipta dirinya Maha Tahu dan Maha Teliti. Persis seperti itu yang dapat diduga didemostrasikan oleh dua kubu kuasa hukum –kuasa hukum Prabowo-Sandi (Pemohon) dan kuasa hukum Jokowi-Ma’ruf (Pihak terkait) dan termohon (KPU) di MK.

Kedua kubu, sejauh yang terihat dan dapat diresapi dengan baik mengadu “prosedur” dalam mempertahankan hal yang mereka yakini benar. Pada awalnya kuasa pemohon menyodorkan serangkaian hal yang mereka sebut kualitatif, sebelum akhirnya memadatkannya dengan hal-hal yang
disifatkan kuantitatif. Menyambut serangan yang terlihat mematikan itu, kuasa hukum pihak terkait pun menembakan serangan yang pada level tertentu terlihat mematikannya juga. Peluru yang ditembakan sama; prosedur.

Kuasa hukum mereka, begitu yang tersaji di persidangan itu menyodorkan sisi-sisi prosedur dalam membetengi keyakinan mereka. Itu tercermin dari argumen mereka bahwa hal yang dipersoalkan pemohon seharusnya di periksa di Bawaslu, bukan di MK.Sembari menggenggam erat Peraturan MK tentang acarapemeriksaaan perkara pilpres, kuasa hukum Jokowi-Ma’ruf “mendiskualifikasi perbaikan permohonan“ Prabowo-Sandi. Argumennya sederhana; hukum acara persidangan perkara pilpres yang diatur dalam Peraturan MK Nomor 4 tahun 2018 dan Nomor Tahun 2019 tidak mengenal “perbaikan permohonan.”

Esensinya

Tukang hafal hukum suka berdendang dengan menunjuk “hukum acara” sebagai hukum yang dalam sifatnya mengatur tata cara berperkara,
termasuk bersidang. Sebatas itu, sesederhana itu. Hukum substansial dalam pandangan itu terakdir sebagai hukum yang tak memiliki sifat prosedur.Hanya hukum prosedural saja, dalam pandangan itu yang ditunjuk sebagai cara mempertahankan hak yang diatur dalam hukum substansial.

Tidak benar, untuk alasan apapun pandangan itu, karena satu sebabkecil. Sebab itu adalah hukum, dalam bentuk dan apapun sifatnya terdefenisikan secara hakiki sebagai cara “mengekang” nafsu kebinatangansetiap orang. Dalam sifat itu hukum untuk semua jenisnya tidak pernahdimaksudkan lain selain “mencegah- menghalangi - membimbing” siapapunagar menggunakan kekuasaan atau kekuatannya merampas hak orang.
Karenan sifat hukum seperti diatas sangat umum, maka diperlukanpengkhususan. Pengkhususan inilah yang melahirkan hukum yang mengatur soal-soal teknis, prosedural; mengatur batas – cara – menuntut hak,
membuktikan tuduhan, nilai dan kekuatan bukti, dan cara hakim sampai pada kesimpulan dan menjatuhkan hukum atas perkara itu.

Hukum prosedural, dengan demikian merupakan hukum tentang caramenjinakan keangkuhan, mendekatkan setiap orang pada kepastian,mengisolasi kebencian dan memendekakan jarak setiap orang pada
kepastian. Hukum ini melarang, dalam esensi yang agung hak dan bathilharus dipisahkan secara nyata. Hak lahir dari sebab yang benar dan pasti, begitu juga hak hilang juga harus dengan sebab yang pasti.

Dalam sidang di MK kemarin, terlihat jelas hal itu didemonstrasikan kuasa hukum termohon (KPU) dan kuasa hukum pihakt terkait. Apa buktinya,dimana, kapan, siapa melakukan, bagaimana bentuk penyimpangannya atau penyelewengannya adalah ungkapan khas hukum acara. Begitulah keharusan-keharusan prosedural.

Kepekaan

Sayidina Ali Bin Abi Thalib, pintu ilmu ini kalah dengan seorang yahudi yang dituduh Sayidina, Amirul Mukminin ini, mengambil baju besinya. Penyebabnya sederhana. Sayidina Ali tidak mampu menyodorkan bukti atas klaimmnya itu. Sayidina Ali hanya bisa menghadirkan Qanbar, pembantunya dan Hasan, anaknya sebagai saksi atas tuntutannya. Hebatnya menurutSyuraih Al-Iraqi, hakim hebat itu, keduanya tidak memenuhi syarat sebagai saksi.

Qanbar terikat hubungan kekerabatan dengan Sayidina Ali, dan Hasan, anaknya yang menurut Sayidina Ali telah dikatakan RasulullahSallahllahu Alaihi wa Sallam sebagai ahli surga itu, memiliki pertalian darah,jiwa dengan Sayidina Ali. Gugurlah syarat menjadi saksi. Sayidina Ali pun
kalah.

Sayidina Umar Bin Khathab kalah karena ia tidak mampumenyodorkan bukti bahwa tanah yang dibelinya dari seseorang dan berada
dalam penguasaannya, yang ternyata diklaim seorang Badui sebagai miliknya. Si Badui ternyata tidak memiliki bukti juga dan meminta kepada Abu Yusuf sebagai Qadi Al’Qhudat (Hakim Agung) membebani pembuktian kepada Sayidina Umar. Si Badui meminta Abu Yusuf menyuruh Sayidina Abubakar bersumpah bahwa tanah itu miliknya. Sayidina Umar tidak mampu
melakukannya, karena tidak memiliki bukti pembelian. Akibatnya Abu Yusuf,
hakim pertama dalam sejarah Islam sebagai hakim agung itu mengalahkannya.

Praktis kedua Khulafa Ar-Rashidin ini kalah, dalam perkaranya masing-masing dengan sebab keduanya tidak dapat menyodorkan bukti. Padahal baju yang dikuasai si Yahudi sebenarnya milik Sayidina Ali, dan tanah yang dikuasai Sayidina Abubakar diperoleh dengan cara membeli. Hukum prosedural ternyata mengalahkan kedua orang hebat ini.

Hari ini, pada sidang yang ketiga, sesuai agenda sidang perkara iniMK akan memeriksa bukti surat, keterangan saksi dan keterangan ahli (saksi ahli) dari kuasa hukum pemohon. Kabarnya saksi yang akan berjumlah 15 orang dan ahli sebanyak dua orang. Apa maknanya? Pemohon dapat mengajukan bukti atas tuntutannya. Masalahnya dalil apakah yang akan dibuktikan, dan apakah bukti itu memiliki kekuatan serta nilai sebagai bukti yang sah dan meyakinkan?

Mengapa tidak cukup dengan sah saja, tetapi harus ditambah denganmeyakinkan? Pada dua kasus diatas, dua Sahabat Rasulullah Sallallahu Alaihiwa Sallam yang hebat itu kalah karena tak mampu menyajikan bukti dalampemeriksaan kedua hakim hebat itu. Sedangkan pada perkara pilpres, pemohon mengajukan bukti. Mengapa masih harus dipersoalkan derajat keabsahan bukti dan derajat meyakinkannya bukti-bukti itu?
Sebab fundamentalnya adalah kepastian. Kepastian merupakan sebabhakiki dalam menetapkan hukum, karena dengannya hak timbul atau dengannya menghapuskan hak yang telah ada pada seseorang. Dalam hal kepastian itu tak tercipta, maka lebih baik membiarkan hak itu tetap pada orang yang diberikan. Hukum mengenal prinsip hak lahir dari keadaan hukum –bukti- yang sah, pasti. Praktis bukti yang sah, berkekuatan hukum
dan nilainya meyakinkan adalah unsur hakiki hakim mengakhirkan–menetapkan hukum – atas setiap sengketa.

Bagaimana bila, ambil misalnya pemohon mengajukan bukti DPTuntuk menguatkan dalilnya tentang kurang lebih 17 juta nama dalam DPTdinilai tidak cukup andal? Apalagi dalam kenyataannya selisih suara antara pemohon dan pihak terkait sebesar kurang lebih 17 juta. Apakah besaran selisih suara itu dapat ditunjuk sebagai akibat langsung dari DPT yang pernah dipersoalkan?

Bila tidak ada saksi yang dapat menerangkannya, bagaimana hakim
menilai, memberi kekuatan hukum atas bukti itu dan bagaimana pula hakim
meyakini nilai hukum atas bukti-bukti itu sah dan meyakinkan? Bisakahdalam keadaan seperti itu dikatakan bukti-bukti itu dikualifikasi sebagai buktiyang tidak cukup memberi kepastian hubungan sebab-akibat?
Tetapi bagaimana bila MK menganggap fakta itu menyediakan masalah? Apa yang akan dilakukan? Bagaimana bila hal yang sama terjadipada dalil lain? Bersandar pada prosedur, dan prinsip hukum dalam hal
terdapat keraguan, maka ambil yang paling sedikit keraguannya. Di titik itukepekaan hakim yang tercipta karena ilmu dan pengetahuannya tentanghal-ihwal pemilu menjadi kunci pembimbing putusannya. ***

Jakarta, 19 Juni 2019i

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #mahkamah-konstitusi  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Kode Sri Mulyani dan Risma saat Sidang MK

Oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
pada hari Kamis, 18 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Sri Mulyani (dan tiga menteri lainnya) dimintai keterangan oleh Mahkamah Konstitusi pada 5 April yang lalu. Keterangan yang disampaikan Sri Mulyani banyak yang tidak ...
Opini

Tersirat, Hotman Paris Akui Perpanjangan Bansos Presiden Joko Widodo Melanggar Hukum: Gibran Dapat Didiskualifikasi?

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --1 April 2024, saya hadir di Mahkamah Konstitusi sebagai Ahli Ekonomi dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2024. Saya menyampaikan pendapat Ahli, bahwa: ...