Opini
Oleh Dhimam Abror Djuraid (Wartawan senior/Mantan Ketua PWI Jatim) pada hari Rabu, 19 Jun 2019 - 22:14:29 WIB
Bagikan Berita ini :

Politisi Medsos

tscom_news_photo_1560957269.jpg
Ilustrasi (Sumber foto : Ist)

Fenomenamedsosmelahirkan selebriti medsos. Orang yang gak ketahuan juntrungnya tiba-tiba saja menjadi terkenal karena alasan-alasan yang gak jelas. Maka lahirlah para selebritas dadakan yang kaya raya karena akun medsosnya diikuti jutaan orang.

Di politik juga sama saja. Medsos melahirkan politisi-politisi dadakan yang menjadi terkenal karena memanfaatkan medsos. Publik gak tahu banyak tentang kualitas sang politisi, tapi karena tiap hari dia aktif bermedsos diapun menjadi selebritas dadakan.

Memang medsos bisa menjadi alat komunikasi politik yang efektif. Tak terhitung banyaknya politisi dunia yangg memanfaatkan medsos untuk salurankomunikasi politiknya. Salah satu yangg paling fenomenal adalah Donald Trump yang selalu memakai twitter untuk berkomunikasi politik. Setiap saat si Donald akan memakai twitter untuk menyampaikan gagasan untuk politiknya yang seringnylenehdan kontroversial.

Si Donald juga rajin ngevlog biacara melalui video untuk mengomentarieventatau menyampaikan pandangan politiknya. Radio dan televisi pun dibuatobsoleteoleh pola komunikasi politik ala medsos yang serba cepat daninstant. Pidato kenegaraanState of Unionyang dulu ditunggu-tunggu sekarang jadi gak menarik lagi.

Zaman dulu pidato politik para presiden ditunggu-tunggu di depan radio oleh khalayak karena disiarkan live lewat radio. Di Indonesia rakyat berjubelan di depan radio mendengarkan pidato Bung Karno yang menggelegar penuh gelora dan membakar semangat. Lapar lupa, susah jadi lupa, melarat jadi lupa kalau sudah mendengarorasiBung Karno. Rakyat yang lapar bisa mendadak kenyang setelah dengar pidato si Bung.

Gak gampang untuk bisa jadi orator sekelas Bung Karno karena butuh keahlian retorika, logika, harus paham psikologi massa, dan harus kaya referensi. Kita tahu bagaimana kualitas parafounding fatherskita yang benar-benar kelas dewa. Referensinya dahsyat mengutip pandangan intelektual-intelektual hebat dunia mulai dari Marx, Adam Smith, Montesqueu, Renan, dll. Para politisi pendiri bangsa itu menguasai filsafat politik dan paham betul teori-teori politik dari berbagai pakar.

Bung Karno, Hatta, Sjahrir, HOS Cokroaminoto, Agus Salim, Tan Malaka,just to name a few, adalah politisi cum intelektual yang menguasai filsafat dan teori-teori politik. Karena itulah maka argumen mereka menjadi berbobot, debat mereka cerdas dan menarik, logika mereka jernih.

Harus kita ingat mereka itu bukanlah orang-orang tua. Mereka adalah anak-anak muda yangg sekarang masuk dalam kategori politisi milenial. Mereka masih berusia awal 20an atau 30 tahunan tapi kematangan dan kedewasaan mereka sungguh mengagumkan. Itulah era emas politik Indonesia. Lima belas tahun pertama Indonesia merdeka adalah zaman keemasan yang melahirkan politisi2 emas yang tak bakal terlupakan sepanjang sejarah.

Mereka matang karena kaya akan referensi. Buku-buku referensi pasti sulit didapat saat itu karena hanya dicetak di Eropa. Tapi buktinya para politisi itu semuanya punya referensi buku-buku babon politik, ekonomi, sosial, budaya, seni dan lain sebagainya

Zaman berganti. Kata Marshal McLuhanthe media is extension of man, media itu kepanjangan manusia, media itu sepertimirrorpengilon bagi manusia dan zamannya, apa yang terjadi pada manusia akan tercermin pada medianya.

Lahirlah era televisi. Media berubah, manusia berubah, politisi dan politik pun berubah. Tidak ada lagi politisi orator ulung karena televisi tidak mungkin mengutip pidato panjang lebar, yang dibutuhkan adalahsound bitepernyataan pendek yang menggigit. Politisi tidak lagi mengutip referensi-referensi yangg njelimet, mereka belajar memberi pernyataanimpromptuyang pendek padat dan tidak merayap. Wawancara radio yangindepthdiganti dengan wawnacaradoorstopdenganstatemen10 detik saja.

Lansekap politik berubah. Politisi cum ilmuwan gak punya panggung lagi, muncullah politisicharming, ganteng,camera facedan pintar memberi pernyataan pendek yang quotable, gampang dan enak dikutip. Bintang paling di era televisi 1970an adalah John F. Kennedy, ganteng, kaya, pintar ngomong. Dia jadi presiden mengalahkan Nixon yang tongkrongannya gak menarikblas.

Nasib bangsa Amerika akhirnya membawa mereka punya presiden sejenis Donald Trump, presiden era medsos, presiden erapost truthpasca kebenaran. Anda gak perlu ngomong mengenai kebenaran, yang diperlukan adalah ngomong segala hal yang ingin didengar khalayak, yang sesuai dengan emosi khalayak, bahkan kalau itu adalah kebohongan sah-sah saja karena kebohongan sudah tidak ada lagi diganti pasca-kebenaran aliaspost truth.

Si Donald jagoanpost truth, ia menang karena jago memainkan emosi khalayak, ia bicara soal imigran gelap yang merampok pekerjaan orang Amerika asli, ia bicara soal penjajahan ekonomi Cina, ia bicara soal ancaman Islam, ia bicara apa saja untuk membuat rakyat Amerika gemetar ketakutan dan kemudian memilih dia. Semua ancaman itu ilusi kata musuh-musuh si Donald tapi rakyat percaya, buktinya dia menang. Itu bukan bohong, itulahpost truth.

Di indonesia sama saja. Sekarang adalah era politik medsos danpost truth. Gak ada lagi politisicumintelektual. Yang ada adalah politisiscare-mongeringdanwar-mongeringyg kerjaannya nakut-nakuti rakyat dengan menciptakan genderuwo2 yang gak jelas, ada genderuwo komunis pki, ada genderuwo Cina, ada genderuwo Islam militan, ada genderuwo khilafah, dan masih banyak lg berjenis2 genderuwo,you name it.

Jangan harap ada politisi cum cendekiawan seperti zaman dulu yang kaya referensi dan menguasai filsafat dan logika. Yang ada sekarang adalah politisi pokrol bambu, politisi kusir dokar yang otot lehernya kuat karena jago ngeyel meskipun argumennyazonkalias kosong.

Di era keberlimpahan informasi seperti sekarang para politisi malah miskin referensi. Berbekal info dari media online trus ditambahbrowsingdikit-dikit darikiai gugeljadilah mereka berdebat di televisi seperti kusir andong. Benarlah kata Blaudilaard, tsunami informasi gak bikin orang makin pinter malah tambahoon, mereka menjadi Al-Ruwaibidhah si bodoh yang mengatasnamakan umat.

Para politisi karbitan memakai twitter, vlog dan sejenisnya untuk mencuitkan suaranya. Seringkali cuitan harus dibikin kontroversial supaya jadi heboh. Tujuannya macam-macam mulai caper sampai cari sensasi atau sekadar supaya nambah follower.
Era politik citra sudah melangkah jauh menjadi era pasca kebenaran.

Anak-anak kemarin sore yang tidak ketahuan asal usulnya tiba-tiba jadi selebritas politik medsos trus jadi jago debat di televisi, tema apapun dia lahap mulai dari politik, ekonomi, sampai agama gak ada matinya. Mereka tahu sekarang erapost truth, bohong tidak dosa malah wajib. Ngomong apa saja boleh yang penting nambah follower.

Orang-orang kayak gini ini yang sekarang nyaleg, nyabup, nyagub dan bahkan nyapres…duh! (*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #pemilu-2019  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Ahlan Wa Sahlan Prabowo Sang Rajawali!

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Rabu, 24 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Prabowo Subianto sah sebagai Presiden RI ke delapan. Itu adalah takdir Prabowo yang biasa dipanggil 08 oleh koleganya. Keputusan MK ...
Opini

Jalan Itu Tidaklah Sunyi

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --"Jika Mamah jadi penguasa apakah Mamah akan menjadikan anak Mamah pejabat saat Mama berkuasa?" Itu pertanyaan anakku malam ini. Aku mendengarkan anakku ini. ...