Opini
Oleh Erfandi (Pengamat Hukum dan Politik) pada hari Selasa, 25 Jun 2019 - 05:29:08 WIB
Bagikan Berita ini :

Menyoal Konstitusionalitas Jabatan Menteri Yang Terpilih Sebagai Anggota DPR RI 2019

tscom_news_photo_1561415348.jpg
Erfandi (Pengamat Hukum dan Politik) (Sumber foto : ist)

Pemilihan umum 2019 kali ini merupakan pemilihan umum yang sangat fenomenal dalam perjalanan demokrasi di Indonesia. Selain pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang dilaksanakansecara serentak dengan pemilihan DPR RI, DPRD tingkat Provinsi,
kabupaten/Kota, pemilihan DPD RI berdasarkan putusan MK Nomor 14 / PUU-11/2013, penyelenggaraan pemilu kali ini juga banyak menelan korban jiwa dari penyelenggara pemilu dilevel KPPS.

Selain itu ada hal yang cukup menarik dari pemilu kali ini, yaitu tentang potensi terpilihnya beberapaMenteri sebagai anggota DPR RI periode 2019-2024. Dalam kabinet Jokowi-JK kali inipaling tidak ada 6 menteri yang ikut dalam pemilihan sebagai anggota DPR RI dan dua diantaranyaterpilih sebagai anghota legislatih periode 2019. Tentunya peristiwa ini menarik untukkita kaji dari perspektif hukum tata negara terutama kaitannya dengan sistem presidensial. Seorang Menteri yang merupakan pembantu presiden ternyata juga diberikan kebebasan untuk maju mencalonkan diri masuk ke parlemen. Tugas dan fungsi Menteri yang
pada hakikatnya menjalankan tugas pembantuan presiden dalam sistem presidensial denganbebasnya juga diberikan keleluasaan sebagai parlemen. Inilah mungkin yang disebut sebagai implikasi dari sistem pemerintahan yang kita pilih sebagai quasi presidensial dan quasi parlementer.

Terlepas dari perdebatan itu semua, keberadaan menteri yang terpilih sebagai anggota DPR RI dan tidak meninggalkan jabatannya sebenarnya tidaklah sejalan dengan tujuan dilaksanakannyapemilu serentak dalam hal efisiensi pembiayaan negara, meminimalisir money politik, penyalahgunaan kekuasaan atau mencegah politisasi birokrasi, dan merampingkan
skema kerja pemerintah dan legislatif. Sehingga menjadi wajar pemilu di tahun ini menjadi sorotandari berbagai pihak mulai dari masyrakat, tokoh agama, pemantau pemilu baik lokal ataupunluar negeri, hingga para pengusaha dan pejabat negara.

Haruskah Menteri Mundur Jika Terpilih sebagai Legeslatif

Banyaknya Menteri yang maju sebagai anggota DPR RI adalah sebuah hak konstitusional setiapwarga negara yang dijamin keberadaannya oleh konstitusi kita. Namun akan muncul perdebatanyang berulang-ulang setiap pemilu jika Menteri yang maju sebagai calon legislatif
terpilih sebagai anggota DPR RI. Secara yuridis Menteri tidak diperbolehkan merangkap jabatansebagai pejabat negara atau lembaga organisasi yang keuangannya dibiayai oleh negara, termasuk halnya sebagai anggota DPR RI. Hal ini ditegaskan dalam UU Kementerian Pasal23 UU Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara dimana seorang menteri dilarangmerangkap jabatan sebagai pejabat negara ataupun sebagai pimpinan organisasi yang dibiayaioleh APBN atau APBD. Halini juga ditegaskan kembali dalam Pasal 236 UU Nomor 17 Tahun 2014 Jo UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MajelisPermusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan DewanPerwakilan Rakyat Daerah.

Namun demikian, timbul sebuah pertanyaan bagaimana jika seorang Menteri yang terpilih
sebagai anggota DPR RI yang pelantikannya dilaksanakan pada bulan oktober dimana masa jabatan periodisasi Menteri dan Presiden juga akan berakhir pada tanggal sekitar 20 oktober tersebut. apakah secara otomatis Jabatan menterinya akan berakhir pula saat pelantikan DPR? Dalamkasus demikian memang masih terjadi debatebel karena tidak ada aturan yang secara
tegas mengatur khusus terkait waktu pengunduran Menteri yang terpilih sebagai anggota DPR RI.

Dalam kondisi yang demikian ada beberapa hal yang bisa terjadi baik secara yuridis ataupun secarahukum adminstratif. setalah kita pelajari secara seksama mengenai UU yang mengatur tentangtugas dan wewenang DPR RI dan UU yang mengatur kementerian. Maka ada dua langkahhukum alternatif untuk menjawab pertanyaan ini. Pertama jika pendapat hukum didasarkan atas tugas dan wewenang Presiden, maka pemberhentian seorang Menteri yang terpilih sebagai anggota DPR RI dikembalikan sepenuhnyakepada Presiden yang memiliki hak priogratif untuk memberhentikannya. Hal ini diamanahkanoleh UU kementerian Pasal 24 ayat (2) huruf d yang menyebutkan menteri dapat diberhentikandari jabatannya oleh Presiden karena rangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalamPasal 23 atau alasan lain yang ditetapkan oleh Presiden.

Dalam kasus ini Presiden memiliki hak priogratif untuk memberhentikan atau tidak
memberhentikan menteri yang bersangkutan tentunya secara administrasi melalui Setneg.
Sebagai yurisprudensi, kondisi yang demikian pernah terjadi pada tahun 2009 dimana seorang menteriyang terpilih sebagai anggota DPR RI tidak diberhentikan melainkan Mensesneg memberikanwaktu hingga 1 oktober kepada Menteri untuk melanjutkan jabatannya hingga dilakukanpelantikan sebagai anggota DPR RI. dalam masa tenggang waktu yang kurang dari 1
bulan ini maka tugas dan wewenang kementerian yang bersangkutan dianggap tidak kosong karenatugas dan wewenangnya dilakukan oleh Menko atau Menteri lain dengan ketentuan tidakboleh membuat kebijakan dan program baru yang bertentangan dengan program dan
kebijakan Menteri sebelumnya yang sudah ditetapkan.

Kemungkinan yang kedua secara administratif mengenai sanksi kepada anggota DPR RI yang
kebetulan berasal dari Menteri akan menggunakan terminologi tahapan-tahapan pemberian sanksi. Mengingat pelantikan yang sangat mendekati dengan masa akhir jabatan seorang menteri, bisa saja anggota tersebut menggunakan tahapan jenis sanksi yang dimulai dari teguran lisan hingga diberhentikan. Realitas jenis sanksi ini tentunya memakan waktu yang
cukup lama hingga sampai pada berakhirnya masa priodisasi jabatannya sebagai Menteri.

Namun jika dilihat dari probabilitinya, kemungkinan yang kedua ini sangat kecil terjadi kecuali dimaknaikeabsahan anggota DPR RI berlaku sejak dikeluarkannya keputusan oleh KPU. Jika dimaknaidemikian maka kemungkinan kedua ini bisa terjadi. Karena keabsahan seseorang jadi Menteri atau Anggota DPR RI bukan diutentukan oleh keputusan KPU sehingga kemungkinan-kemungkinan diatas yang banyak terjadi adalah kemungkinan yang pertama.

Dalam kasus ini dua opsi diatas dapatlah terjadi dan semuanya akan dikembalikan kepada keberanianPresiden dalam menegakkan hukum yang berlaku.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #dpr  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Jalan Itu Tidaklah Sunyi

Oleh Swary Utami Dewi
pada hari Senin, 22 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --"Jika Mamah jadi penguasa apakah Mamah akan menjadikan anak Mamah pejabat saat Mama berkuasa?" Itu pertanyaan anakku malam ini. Aku mendengarkan anakku ini. ...
Opini

Putusan MK dan Kejatuhan Joko Widodo

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Putusan MK dan Kejatuhan Joko Widodo adalah dua hal yang dapat di sebut sebagai sebab dan akibat. Putusan MK dalam gugatan Pilpres, akan menjadi sebab dan penyebab ...