Opini
Oleh Rizki Irwansyah (Mahasiswa Filsafat UIN Jakarta) pada hari Rabu, 10 Jul 2019 - 08:37:47 WIB
Bagikan Berita ini :

Rekonsiliasi Semu

tscom_news_photo_1562722667.jpeg
Ilustrasi (Sumber foto : ist)

Pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan penetapan pemenang pilres oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sengketa politik nasional tak kunjung redam. Kedua kubu saling menjaga militansi para pendukungnya. Hal tersebut jelas memicu semangat persatuan di negara republik Indonesia menjadi rapuh.

Situasi demikian mendorong adanya upaya Rekonsiliasi pasangan calon nomor urut 01 Joko Widodo-Ma"ruf Amin dengan kubu paslon 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno karena diangap menjadi bagian dari resolusi bersama dalam rangka menjaga tenun persatuan indonesia.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring, arti rekonsiliasi adalah perbuatan memulihkan hubungan persahabatan ke keadaan semula; perbuatan menyelesaikan perbedaan. Hubungan persahabatan bila terjadi ketegangan memang wajibnya didamaikan, melalui mediator ataupun orang ketiga.

Secara utuh kita memahami bahwa Rekonsiliasi sangat penting. Polarisasi dalam Pilpres 2019 membuat negara bak terpecah jadi dua kubu. Kita semua tidak ingin negeri ini pecah ke dalam konflik yang tidak jelas, hanya modal kebencian dan kabar hoaks.

Prinsip rekonsiliasi yang dibangun harus utuh untuk kepentingan rakyat dan negara. Narasi rekonsiliasi tidak boleh semu dan disusupi misi pragmatis untuk mendapatkan kursi jabatan bahkan menintervensi penegak hukum. Sebab rekonsiliasi bukanlah soal berbagi jabatan atau kursi menteri. Rekonsiliasi semacam itu hanya rekonsiliasi semu.

Rekonsiliasi semu memicu pemerintahan yang gemuk dan tak efektif. Selain itu, ada risiko berkurangnya pengawasan terhadap pemerintah. Tidak berimbangnya komposisi parpol koalisi dengan oposisi akan berpengaruh pada pengawasan dan kontrol terhadap pemerintahan.

Dampaknya tentu demokrasi di Indonesia akan mati suri dan kehilangan arah. Hingga pada akhirnya demokrasi kita selalu selsai dibawah meja transaksi.

Selain itu, bahaya laten rekonsiliasi dengang iming-iming jabatan ialah, memicu pemerintah untuk melakukan penyalahgunaaan kekuasaan atau obuse of power, sebab merasa setiap keputusan yang dibuat pasti tanpa hambatan karena disokong oleh koalisi gemuknya.

Meminjam istilah Agus Harymurti Yudhoyono (AHY) yang mengatakan bahwa "Oposisi dalam berpolitik adalah koalisi dalam membangun bangsa". Dengan begitu, mestinya rekonsiliasi bukan dimaknai sebagai bagi-bagi kursi tapi untuk membangun negeri. (*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Kode Sri Mulyani dan Risma saat Sidang MK

Oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
pada hari Kamis, 18 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Sri Mulyani (dan tiga menteri lainnya) dimintai keterangan oleh Mahkamah Konstitusi pada 5 April yang lalu. Keterangan yang disampaikan Sri Mulyani banyak yang tidak ...
Opini

Tersirat, Hotman Paris Akui Perpanjangan Bansos Presiden Joko Widodo Melanggar Hukum: Gibran Dapat Didiskualifikasi?

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --1 April 2024, saya hadir di Mahkamah Konstitusi sebagai Ahli Ekonomi dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2024. Saya menyampaikan pendapat Ahli, bahwa: ...