Opini
Oleh Gde Siriana (Insan Peduli Bangsa, Direktur Eksekutif Government & Political Studies) pada hari Jumat, 16 Agu 2019 - 06:20:29 WIB
Bagikan Berita ini :
Refleksi 74 Tahun Kemerdekaan RI

Indonesia dan Korea Selatan : Antara Hakikat dan Simbol Kemerdekaan

tscom_news_photo_1565911229.jpg
(Sumber foto : Istimewa)

Korea Selatan memperingati hari kemerdekaannya 2 hari sebelum hari kemerdekaan RI. Begitu juga dengan Korea Utara, meskipun pembentukan RRDK (Republik Rakyat Demokratik Korea) yang komunis 9 September 1948, tetap merayakan hari kemerdekaannya pada 15 Agustus. Korea memerdekaan diri dari penjajahan Jepang sejak 1910. Tetapi sejak 1876 Jepang telah menguasai dinasti Joseon Korea yang berujung pada pembunuhan ratu Myeongseong dan berakhirnya kekaisaran Korea.

Sama halnya dengan RI, Korea pun mewujudkan kemerdekaan dari penjajahan Jepang yang kalah dalam WWII. Selanjutnya Korea mengalami perang saudara seperti halnya RI yang mengalami perang DI-TII dan PRRI-Permesta. Bahkan kemudian Korea terbelah 2 wilayah, 2 Republik. Utara & Selatan.

Setelah selama 47 tahun merdeka, ternyata RI dan Korea mencapai hasil kemerdekaan yang berbeda. Ketika mobil Hyundai & KIA sudah tersebar di manca negara, RI masih di tahap mobil “siluman”, mobil yang punya nama tapi barangnya tidak kelihatan di pasar. Tetapi mungkin karena “siluman”nya ini lah, mobil ini punya kesaktian mampu jadikan seseorang sebagai Gubernur & Presiden.

Jika kita melihat lagi ke belakang, kita akan melihat bahwa ekonomi RI bergerak lambat, sementara Korea Selatan melakukan lompatan besar. GDP per kapita RI periode 1960-2018 mencapai rata-rata USD 1,853.10. Sedangkan GDP per kapita Korea periode yang sama mencapai rata-rata USD 10,327.09. Artinya GDP rata-rata Korea Selatan periode 1960-2018 lebih 5x lipat lebih besar dari RI. Yang lebih mencengangkan, dalam 8 tahun terakhir GDP per kapita Korea Selatan tumbuh 44% (2010 = USD 23,083; 2018 = USD 33,346), sementara RI tumbuh relative stagnan 7% (2010 = USD 3,167; 2018 = USD 3,932).

Lalu apa yang salah? Saya dengan yakin mengatakan bahwa selama ini, negara telah salah urus. Mengapa bisa salah urus?

1. Tidak memiliki motivasi sebagai bangsa yang pernah dijajah

Sebagai sebuah bangsa berusia muda kita tidak mampu “menyimpan” rasa trauma sebagai negara jajahan. Padahal menyimpan “dendam penjajahan” perlu, bukan untuk memendam kebencian tetapi untuk menjadikan sejarah penjajahan ini sebagai motivasi untuk bangkit menjadi bangsa maju yang mandiri dan tegak berdaulat di antara bangsa-bangsa lain. Barangkali anak-anak milenial tidak akan pernah bisa menerima “transfer” rasa menderita yang dialami kakek-neneknya semasa penjajahan bangsa lain.

Barangkali juga ini akibat materi pendidikan sejarah di sekolah yang menyebutkan Indonesia pernah dijajah. Itu salah besar, Republik Indonesia tidak pernah dijajah. Kerajaan-kerajaan Nusantara lah yang mengalami penjajahan-penjajahan. Karena penjajahan bangsa asing itulah, lalu kerajaan-kerajaan Nusantara bergabung dalam suatu bangsa dan negara yang disebut Republik Indonesia.

Ini berbeda dengan apa yang dilakukan pemimpin Korea di awal kemerdekan. Tekad untuk bekerja keras membangun Korea dilandasi semangat “Jangan sampai anak-anak kita dijual ke luar negeri”karena di negerinya sendiri mereka tetap menjadi “budak” meski sudah merdeka. Gambaran penderitaan sebagai negeri terjajah terus dikumandangkan agar generasi berikutnya tidak pernah lupa akan sejarah kelam yang pernah dialami kakek-buyut mereka.

Pengadilan Tinggi Korea Selatan menguatkan keputusan banding tahun 2013 yang memvonis Mitsubishi membayar ganti rugi 80 juta won kepada masing-masing dari 23 penggugat korban kerja paksa Jepang yang masih hidup. Tahun 2015 Mahkamah Agung Korea telah menetapkan perusahaan milik Jepang Nippon Steel & Sumitomo Steel membayar ganti rugi kepada buruh-buruh kerja paksa bangsa Korea sebesar 100 juta won per orang. Tuntutan ini bukan soal mendapatkan materi atau uang. Karena tidak mudah pemerintah Jepang ikhlas membayar ganti rugi meskipun sudah ditetapkan oleh pengadilan dan mahkamah agung Korea. Tetapi dengan tuntutan ini adalah cara bagaimana penderitaan bangsa Korea selama penjajahan bangsa Jepang dapat terus menerus diceritakan kepada generasi selanjutnya. Bahwa sejarah penderitaan selama penjajahan itu benar adanya.

2. Kita tidak memiliki pemimpin yang bertekad memberikan warisan terbaik

Dapat disimpulkan bahwa Reformasi 98 tidak melahirkan pemimpin yang menjaga republik. Pada era globalisasi justru perilaku menjual aset dan harga diri bangsa semakin menjadi-jadi. Aset negara bisa dijual dan jabatan bisa dibeli. Tidak ada yang sungguh-sungguh menjadi pemimpin yang punya visi tentang Republik Indonesia yang sejahtera dan berdaulat, tetapi kalau pemimpin yang punya berbagai visa banyak.

Terjadi eksperimen-eksperimen kebablasan terhadap konstitusi. Praktek ekonomi juga tak jelas, katanya Pancasilais, bahwa ekonomi disusun sebagai usaha bersama, tetapi faktanya seperti kapitalistik. Kebijakan ekonomi bukan dengan maksud mensejahterakan rakyat banyak tetapi lebih merupakan praktek rentenomics yang memperkaya segelintir orang. Tidak aneh jika yang kaya makin kaya dan yang miskin tetap saja miskin. Lebih menyakitkan lagi adalah mayoritas yang miskin ini adalah pribumi-pribumi Nusantara yang kakek-buyutnya berjuang melawan penjajahan. Koperasi dikerdilkan padahal potensinya menjadi korporasi sangat besar jika negara mau.

Ini berbeda dengan pemimpin-pemimpin Korea Selatan. Nasionalisme dipraktekkan dengan menggunakan produk sendiri. Karena itu mau tak mau, bangsa Korea harus mampu menciptakan produk sendiri yang baik. Jadi omong kosong slogan nasionalisme tanpa upaya membangun manufaktur nasional yang kuat. Untuk membangun manufaktur yang kuat di awal-awal pasca kemerdekaan Korea menyekolahkan banyak mahasiswa dengan beasiswa ke universitas ternama di luar negeri. Setelah itu ditarik pulang untuk membangun manufaktur. Kini Universitas di Korea Selatan sudah mampu mencetak sarjana-sarjana yang menguasai teknologi.

Omong kosong teriak nasionalisme jika prakteknya lebih suka memilih impor dari pada membangun pertanian yang didukung industri pangan yang kuat. Beberapa kali saya bertemu orang Korea di Jakarta, semuanya punya kesamaan, pakai mobil Hyundai atau KIA dan smart phone nya Samsung. Mengapa? Selain itu bentuk kebanggaan nasional, sikap itu juga mendukung ekspor Korea Selatan dalam penjualan mobil dan smart phone.

Kini para pemimpin Korea Selatan yang sudah sepuh, yang siap-siap meninggalkan panggung politik, dengan bangga bisa membuktikan apa yang pernah mereka janjikan kepada rakyatnya saat Korea merdeka, “Now, we promise that will hand over a good country to our sons & daughters. We will give you the country worthy to be proud as well.” (Sekarang kami berjanji bahwa kami akan menyerahkan sebuah negara yang baik untuk putra-putri kita. Negara yang layak untuk dibanggakan juga). Sementara pemimpin-pemimpin kita sibuk memberikan warisan, apakah harta atau kekuasaan, hanya untuk anak-cucunya saja. Bukan untuk bangsa yang pernah dipimpinnya.

Terakhir, meskipun setelah merdeka Korea Selatan menjadi negara industri teknologi tinggi yang kaya, tetapi Korea Selatan tidak merayakan peringatan kemerdekaannya semeriah di Indonesia. Rakyat Korea Selatan hanya mengibarkan bendera, tidak ada lomba-lomba atau kegiatan meriah lainnya. Bahkan sehari-hari rakyat Korea Selatan tidak memasang foto presiden dan wakil presiden di kantor-kantor negara. Nasionalisme Korea ditunjukkan dengan “Siapapun presidennya, negaraku adalah Korea.” Budaya simbol tidak penting, praktek dan fakta lebih penting. Barangkali hanya di negara-negara komunis yang menyukai budaya simbol dan panji-panji, juga mewajibkan setiap kantor negara memasang foto-foto para pemimpinnya.

Sedangkan Pemerintah Indonesia dari berbagai rejim sebaliknya, lebih mementingkan simbol dalam perayaan kemerdekaan. Arti kemerdekaan dikomunikasikan bukan pada hakikat dan fakta tetapi lebih pada simbol. Selama ini para pemimpin memang lebih menyukai simbol-simbol berbentuk perayaan/hiburan dan hadiah-hadiah untuk rakyat, seperti bagi-bagi sepeda, bantuan tunai, sembako, uang cendol saat Pilkada/Pileg dan lain-lain.

Fakta-fakta ini mengingatkan saya pada kisah “Roti & Sirkus”. Ada sebuah puisi tua dari penyair bernama Juvenal. "Already long ago, from when we sold our vote to no man, the People have abdicated our duties; for the People who once upon a time handed out military command, high civil office, legions --- everything, now restrains itself and anxiously hopes for just two things: bread and circuses ..." Dari puisi ini terkenal pepatah tua latin, “Penem et Circuses”. Di masa kekaisaran Roma, roti dan sirkus ditawarkan kepada rakyat untuk mengalihkan perhatian dari masalah atau kesedihan. Dengan "suapan" murah tersebut rakyat Roma tunduk dan patuh kepada kaisar dan memaklumi segala perlakuan dan kebijakan yang kejam kepada rakyat seperti pengenaan pajak yang tinggi. Roti dan sirkus juga untuk membungkam sikap kritis dan kepedulian masyarakat. Bahkan juga mampu “membahagiakan” masyarakat dari penderitaan hidup sehari-hari.

Dengan kemeriahan peringatan hari kemerdekaan kita, apakah ini merupakan simbolisasi arti kemerdekaan sesungguhnya yang kita genggam, seakan-akan ingin rakyat merasa benar-benar sudah merdeka dan itu artinya sejahtera? Padahal hakikat kemerdekaan di masa kini adalah menjadi bangsa berdaulat yang sejahtera di negeri sendiri dan sayangnya jika kita mau jujur faktanya masih jauh panggang dari api.

Kemeriahan peringatan kemerdekaan harus didukung dengan perwujudan amanat konstitusi, bahwa negara telah mencerdaskan dan mensejahterakan rakyatnya. Tinggalkanlah alasan klise seperti ”Pemerintah selalu berupaya lebih baik dari pemerintah sebelumnya”, karena negara-negara lain sudah berlari kencang. Tinggalkan alasan bahwa “negara kita berbentuk pulau-pulau dan banyak penduduknya” karena kondisi ini justru jadi target pasar negara-negara industri. Para pemimpin harus berkaca diri, sanggupkah kau mensejahterakan rakyatmu tanpa hartamu sendiri bertambah??

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
AMIN BANNER 01
advertisement
AMIN BANNER 02
advertisement
AMIN BANNER 03
advertisement
AMIN BANNER 04
advertisement
AMIN BANNER 06
advertisement
AMIN BANNER 08
advertisement
Opini Lainnya
Opini

In Prabowo We Trust" dan Nasib Bangsa Ke Depan

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Kamis, 28 Mar 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya kemarin di acara berbuka puasa bersama, "Partai Demokrat bersama Presiden Terpilih", tanpa Gibran hadir, kemarin, ...
Opini

MK Segera saja Bertaubat, Bela Rakyat atau Bubar jalan

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi (MK) segera bertaubat. Mumpung ini bulan Ramadhan. Segera mensucikan diri dari putusan-putusan nya yang menciderai keadilan masyarakat.  Di ...