Berita
Oleh Mandra Pradipta pada hari Minggu, 08 Sep 2019 - 10:00:00 WIB
Bagikan Berita ini :

Iuran BPJS Kesehatan Naik Bertentangan dengan Konstitusi

tscom_news_photo_1567909948.jpeg
(Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Rencana pemerintah menaikkan iuran jaminan kesehatan telah menegasikan fungsi sosial yang mesti diemban lembaga BPJS Kesehatan.

Defisit yang dialami BPJS Kesehatan tidak harus dibebankan kepada masyarakat. Negara harus mempertimbangan kemampuan warganya.

Wakil Ketua DPR RI Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Korpolkam) Fadli Zon menilai, rencana menaikkan iuran melawan logika unsur jaminan sosial.

"Merujuk pada perhitungan awal pendirian BPJS, premi yang dibayarkan memang tidak akan pernah mencukupi pembiayaan," kata Fadli di Jakarta, Minggu (8/9/2019).

"Di sinilah letak kesalahan kita meletakkan BPJS seolah perusahaan asuransi murni. Negara mestinya mendudukkan sistem jaminan sosial sebagai instrumen dari produktivitas warganya," tambahnya.

Fadli menilai, premis pokok dalam jaminana sosial adalah tidak ada keadilan sosial tanpa sistem jaminan sosial. Konstitusi sudah mengamanatkan pemerintah untuk menjalankan pasal 28H ayat (1) yang menyatakan setiap orang berhak sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan berhak memperoleh layanan kesehatan.

"BPJS bukanlah asuransi murni tapi sistem jaminan sosial. Karena BPJS instrumen jaminan sosial oleh negara, maka negara mestinya mempertimbangkan kemampuan warga dalam membayar iuran," jelas Fadli.

Membebankan premi yang dibayarkan warga, lanjut politisi Partai Gerindra itu, bisa merusak banyak hal, mulai sistem pengupahan, kesejahteraan tenaga kerja, dan lain-lain.

Masalah pokok jaminan sosial justru terletak pada rendahnya anggaran kesehatan. Dari Rp 2.200 triliun pada APBN 2018, anggaran kesehatan masih sekitar Rp 100 triliun.

Ditegaskan kembali, usulan kenaikan iuran BPJS sebagai cara untuk mengatasi defisit sesungguhnya sangat ironis. Di satu sisi pemerintah ingin menaikkan iuran, di sisi lain ada defisit, tapi BPJS telah lebih dulu mengurangi manfaat atau tanggungan berupa obat-obatan bagi pasien peserta BPJS Kesehatan.

"Ini adalah bentuk penyelenggaraan jaminan sosial yang buruk. Perlu evaluasi menyangkut kelembagaan, keorganisasian, SDM, dan sejauh mana sistem dalam BPJS itu berjalan transparan dan akuntabel," ungkapnya.

Fadli lalu mengungkap defisit yang dialami BPJS Kesehatan dari tahun ke tahun. Pada 2018 total klaim yang harus dibayar BPJS Rp 24,8 triliun, naik 13,21 persen dari Rp 21,27 triliun pada 2017. Defisit yang dialami BPJS sejak tahun pertama saja sekitar Rp 3,3 triliun di 2014. Lalu Rp 5,7 triliun di 2015, Rp 9,7 triliun di 2016, Rp 9,75 triliun di 2017, dan Rp 10,8 triliun di 2018.

tag: #bpjs-kesehatan  #dpr  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Berita Lainnya
Berita

Tim Hukum Ganjar-Mahfud Optimis MK Kabulkan Gugatan Pilpres

Oleh Sahlan Ake
pada hari Selasa, 16 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Tim hukum capres-cawapres nomor urut 03 Ganjar-Mahfud optimis gugatan perselisihan hasil Pemilu 2024 dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK). Hal itu diwakilkan salah satu ...
Berita

Ketua Fraksi PKS Soal Serangan Iran: Israel Biang Kerok Konflik dan Instabilitas Dunia

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini menyesalkan eskalasi konflik Timur Tengah yang memanas akibat serangan drone-drone dan rudal balistik Iran ke wilayah (pendudukan) Israel. ...