Opini
Oleh Margarito Kamis, Ahli Hukum Tata Negara pada hari Sabtu, 28 Sep 2019 - 13:42:07 WIB
Bagikan Berita ini :

Demokrasi Minus Orang Besar

tscom_news_photo_1569652927.jpg
Aksi solideritas mahasiswa (Sumber foto : Istimewa)

Demo mahasiswa cukup masif beberapa hari terakhir ini. Hampir diseluruh penjuru tanah air terjadi. Di Sumatera, sebagian Sulawesi, Jawa dan Jakarta, semuanya dilanda demo. Mereka dirangsang oleh beberapa isu. Umumnya dirangsang oleh revisi UU KPK dan beberapa UU lainnya. Tidak seperti biasanya, kali ini sebagian pelajar sekolah menengah atas ikut ambil bagian. Sebagian siswa Sekolah Teknik Menengah (STM) di Jakarta adalah salah satunya.

Penolakan terhadap revisi UU KPK kini ditunjuk sebagai pemantiknya. Juga RUU KUHP, RUU Pemasyarakatan, RUU PKS. Sederhana sekali. Itu saja. Hutan di sebagian Sumatera dan Kalimantan terus terbakar atau dibakar, yang mengakibatkan keseimbangan kehidupan disana terguncang, sebagain orang telah menderita karenanya, tak masuk sebagai perangsang. Sama susah cari uang dan rencana kenaikan iuran BPJS tak jadi perangsang demo itu.

Menariknya semua kenyataan di atas muncul tak terlalu jauh dari hiruk-pikuk pemilu presiden dan legislatif. Pemilu ini terlanjur dinilai secara terbuka sebagai pemilu yang jauh dari jujur dan adil. Apalagi, entah bagaimana musababnya pemilu itu menelan korban jiwa lumayan banyak. Entah apa sebabnya sejauh ini tak terlihat penyelidikan bertanggung jawab atas peristiwa itu.

Seperti demo protes hasil pemilu, demo kali ini juga mulai menelan korban luka dan jiwa. Sejumlah demonstran terluka, ditahan, dan menjadi tersangka. Randi dan Yusuf, mahasiswa Universitas Halu Oleo Kendari, Sulawesi Tenggara meninggal dunia. Innalillahi Wainnailaihi Roajiun. Almarhum Randi yang juga aktifis Ikatan Mahasiwa Muhamadiah (IMM), dan pengurus PMII dikampusnya menghembuskan nafas terakhir di rumah Sakit. Yusuf menyusul pada Jumat dinihari. Semuanya terkena efek demokrasi korup.

Norma Non Hukum

Vox populi vox dei – suara rakyat, suara tuhan, begitu kata sebagian orang untuk demokrasi. Dalam kenyataannya jauh panggang dari api. Rakyat – pemilih – hanya bermakna secara demokratis pada saat mencoblos tanda gambar dibilik suara. Titik. Semenit setelah itu mereka – rakyat yang berdaulat itu – tidak lagi dapat mengontrol hasil akhir pilihan dan impian mereka. Tidak, dimanapun itu.

Begitulah tipikal eksistensial vox populi, vox dei dalam demokrasi korup. Itu sebabnya demokrasi, kalau mau sehat, dimana-mana memanggil norma-norma non hukum. Fungsionaris demokrasi tulen, saya sebut demokrat, yang cerdas tahu bahwa skema pembagian kekuasaan – eksekutif, legislatif dan yudikatif – yang menurut James Madison dimaksudkan untuk saling mengawasi, mencegah satu organ menjadi tiran bagi organ lainnya, terbukti tak sepenuhnya efektif.

Orang besar – demokrat- berotak encer tahu bahwa demokrasi memerlukan begitu banyak pagar pengaman di luar hukum. Mereka tahu bahwa hukum tak selalu andal menopang impian mencegah penguasa menjadi “demagog” juga “tiran.” Para demokrat bijak tahu hukum sering dipakai melestarikan kekuasaan, memukul lawan, demi kekuasaan.

Demokrasi memang tak selalu menghadirkan demokrat cerdas nan bijak. Tetapi apapun itu, demokrasi mengharuskan dialog. Dialog selalu dua arah. Karena dua arah, demokrat tulen membekali diri dengan gagasan. Gagasannya kadang melampaui imajinasi rakyatnya. Mereka membimbing rakyatnya dengan gagasan hebat, dan tindak-tanduk berkelas.

Demokrat tulen, sampai kapanpun, tidak bakal menjadikan pesaing terberatnya sekalipun sebagai musuh, sebagai lawan. Demokrat tidak pernah mampu memandang lawan, sekeras apapun dia, salah terus. Tidak. Itu pecundang. Murahan. Demokrat tulen tahu norma saling memahami, saling mengerti, dan saling bertoleransi. Itu menyehatkan demokrasi.

Itulah cara demokrat top mengelola demokrasi. Demokrat top tahu bahwa demokrasi, tanpa itu, menjadi tempat terbaik segala macam tindak-tanduk korup, oligarkis dan sejenisnya. Mereka tahu kekuasaan itu memukau siapapun, termasuk dirinya. Tetapi bimbingan norma-norma non hukum membawa mereka pada sikap dan tindakan berkelas.

Demokrasi korup menyediakan tempat terhormat untuk siapapun yang memiliki keahlian menyenangkan bos. Mereka yang bertipikal Jeff Sesesion, Jaksa Agung Amerika, juga Suprapto Jaksa Agung Indonesia era 1950-an dan Jendral Hoegeng, polisi hebat ini, tak punya tempat di dalamnya. Mereka punya hati dan tahu diri. Demokrasi korup tak memebri tempat untuk mereka. Mereka harus disingkirkan.

Payah

Demokrasi minus norma-norma non hukum, membuat segalanya biasa saja. Semuanya baik-baik saja. Apapun yang dilakukan penguasa, beres. Baik pada semua aspeknya. Demokrasi korup memang begitu tipikalnya. Demokrasi jenis mengonsentrasikan semua sumberdaya ekonomi dan politik pada segelintir orang. Ini pun tersaji sebagai hal biasa saja. Hukum miring sekalipun sama; biasa saja. Rakyat menderita pun sami mawon, biasa saja. Semuanya biasa saja.

Masalah bangsa dipilah-pilah menjadi masalah elit dan rakyat. Rakyat cukup memikirkan urusan bisa makan dan sekadar menyambung hidup. Urusan lainnya, ya urusan politik. Urusan politik ya urusan elit, bukan urusan rakyat. Sekali rakyat memikirkan urusan politik, segera dilebel dengan lebel rakyat main politik. Itu sebabnya tidak usah terlalu terpana bila mahasiswa yang berdemonstrasi dilebeli dengan lebel bermain politik.

Demokrasi korup memang tak bagus buat orang kecil. Demokrasi korup selalu istimewa untuk kelompok kecil, elit. Kelompok ini tertakdir sebagai pengendali postur ekonomi dan politik, dan segala macam yang lainnya. Demokrasi tipikal ini mengandalkan orang kaya. Mereka ditakdirkan sebagai warga paling istimewa. Ordinary citizen.

Mereka selalu unggul setiap kali datangnya kesempatan menata tatanan politik, ekonomi dan hukum. Itu yang ditunjukan demokrasi korup di negeri lain, yang menjadi rujukan. Amerika misalnya. Negeri ini menandai demokrasinya dengan kebebasan berpendapat, kesamaan status laki-perempuan, free seks, dan tentu toleransi. Uniknya semuanya hampir tanpa batas. Itu sebabnya LGBT juga oke. LGBT kini menggema untuk eksis di Indonesia. Celaka.

Tetapi rasismenya juga menggila. Ras kulit putih tetap saja menjadi unggulan, dibandingkan ras lainnya. Intoleransinya juga sama. Terus menggila. Hebatnya orang kaya tetap saja berada dipuncak gunung sosial ekonomi dan politik negeri mereka. Mantan pejabat pada dinas tertentu tetap diberi privilege untuk terus terhubung dengan institusinya. Cerdas, hal itu tak ditandai sebagai pintu berputar untuk tindak tanduk korup. Itu hebatnya demokrasi korup.

Tetapi satu hal; jangan minta kebenaran dan kepantasan lebih dari yang terlihat. Demokrasi memiliki cara membuat hal-hal yang terlihat pantas dan benar menjadi tak pantas dan salah. Begitu sebaliknya. Itulah yang sedang tumbuh dan menguat di negara ini.

Itu sebabnya negara ini terlihat tak eksis di Wamena Papua. Orang-orang yang mati terbunuh dengan cara yang menyanyat kemanusiaan dalam kekacauan rasial di daerah itu, tak mendapat respon selayaknya dari negara. Padahal untuk kemanusiaan itulah negara dibuat. Demokrasi jadinya hanya soal kekuasaan, dan kekuasaan jadinya sama dengan demokrasi. Praktis kekuasaan ini tidak punya orang besar, berhati mulia. Payah. (*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #aksi-mahasiswa  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Ahlan Wa Sahlan Prabowo Sang Rajawali!

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Rabu, 24 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Prabowo Subianto sah sebagai Presiden RI ke delapan. Itu adalah takdir Prabowo yang biasa dipanggil 08 oleh koleganya. Keputusan MK ...
Opini

Jalan Itu Tidaklah Sunyi

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --"Jika Mamah jadi penguasa apakah Mamah akan menjadikan anak Mamah pejabat saat Mama berkuasa?" Itu pertanyaan anakku malam ini. Aku mendengarkan anakku ini. ...