Oleh Margarito Kamis (Doktor HTN, Staf Pengajar FH. Univ. Khairun Ternate) pada hari Senin, 07 Okt 2019 - 17:04:59 WIB
Bagikan Berita ini :

Bernegara dengan Perpu

tscom_news_photo_1570442699.jpg
Dr. Margarito Kamis (Sumber foto : Ist)

Konstitusi membekali Presiden dengan kewenangan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu). Sifat kewenangan ini khas. Presiden dapat, dengan atau tanpa alasan yang ternalar menerbitkan Perpu. Betu-betul khas, karena rumus hukum tentang syarat sahnya penggunaan kewenangan ini sangat elastis. Dimensinya sangat jamak.

Konstitusi memang menyodorkan syarat. Syaratnya adalah harus ada hal-ihwal kegentingan yang memaksa. Tetapi keadaan hukum macam apa yang dapat dikategori hal-ihwal kegentingan yang memaksa? Tidak jelas. Tidak spesifik. Praktis syarat “hal-ihwal kegentingan yang memaksa” dalam pasal 22 UUD 1945 tidak menunjuk satu atau serangkaian keadaan spesifik, faktual dan nyata.

Keadaan atau hal-ihwal kegentingan yang memaksa itu bisa bersifat imajiner, setidaknya potensial. Tidak mesti ada secara nyata. Yang penting presiden secara subyektif menganggap – bersifat hipotesis – hal-ihwal kegentingan yang memaksa itu ada. Nyata-nyata ada atau tidak, tidak penting.

Tetapi apapun itu, konstitusi mewajibkan presiden harus menjelaskan level validitas “hal ihwal kegentingan yang memaksa” itu kepada DPR untuk mendapat cap persetujuan. Ini imperative sifatnya. Wajib, mutlak. Dititik ini manuver politik kedua belah pihak, Presiden dan DPR menemukan relefansinya. Ini bukan soal benar dan salah. Sama sekali bukan. Ini soal keterampilan menundukan, menggoda, membawa lawan ke sudut yang diinginkan.

Cermat dan Jernih

Penerbitan Perpu itu wewnang Presiden. Wewenang ini jelas diperlukan. Tetapi karena syarat materilnya tidak jelas, maka pada kesempatan lain wewenang ini, kalau tidak arif, tidak bijak, dapat digunakan untuk memperbesar wewenang, meruntuhkan demokrasi. Itu sebabnya wewenang ini harus dikerangkakan, setidaknya dipertalikan pada norma non hukum. Norma non hukum itu misalnya kearifan lebih dari sekadarnya.

Norma non hukum itu diperlukan karena Presiden, terlepas siapapun orangnya, menyandang nama itu bukan semata-mata karena dipilih. Ia dipilih karena, entah siapa yang mendorongnya, dinilai memiliki kemampuan di atas rata-rata calon presiden yang tersedia. Itu sebabnya itu harus bisa memandu, mengarahkan, mengadaptasikan gagasan yang bekembang ditengah masyarakat dengan nilai-nilai hebat dalam bangsanya.

Dalam kasus Perpu KPK yang kian hari kian digemakan oleh beberapa kelompok untuk segera diterbitkan oleh Presiden misalnya, tidak bisa ditimbang dengan timbangan ya atau tidak, dapat dimakzulkan atau tidak. Tidak bisa ditimbang dengan jalan fikiran menerbitkan Perpu pembatalan RUU KPK sama dengan pro rakyat, anti korupsi. Sebaliknya tidak menerbitkan Perpu sama dengan pro korupsi. Tidak. Tidak sesederhana itu. Presiden dalam konteks itu perlu memasuki soal-soal berikut.

Pertama, yang harus ditimbang oleh Presiden adalah level rasionalitas dibalik suara-suara yang saling menyangkal itu. Level rasionalitas harus dikerangkakan ke dalam kepentingan bernegara secara sehat. Pada level ini Presiden harus tahu bahwa korupsi sedang menggurita di tubuh politik bangsa besar ini. Kemarin KPK menangkap Bupati Lampung Utara, dan beberapa orang dalam urusan suap menyuap. Keberhasilan penangkapan ini berkat penyadapan. Penyadapan menjadi salah satu instrumen ampuh dalam pertempuran melawan korupsi.

Kedua, Presiden perlu, dalam konteks itu, menentukan dengan jernih ujung hukum penyadapan. Misalnya apakah pejabat yang tertangkap tangan menerima suap harus dipidana atau pada kesempatan pertama mengembalikan seluruh uang suap. Tidak itu saja pejabat tersebut serta-merta diberhentikan dari jabatan dan wajib melakukan kerja sosial, tanpa harus dipidana.

Ketiga, apa argumentasi demokrasi dibalik status KPK sebagai organ non pemerintah, dan berada diluar wewenang mengatur Presiden? Presiden perlu tahu bahwa demokrasi tidak memungkinkannya.

Mengurangi demokrasi demi pemberantasan korupsi, bukan tak bisa. Tetapi Presiden perlu memasuki sejarah pemberantasan korupsi lebih dalam. Sejarah menunjukan dengan ketepatan tak diragukan bahwa korupsi juga dipakai sebagai senjata mematikan lawan. Tidak mungkin cara ini dinilai sebagai cara yang masuk akal. Ini sama dengan memperbesar skala korupsi.

Dalam kenyataannya tidak ada keadaan yang menunjukan adanya kekosongan hukum dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan. Semua hukum pemberantasan korupsi positi berlaku. Organ pemberantasan korupsi -KPK, Polisi dan Jaksa- eksis. UU KPK perubahan, sejauh ini, tidak menghapus wewenang penyidikan KPK. Izin penyadapan sama sekali tidak dapat dianalogkan menjadi penghapusan wewenang penyadapan. Tidak. Kongklusinya, tidak tersedia alasan secara materil untuk penerbitan Perpu.

Di atas itu semua Presiden harus lebih jernih mengenal fenomena demontrasi. Demo kini terlihat mulai diandalkan sebagai sarana menciptakan hal-ihwal kegentingan yang memaksa sebagai jalan sah menggerakan wewenang penerbitan Perpu. Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pencabutan UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota oleh DPRD, diterbitkan setelah Presiden didemo, cukup ramai diberbagai daerah. Macam-macam argumennya.

Harus Peka

Begitukah pemerintahan demokratis dan hukum dikelola Pak Presiden? Pasti bukan. Malah tidak. Fenomena demo sebagai mesin penyedia hal-ihwal kegentingan yang memaksa, justru bisa memukul mundur, bahkan menenggelamkan demokrasi. Memang suara Perpu KPK kali ini datang dari mahasiswa, dan beberapa kelompok di luar kekuasaan.

Tetapi bagaimana bila, misalnya suatu saat Presiden memiliki gagasan tertentu, tetapi pengoperasianya memerlukan legalisasi hukum, dan hukum yang diperlukan itu belum tersedia? Bagaimana bila, dengan cara yang rumit demo dipanggil untuk menyediakan hal ihwal kegentingan yang memaksa? Padahal terdapat target tersembunyi dibalik gagasan itu. Misalnya memperbesar, dalam arti menambah wewenang Presiden? Bahaya, tentu saja.

Pendukung demokrasi, bila mungkin, dapat menyusuri lorong-lorong sejarah politik yang menyediakan begitu banyak fakta perubahan pemerintahan demokratis ke fasis. Adolf Hitler memasuki kekuasaan, yang kelak menghebohkan dunia, tidak melalui kudeta. Tidak. Hitler memasuki kekuasaan melalui pemilu. Kepopulerannya membawa dirinya memasuki kekuasaan.

Tokoh-tokoh politik melihat dirinya sebagai alternatif pemecahan situasi pelik. Diam-diam tokoh-tokoh yang telah frustrasi terhadap keadaan faktual, membangun keyakinan bahwa situasi rumit itu hanya dapat dipecahkan dengan memunculkan seseorang yang memiliki popularitas tinggi. Hitler masuk kategori itu.
Diam-diam mereka, para tokoh ini berharap dalam dua tiga bulan Hitler bisa dikendalikan, dibawa ke sudut yang mereka rancang. Nyatanya tidak bisa. Hitler tidak bisa dikendalikan, dituntun ke rencana mereka. Apa yang terjadi sesudahnya? Jerman terjerembab ke dalam fasisme. Demokrasi hancur.

Demokrasi sama sekali bukan soal mayoritas. Demokrasi itu soal keadilan, soal membangun tatanan sosial, politik, ekonomi dan hukum yang beradab, yang memiliki daya dorong membuat kekuasaan mengerti harkat dan martabat manusia. Tidak lebih. Demokrasi bukan soal suara nyaring, yang memekik telinga. Bukan. Bahaya betul bila demokrasi dipertalikan hanya pada suara nyaring.

Venezuela jatuh ke krisis berkepanjangan yang semakin sulit menemukan jalan keluarnya hingga saat ini, karena mempertalikan demokrasi hanya pada suara nyaring. Chaves dengan Chavistanya menelurkan referendum mengubah konstitusi. Berhasil. Konstitusi diubah. Chaves dengan konstitusi barunya itu memiliki kesempatan maju lagi sebagai calon presiden.

Tetapi referendum itu teridentifikasi berjarak sangat jauh dari jujur. Seperti biasa hasilnya tetap diterima. Demokrasi mengharuskannya. Konstitusi diubah. Chaves dapat mencalonkan diri lagi. Apa sesudahnya? Venezuela jatuh semakin dalam ke berbagai krisis hingga saat ini. Nicolas Maduro, penerusnya pun, masih terlilit dengan masalah, terutama ekonomi yang diwariskan Chaves.

Apa pointnya? Sarana konstitusi dan demokrasi, selalu mungkin dimanipulasi. Apalagi “hal ihwal kegentingan yang memaksa” sebagai dasar legal penerbitan Perpu sangat elastis. Demokrasi dan hukum bukan tanpa cacat, walau cacatnya tidak mudah dikenali. Tetapi bukan tak bisa dikenali. Membangun negara berdasarkan suara nyaring ditengah masyarakat, dalam kasus-kasus di atas, jelas mengandung bahaya. Mayoritas berdasarkan suara-suara terekspos, tak selamanya baik. Venezuela tak sendirian dalam kasus ini.

Chilie pada masa Alende misalnya, juga mengalami hal yang sama. Pemerintahan sosialisnya, dengan demokrasi relatifnya menemui kebangkrutan karena didemo sepanjang hari. Alende dituduh menyemai dan menyebarkan komunisme. Anak-anak yang lahir, menurut propaganda oposisi, akan dijauhkan dari agama. Ibu-ibu termakan propaganda itu.

Sebagian rakyat lalu menandai pemerintahan Alende sebagai monster. Alende tidak boleh dibiarkan terus memerintah. Pemerintahannya harus diakhiri. Demonstrasi tak berkesudahan dipanggil memasuki arena politik menantang Alende. Demonstrasi baru berakhir setelah Alende tertembak di Istana kepresidenan. Jenderal Pinochet, seorang militer, kabarnya mendapat lampu hijau dari Amerika, entah menjadi komponen utama dalam oposisi itu atau tidak, memasuki kekuasaan. Pinoche diangkat menjadi presiden menggantikan Alende. Demokrasi bangkrut, berakhir pahit.

DPR, saya cukup yakin tahu betul bagaimana suara-suara nyaring menggema dipertengahan tahun 1959. Hasilnya Dekrit. Suara-suara nyaring juga menggema pada tahun 1966. Hasilnya relatif sama. Indonesia terkapar didasar demokrasi. Itukah yang diimpikan bangsa ini? DPR tidak usah memanggil pemakzulan, tetapi perlu membunyikan alarm lain, tentu politis, agar Perpu tidak tersaji sebagai hal biasa. DPR harus mengasah kepekaannya.

DPR harus dapat memberi kepastian bahwa Presiden tidak mengandalkan wewenang istimewasnya itu dalam mengelola negara. Toh UUD 1945 telah membekali Presiden dalam urusan mengatur negara dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Instruksi Presiden.

Betul wewenang ini diperlukan. Tetapi sesuai sifatnya, wewenang ini harus digunakan dan dikerangkakan pada keadaan yang sungguh-sungguh memerlukannya. Kedaan yang sungguh-sungguh memerlukan dapat diukur berdasarkan praktik bernegara yang masuk akal. Dalam hal seperti itulah Presiden perlu memecahkannya dengan memasuki gudang wewenang istimewanya, menerbitkan Perpu.

Jakarta, 7 Oktober 2019 (*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #jokowi  #kpk  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
AMIN BANNER 01
advertisement
AMIN BANNER 02
advertisement
AMIN BANNER 03
advertisement
AMIN BANNER 04
advertisement
AMIN BANNER 06
advertisement
AMIN BANNER 08
advertisement
Lainnya
Opini

In Prabowo We Trust" dan Nasib Bangsa Ke Depan

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Kamis, 28 Mar 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya kemarin di acara berbuka puasa bersama, "Partai Demokrat bersama Presiden Terpilih", tanpa Gibran hadir, kemarin, ...
Opini

MK Segera saja Bertaubat, Bela Rakyat atau Bubar jalan

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi (MK) segera bertaubat. Mumpung ini bulan Ramadhan. Segera mensucikan diri dari putusan-putusan nya yang menciderai keadilan masyarakat.  Di ...