Oleh Tamsil Linrung (Senator DPD RI, Anggota MPR RI) pada hari Minggu, 20 Okt 2019 - 12:44:47 WIB
Bagikan Berita ini :

Mengelola Ketegangan Pascapelantikan

tscom_news_photo_1571550287.jpeg
(Sumber foto : Istimewa)

Tegang, serius, mendebarkan dan mencekam. Itulah gambaran kebatinan Jakarta beberapa hari jelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Jokowi-Ma’ruf (20/10). Setidaknya, amat terasa bila kita beraktivitas di kawasan Senayan dan sekitarnya.

Kendaraan taktis, pasukan pengamanan berseragam dan bersenjata lengkap, pasukan dalam penyamaran, hingga anjing pelacak dikerahkan. Situasi terasa mencekam. Entah didesain memang seperti itu, atau hanya kesan yang ditimbulkan. Namun, kita merasakan ada jarak yang memisahkan. Antara Presiden dan Wapres pilihan rakyat itu, dengan masyarakat yang tak boleh lagi dipandang “dia pemilih saya dan itu bukan kelompok dari seberang”.

Pemilu telah selesai, pelantikan digelar. Mereka yang terpilih akhirnya harus melayani semua. Tanpa melihat latar belakang dukungan ketika Pilpres yang memang menciptakan ketegangan dimana-mana. Mempertahankan iklim ketegangan itu, sengaja atau tidak, justru terus berimplikasi pada keretakan di tengah-tengah masyarakat.

Apalagi, buzzer politik terus melontarkan konten-konten agitatif di media sosial. Narasi kelompok radikal, ancaman keamanan, dan aneka pesan multimedia yang memancing kisruh terus reproduksi. Alih-alih menerapkan strategi komunikasi afirmatif yang merupakan kultur masyarakat kita.

Pelantikan adalah momentum bersejarah. Semestinya jadi pesta dan kegembiraan bagi seluruh komponen rakyat. Namun situasi tegang itu, justru menciptakan jarak. Kita sedih, ketika pemimpin bangsa justru banyak disindir bahkan menuai hujatan. Terutama di media sosial. Ruang ekspresi masyarakat yang paling otentik saat ini.

Presiden dan Wakil Presiden seharusnya ditampilkan sebagai sosok dicintai, bahkan dikucuri do’a. Dari seluruh elemen rakyat. Bukan oleh relawan dan pendukung dalam Pilpres saja. Sebab dikotomi itu cerita yang telah selesai. Tidak ada lagi kontestasi.

Mengelola ketegangan pascapelantikan adalah pekerjaan pertama Presiden dan Wapres terpilih. Setelah menerima mandat, mereka bukan lagi milik partai dan pendukung. Sedetik pasca berucap sumpah dan janji di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), maka Presiden dan Wapres resmi mewakafkan diri untuk melayani dan bekerja untuk seluruh komponan bangsa.

Merujuk pada data Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jokowi-Ma’ruf dipilih oleh 85,6 juta pemilih dari 190 juta pemilih yang terdaftar. Secara kuantitatif maupun kualitatif, artinya keterpilihannya tersebut tidak begitu signifikan. Sebab ada 104,4 juta pemilih lain yang tak memilih pasangan ini.

Artinya, Prersiden dan Wapres memikul tanggungjawab yang amat berat. Meyakinkan bahwa pemerintah ada, dan bekerja untuk orang-orang non pemilih Jokowi-Ma’ruf yang jumlahnya dominan tersebut. Legitimasi empirik itu tidak mudah diperoleh sekadar dengan mencoblos. Namun harus melalui pembuktian.

Okelah, komunikasi politik ditingkat parpol yang dilakukan istana memang sukses menggalang kekuatan politik elit. Parpol-parpol yang tadinya berada di barisan oposisi tampak perlahan melebur ke pemerintah. Memberikan legitimasi politik.

Dalam skema transaksi kekuasaan, tentu saja. Hal yang saya kira wajar saja secara politik. Terutama bagi pemerintah yang memang berharap stabilitas di tingkat elit untuk memuluskan program-program yang dicanangkan.

Kendati demikian, dukungan itu sebetulnya juga jadi beban. Bukan hanya bagi parpol yang berubah haluan tersebut sebab mereka memanggul dukungan sebagai opisisi. Namun juga beban bagi pemerintah yang harus siap menghadapi duri dalam daging.

Maka bila iklim ketegangan seperti saat ini terus terjadi, dapat dibayangkan betapa menakutkan kekuatan oposisi 104,4 juta masyarakat yang bukan pemilih Jokowi-Ma’ruf. Legitimasi politik elit tentu tak dapat diandalkan bila berhadapan dengan kekuatan politik rakyat.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Lainnya
Opini

Ahlan Wa Sahlan Prabowo Sang Rajawali!

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Rabu, 24 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Prabowo Subianto sah sebagai Presiden RI ke delapan. Itu adalah takdir Prabowo yang biasa dipanggil 08 oleh koleganya. Keputusan MK ...
Opini

Jalan Itu Tidaklah Sunyi

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --"Jika Mamah jadi penguasa apakah Mamah akan menjadikan anak Mamah pejabat saat Mama berkuasa?" Itu pertanyaan anakku malam ini. Aku mendengarkan anakku ini. ...