JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyebutkan peran saksi pelaku atau Justice Collaborator dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi belum diterapkan secara optimal oleh penegak hukum.
"Peran saksi pelaku belum dioptimalkan dalam upaya kita memerangi tindak pidana korupsi," kata Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi Pasaribu saat jumpa pers di Kantor LPSK, Jakarta Timur, Senin (9/12/2019).
Menurutnya, penggunaan saksi pelaku dalam pengungkapan perkara perkara yang sulit juga belum terlihat hasilnya. Bahkan, permohonan perlindungan sebagai saksi pelaku dalam tindak pidana korupsi kepada LPSK cenderung memperlihatkan angka yang rendah.
"Salah satu langkah dukungan dalam penegakan hukum melalui UU Perlindungan Saksi dan Korban adalah aturan terkait dengan saksi dan pelaku," jelasnya.
Sejak 2006 untuk saksi pelaku telah diatur sebagai istilah baru di Indonesia melalui UU Nomor 13 Tahun 2006 Jo UU Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, sedangkan untuk definisi Saksi Pelaku adalah tersangka, terdakwa atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap tindak pidana pada kasus yang sama.
Peran saksi pelaku pada pengungkapan tindak pidana korupsi tidak saja bertujuan agar saksi pelaku ini mendapatkan hak-haknya seperti pengurangan hukuman, pemisahan berkas dan pemberian penghargaan, namun juga menjadi sarana pengembalian aset negara.
Pengaturan terkait saksi pelaku yang memenuhi syarat untuk diberikan perlindungan, dikatakan Edwin, tidak hanya menguntungkan dari segi pengungkapan perkara namun juga mampu mengembalikan kerugian negara yang ditimbulkan.
"LPSK melihat hadirnya UU Nomor 31 Tahun 2014 menjadi peneguhan subyek baru yakni saksi pelaku dalam ketentuan perundang-undangan di Indonesia. Artinya, semua institusi yang terlibat dalam bekerjanya sistem peradilan pidana, menjadi terikat dan wajib melaksanakan norma-norma yang diatur dalam UU tersebut," ujarnya.
Oleh karena itu, muatan pengaturan mengenai saksi pelaku yang ada pada aturan lain seperti dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011, Peraturan Bersama Tahun 2011 dan PP Nomor 99 Tahun 2012 yang mengatur mengenai Saksi Pelaku yang bekerjasama tidak relevan untuk diterapkan, sepanjang aturan tersebut telah diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 2014.
"Dalam hal rumusan yang belum diatur dalam UU atau peraturan pelaksanaan maka masih bisa dirujuk sepanjang tidak bertentangan dengan UU Nomor 31 Tahun 2014," jelasnya.
Edwin menambahkan, penetapan sebagai saksi pelaku atau Justice Collaborator hanya bisa dilakukan oleh LPSK melalui permohonan, sementara dalam beberapa kasus, Polri dan KPK juga ikut menetapkan.
"Mereka yang ingin menjadi JC harus memiliki barang bukti yang valid, bukan pelaku utama, pernah diancam oleh pelaku utama dan siap mengembalikan aset negara. Kalau ini sudah dipenuhi, baru LPSK menetapkan yang bersangkutan layak atau tidak sebagai Justice Collaborator," terangnya.
Sementara itu, terkait pemberian penghargaan kepada saksi pelaku, dalam UU Nomor 31 Tahun 2014 Pasal 10 A ayat (4) dan (5) secara tegas menyebutkan, untuk memperoleh penghargaan berupa keringanan pidana, hanya LPSK yang diberikan kewenangan oleh UU untuk memberikan rekomendasi secara tertulis kepada penuntut umum untuk dimuat dalam surat tuntutan kepada hakim.
"Begitu pun perihal mendapatkan pembebasan bersyarat, remisi tambahan dan hak narapidana lainnya, LPSK diberi kewenangan sesuai UU yang berlaku untuk memberikan rekomendasi kepada Menteri Hukum dan HAM," tandasnya. (ahm)