Oleh Tommy P pada hari Kamis, 20 Feb 2020 - 11:04:56 WIB
Bagikan Berita ini :

Harga Gas Turun,  Pertumbuhan Ekonomi Diprediksi Capai 6%

tscom_news_photo_1582171496.jpg
(Sumber foto : istimewa)

JAKARTA - Sektor industri menunggu realisasi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40/2016 terkait Penetapan Harga Gas Bumi yang menjanjikan harga gas US$ 6/Million British Thermal Unit (MMBTU). Penurunan harga gas akan mendukung realisasi target pertumbuhan ekonomi 6% dan terwujudnya industrialisasi di Indonesia.

Hal ini terungkap dalam Diskusi "Menanti Implementasi Perpres Nomor 40 Tahun 2016 Bagi Dunia Usaha" yang diselenggarakan APOLIN dan Majalah Sawit Indonesia didukung Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS), Jakarta, Rabu (19/2).

Rapolo Hutabarat, Ketua Umum Asosiasi Produsen Oleochemicals Indonesia (APOLIN) menjelaskan bahwa oleokimia termasuk tujuh sektor industri di dalam Perpres Nomor 40/2016 yang mendapatkan ketetapan harga gas industri sebesar US$ 6/per Million British Thermal Unit (MMBTU). Ketujuh sektor industri tersebut antara lain oleokimia, pupuk, petrokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.

Setiap tahun, berdasarkan data APOLIN kebutuhan gas industri oleokimia mencapai 11,7 juta-13,9 juta per MMBTU dari 11 perusahaan anggota APOLIN. Saat ini, industri oleokimia harus membayar harga gas industri rerata US$10-US$12 per MMBTU. Dalam struktur biaya produksi, biaya gas berkontribusi sekitar 10%-12% untuk produksi fatty acid dan sebesar 30%-38% dalam menghasilkan fatty alcohol beserta produk turunan di bawahnya.

Padahal, Perpres 40/2016 mengamanatkan harga gas industri sebesar US$ 6 per MMBTU sesuai arahan Presiden Jokowi. Jika terealisasi, maka akan terjadi penghematan antara US$ 47,6 juta-US$ 81,8 juta atau Rp 0,68 triliun-Rp 1,1 triliun per tahun.

Jika Perpres 40/2016 ini dapat dijalankan oleh pemerintah, maka akan terjadi investasi baru dan perluasan menambah kapasitas produksi, kesempatan bekerja dan daya saing global produk-produk oleochemical lndonesia ke negara tujuan ekspor akan lebih tinggi sehingga perolehan devisanya akan jauh lebih besar.

"Hingga kini, Perpres belum kelihatan akan berjalan untuk menekan harga gas industri. Selama empat tahun, pelaku oleokimia menantikan regulasi bisa terlaksana dan dapat diimplementasikan, " ujar Rapolo.

Sementara itu, pelaku industri petrokimia yang diwakili Fajar Budiono, Sekjen Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) menuturkan penurunan harga gas akan memberikan empat dampak positif yaitu biaya produksi turun, harga jual turun, memperkuat daya saing ekspor, dan daya beli masyarakat meningkat.

Saat ini, dikatakan Fajar, Industri petrokimia mesti membeli gas sebesar 9,17 dolar per MMBTU. Pada tahun ini, kebutuhan gas 24 industri petrokimia mencapai 74 BBTUD (red-Billion British Thermal Unit per Day. "Yang harus dipahami pemerintah, turunnya harga gas menggerakkan industrialisasi sehingga pertumbuhan ekonomi nasional berpeluang naik lewati 5 persen," jelasnya.

Yustinus Gunawan, Ketua Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) menjelaskan pelaku industri telah memperjuangkan harga gas yang terjangkau semenjak delapan tahun lalu. Saat ini, pelaku industri menunggu kepastian pemerintah untuk menurunkan harga gas yang belum terlaksana hingga sekarang. Sebab, investor meminta regulasi bisa dijalankan secepatnya."Penundaan berlarut menurunkan daya saing, menurunkan kepercayaan investor, dan mengurangi kemampuan menekan defisit neraca perdagangan," ucapnya.

Lila Harsyah Bakhtiar, Kepala Sub Direktorat Industri Hasil Perkebunan Non Pangan Kementerian Perindustrian menjelaskan bahwa Kementerian telah meminta pelaku industri untuk memasukkan data gas seperti konsumsi dan data kontrak gas perusahaan dalam rangka menjalankan arahan Presiden supaya harga gas turun mulai 1 April 2020.Dalam hal ini, Kementerian meminta adanya keterbukaan data/informasi (open book), kebenaran data (truth), kecepatan respon, dana saling percaya (trust) bahwa data tetap terjaga.

"Dengan harga gas saat ini memperlihatkan perlambatan pertumbuhan industri pengolahan non migas pengguna gas dan di bawah laju pertumbuhan industri pengolahan non migas secara keseluruhan," jelasnya.

Ananda Idris, Ketua Komite Migas APINDO, menjelaskan bahwa persoalan kesiapan produksi gas sebaiknya diperhatikan pula karena dalam beberapa tahun terakhir tidak ada eksplorasi baru. Sumur gas yang beroperasi telah berusia tua karena potensi gas belum dioptimalkan.

Kurtubi, Pengamat Energi, menuturkan pemerintah seharusnya lebih bijak dalam mengatur tata kelola gas. Karena itu, kegiatan pengelolaan migas sebaiknya satu pintu yang melalui BUMN seperti Pertamina.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
AMIN BANNER 01
advertisement
AMIN BANNER 02
advertisement
AMIN BANNER 03
advertisement
AMIN BANNER 04
advertisement
AMIN BANNER 06
advertisement
AMIN BANNER 08
advertisement