Bibir merah Pevita Pearce bukan bibir merah revolusi. Pevita tidak suka revolusi, ia lebih suka iklan dan film. Maka Pevita tidak terlihat di barisan para pendemo yang menuntut Jokowi mundur.
Ia terjun di dunia model, film dan iklan. Sebuah dunia yang sejuk bermandikan uang, popularitas dan kekaguman. Serta bonus lain dalam hubungan sosial plus jalan lempang berkarier. Pevita tidak sama dengan Wilson, aktivis - penyair yang menulis puisi ketika berada dalam tahanan berjudul : Revolusi adalah Sepotong Cinta. Di dalam puisi itu ada kalimat "menciumi bibir- bibir merah revolusi koi".
Kalimat itu saya kutip terlebih dulu, baru kemudian saya pasang sebagai judul. Bibir merah bukan bibir-bibir merah. Satu bibir merah kepunyaan Pevita Pearce, lebih terasa dalam kalau dibandingkan dengan dua atau tiga bibir yang tidak menimbulkan gairah seks yang menggelegak seperti bibirnya Eli Sugigi atau bibirnya Nunung, pelawak Srimulat atau bibir Nikita Mirzani yang tebal. Bibir Pevita lebih imajinatif lebih indah.
Tapi saya tidak sedang bicara soal bibir tetapi tentang puisi Wilson Obrigados. Puisi tentang revolusi. Sebab menulis kata revolusi, ketika sejumlah mahasiswa berdemo di jalanan menolak undang-undang Omnibus Law dan pasukan penunggang demo berbekal bom molotov, batu, serta korek api yang meneriakan yel-yel revolusi dan mendesak pemerintah mundur, membuat jantung oposisi berdesir naik turun seirama dengan musik blues.
Di dalam buku antologi puisi Wilson Obrigados, yang lahir di Jakarta, berjudul : Bulan Kembar di Langit Tokyo, ada dua puisi tentang Revolusi. Revolusi adalah Sepotong Cinta (1) dan Revolusi adalah Sepotong Cinta (2). Dua-duanya ditulis di penjara Cipinang.
Tentu saja dua puisi Revolusi itu ditulis dengan penghayatan seorang aktivis kala dalam kekalahannya sementara. Kalah, karena penyairnya sedang mendekam ditahanan. Karena melawan kekuasaan rezim politik Orde Baru. Wilson berharap revolusi yang terjadi adalah revolusi penuh cinta. Walaupun Wilson menyebut cinta tetapi sosoknya Yesus yang disalip kediktatoran. Yesus yang digambarkan penuh cinta kasih itu Yesus yang hidup dalam tirani, sebagai mana Wilson hidup dalam kediktatoran rezim Orba Suharto.
Seorang penyair adalah seorang penghayat bahasa. Penyair memilih kata, tokoh dan peristiwa, untuk membentuk dunia yang dibayangkan ada, terjadi dalam realitas sosial. Maka tidak heran kalau Wilson menginginkan, "menciumi bibir-bibir merah revolusi". Bibir merah revolusi itu bukan bibir merahnya Pevita Pearce. Bibir merah revolusi itu bibirnya kaum demonstran, kaum revolusioner yang hendak mewujudkan mimpinya tentang perubahan. Perubahan besar dalam politik kekuasaan rezim yang menidas.
Naluri seorang aktivis - penyair bukankah mereka yang sibuk memikirkan bentuk puisi atau makna puisi yang dikaji secara serius oleh Michael Ryan dalam bukunya Teori Sastra Sebuah pengantar praktis. Tetapi penyair yang hendak menyampaikan pesan moralnya tentang adanya penindasan politik dan perlawanannya yang romantis.
Pemerintah tidak boleh salah agar tidak memancing rasa marah warganya. Pemerintah juga tidak boleh berlaku seenak "wudele dewe", agar warganya berkata bahwa revolusi telah selesai.
Percaya pada pendapat Mohammad Hatta yang mengatakan bahwa revolusi sudah selesai atau pendapat Sukarno yang mengatakan bahwa revolusi belum selesai atau bung Sutan Syahrir yang mengatakan bahwa revolusi belum mulai. Ketiga tokoh itu memiliki argumen yang berbeda yang sama-sama kuat.Sebagai mana puisi bung Wilson tentang Revolusi yang juga kuat.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #