Oleh Radhar Tribaskoro pada hari Jumat, 30 Apr 2021 - 15:08:57 WIB
Bagikan Berita ini :

Mengadili Kebebasan Berbicara (1) Kasus Pengadilan Syahganda dan Jumhur

tscom_news_photo_1619770137.jpg
Syahganda Nainggolan Aktivis KAMI (Sumber foto : Istimewa)


1. Pendahuluan

Struktur Dakwaan

Jaksa Penuntut Umum pada Pengadilan Negeri Depok pada hari Kamis 1 April 2021 menuntut Syahganda Nainggolan, 6 tahun penjara. Tuntutan sebanyak itu, apa soalnya?

Syahganda Nainggolan (SN) dan M. Jumhur Hidayat (MJH) menentang RUU Cipta Kerja (omnibus law) yang disusun pemerintah. Pandangan politik itu mereka sampaikan dalam cuitan twitter. Celakanya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menganggap cuitan tersebut mengandung kebohongan, mendorong orang berunjuk-rasa dan akhirnya memicu keonaran. Berdasar anggapan itu JPU kemudian mendakwa Syahganda dan Jumhur sebagai telah melanggar Undang-Undang No.1/1946. Persidangan atas dakwaan tersebut sedang berlangsung sekarang ini di PN Depok dan PN Jakarta Selatan.

Dakwaan di atas tidak ayal menimbulkan reaksi dari kalangan aktivis maupun pakar. Mereka memandang JPU bertindak berlebihan. Sebab cuitan twitter Syahganda dan Jumhur adalah sebuah kritik yang lazim terjadi di negara demokrasi. Di dalam demokrasi kritik dan kontra-kritik sama membentuk public discourses atau wacana publik. Wacana publik merepresentasikan partisipasi publik dalam demokrasi.
Senada dengan argumentasi di atas tim pengacara hukum Syahganda mengatakan dalam nota keberatannya (eksepsi) bahwa dakwaan JPU terang-terangan bertentangan dengan pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

Ketentuan konstitusi di atas telah dituangkan ke dalam UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum yang tegas mengatakan bahwa “Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara…”
Pengaturan mengenai kebebasan berpendapat juga disampaikan oleh UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 23 ayat (2) yang berbunyi: “Setiap orang bebas untuk menyampaikan, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik.”

Namun JPU berkukuh. Menurut mereka kebebasan berpendapat tidak mutlak, ada pembatasannya. Pembatasan itu misalnya disampaikan dalam pasal 28J UUD 1945 juncto pasal 8 UU No.39/1988 tentang HAM yang menyebutkan agar penyampaian pendapat di muka umum “... dapat berlangsung secara aman, tertib dan damai.” Pasal 23 ayat 2 dari UU yang sama juga menyatakan bahwa penyampaian pendapat hendaknya memperhatikan “...nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum dan ketertiban negara.”

Dengan jalan pikiran di atas JPU yakin bahwa apa yang disampaikan oleh SN dan MJH telah melanggar batas sehingga bukanlah pembicaraan yang dilindungi oleh UUD 1945 maupun perundang-undangan terkait di bawahnya.

Berkenaan dengan itu JPU telah menyangka Syahganda melanggar UU No.1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang berkaitan dengan penyebaran berita bohong dan menimbulkan keonaran.

Struktur Pembelaan

Bila mengikuti pendapat JPU, kita jadi bertanya lantas apa artinya perlindungan konstitusi atas Hak-hak Asasi Manusia? Pasal 28J UUD 1945 memuat alasan yang sangat luas untuk melumpuhkan pasal 28A s/d 28I UUD 1945 yang melindungi hak-hak asasi.
Jalan pikiran JPU itu berbahaya karena bisa membuat kebebasan warga menjadi soal yang arbitrer, diputuskan atas dasar subjektif. Cara berpikir ini bisa menjadikan kekuasaan kehilangan kendali dan berakibat kebebasan warga mulur mungkret seperti karet.

Seharusnya ide perlindungan atas kebebasan berbicara itu sendiri harus diartikan sebagai kekebalan dimana ketentuan-ketentuan biasa tidak diberlakukan dengan mudah. Hak kekebalan itu telah dijalankan untuk anggota legislatif dan pelaku pers, mereka dibebaskan dari segala tuntutan terkait pembicaraan yang dilakukannya di ranah DPR dan di media pers. Kekebalan anggota legislatif itu telah diperkuat oleh Undang-Undang No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Sementara kekebalan untuk awak pers telah dijamin oleh UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Kekebalan semacam itu seharusnya diaplikasikan juga kepada para kritikus politik dan kebijakan publik. Orang-orang seperti Syahganda dkk sangat rentan dikriminalisasi tanpa adanya undang-undang yang mengatur kekebalan itu. Padahal mereka memiliki peran besar dalam pencarian kebenaran, pengembangan partisipasi demokrasi dan pencerahan publik, sebagaimana nanti dijelaskan dalam Bab 3. Mereka adalah elemen yang membentuk dan mempertahankan demokrasi.

Mengingat kekebalan bagi para kritikus politik dan kebijakan publik itu belum ada, maka pengadilan hendaknya bertindak lebih restriktif kepada JPU. Salah satu restriksi itu adalah menuntut JPU untuk membuktikan terlebih dulu bahwa ujaran atau pernyataan Syahganda dkk yang dipermasalahkan bukan termasuk pembicaraan yang dilindungi (kebal). Hanya bila terdapat kenyataan objektif bahwa pembicaraan Syahganda dkk bukan termasuk pembicaraan yang dilindungi maka proses pidana dapat dilanjutkan.

Namun karena proses pidana telah berjalan pengadilan memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa perbuatan Syahganda dkk sudah tidak lagi dilindungi UUD 1945. Dalam rangka itu, memberi argumentasi perlindungan kebebasan berbicara, kami membuat tulisan ini.

Jadi secara legalistik dakwaan JPU tersebut perlu diuji pada dua tingkatan. Pada tingkatan pertama, perlu dilakukan uji atas validitas dan reliabilitas dakwaan. Pengujian itu secara konvensional menjadi fokus perhatian Tim Penasehat Hukum. TPH akan mengupas pasal yang dipergunakan JPU, menemukan unsur-unsurnya dan membuktikan bagaimana perbuaran terdakwa tidak memenuhi unsur-unsur tersebut.

Adapun uji pada tingkat kedua bermaksud membuktikan bahwa sekalipun pemerintah memiliki wewenang untuk membatasi kebebasan berpendapat, namun kewenangan itu tidak berlaku pada kategori pendapat atau ujaran yang disampaikan Syahganda dkk. Tindakan hukum atas ujaran Syahganda dkk, dengan demikian, adalah pelanggaran kebebasan berbicara sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Pembelaan pada taraf ini merupakan tanggung-jawab kaum intelektual dan aktivis demokrasi.

Sebagai sebuah artikel yang disiapkan untuk menjadi pembelaan bagi Syahganda dkk, setelah pendahuluan kami akan membagi artikel ini ke dalam 4 bagian. Di bagian pertama kami akan menguraikan komitmen para bapak bangsa untuk mendirikan negara demokrasi. Bagian ini merupakan fondasi untuk argumentasi yang kami susun selanjutnya. Pada bagian kedua kami menguraikan sejumlah justifikasi untuk kebebasan berbicara, yang berasal dari berbagai tradisi pemikiran di dunia. Uraian ini bermaksud menempatkan demokrasi dan hukum di Indonesia sejajar dan sepaham dengan apa yang berlaku di dunia. Hukum Indonesia bukanlah hukum yang arbitrer.

Selanjutnya pada bagian ketiga kami menguraikan jenis-jenis pendapat yang pantas dan tidak pantas memperoleh perlindungan. Pada bagian ini akan kami buktikan bahwa ujaran Syahganda yang dipersoalkan oleh JPU adalah termasuk dalam ujaran/pendapat yang wajib memperoleh perlindungan pemerintah.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Lainnya
Opini

Ahlan Wa Sahlan Prabowo Sang Rajawali!

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Rabu, 24 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Prabowo Subianto sah sebagai Presiden RI ke delapan. Itu adalah takdir Prabowo yang biasa dipanggil 08 oleh koleganya. Keputusan MK ...
Opini

Jalan Itu Tidaklah Sunyi

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --"Jika Mamah jadi penguasa apakah Mamah akan menjadikan anak Mamah pejabat saat Mama berkuasa?" Itu pertanyaan anakku malam ini. Aku mendengarkan anakku ini. ...