Oleh Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum pada hari Senin, 03 Mei 2021 - 23:18:47 WIB
Bagikan Berita ini :

Songsong Peradilan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Penguasa Oleh TPUA: Dibutuhkan Hakim Progresif

tscom_news_photo_1620058727.jpg
Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum (Sumber foto : Ist)

Kehebohan kembali menyeruak dunia hukum dan politik di tanah air. Menyusul gugatan Perbuatan Melawan Hukum Penguasa oleh Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA). Pro kontra pasti terjadi mengingat hal ini bukan sebuah kelaziman di mana 2 lembaga tinggi negara, yakni Presiden dan DPR digugat karena diduga telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum. Dari sisi HTN Konvensional, maka tuntutan itu hanya bisa melalui jalur impeachment sesuai dengan Pasal 7A UUD NRI 1945. Namun, kali ini ada terobosan TPUA menggugat kedua lembaga itu dengan gugatan PMHP ke Pengadilan Negeri. Bolehkah, mungkinkah dari sisi ilmu hukum, apakah itu konstitusional? Untuk itu artikel panjang kali lebar ini diniatkan sebagai sarana edukasi tentang jalur "extraordinary tersebut" yakni penegakan hukum progresif di Pengadilan yang diwakili oleh HAKIM.

Langkah TPUA akan kandas jika pengadilan c.q. hakimnya tidak progresif. Kali ini penulis hendak melanjutkan perbincangan sistem peradilan (perdata, pidana, TUN) khususnya tentang pintu gerbang terakhir pencarian keadilan (access to justice, searching the justice) secara formal. Perbincangan ini dilakukan tetap dalam bingkai pencarian keadilan di berbagai ruang (justice in many rooms) yang digawangi oleh hakim. Keadilan sebagai salah satu nilai dasar hukum sulit diwujudkan kecuali oleh hakim progresif.

Seorang hakim progresif sebagai pengambil keputusan hukum harus mampu dan berani meramu dan menggunakan pendekatan extra ordinary, misalnya pendekatan legal pluralisme. Dalam rangka mewujudkan hukum progresif, hakim progresif tidak mungkin dihasilkan melalui Pendidikan Tinggi Hukum yang biasa saja, melainkan Pendidikan Tinggi Hukum yang progresif pula.

Sangat diharapkan setelah membaca artikel "pendek" ini para pembaca mampu memahami betapa hakim itu harus berpikir, bersikap dan bertindak progresif dalam memeriksa dan memutus perkara karena di tangannyalah ide hukum berupa keadilan, kepastian dan kemanfaatan itu diwujudkan. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa hakim tidak seharusnya hanya menyelesaikan perkara secara text book UU (la bouche de la loi) melainkan harus berani bertindak progresif dengan tindakan beyond of text atau out of the box melalui rule breaking atau breakthrough of the rule atau secara prinsip dikatakan not rule boundedness.

Duduk Masalah

Ditinjau dari perkembangan hukum modern di dunia, legal positivism mencapai masa kejayaannya pada abad 19, yakni dengan munculnya tradisi baru dalam berhukum yang menghendaki kehidupan hukum itu harus dimurnikan dari pengaruh anasir-anasir lainnya, misalnya moral dan agama. Tradisi ini kita kenal dengan upaya pemurnian teori hukum (The Pure of Law Theory) atau Reine Rechtslehre yang dipandegani oleh Hans Kelsen sebagai penerus dari penggagas Law as a command bernama John Austin. Intinya teori ini menegaskan bahwa hukum harus dimurnikan dari anasir lainnya termasuk moral, bahkan dikatakan the moral must be separated from the law. Jadi yang penting adalah kepastian hukum yang dirinci dalam 3 ranah yaitu lex scripta (tertulis), lex certa (jelas, tidak ambigu) dan lex stricta (ketat, prosedural baku). Adapun problem yang perlu diajukan dalam perbincangan hukum kali ini adalah:

1. Mengapa cara berhukum yang hanya mengandalkan positivisme hukum tidak mampu mendorong hakim mewujudkan keadilan substantif dalam penyelesaian perkara di pengadilan?

2. Bagaimana cara membentuk hakim yang progresif sehingga mampu menghadirkan keadilan di tengah masyarakat (bringing justice to the people)?

Pembahasan

A. Positivisme Hukum: Menjauhkan Keadilan Substantif dari Hukum.

Sejak hukum modern lahir, dunia hukum mengalami perubahan yang cukup dramatis terhadap pencarian kebenaran dan keadilan. Akibat perubahan dramatis pada abad ke-18 dapat dirasakan hingga sekarang ini. Pengadilan telah berubah menjadi institusi publik yang sarat dengan birokrasi, prosedur-prosedur, formalitas dan sebagainya. Untuk bisa berhasil dalam urusan hukum, orang harus ahli menguasai peraturan hukum dan pandai-pandai ‘mempermainkan’ prosedur. Satjipto Rahardjo (2004) menyebut keadaan tersebut sebagai sebuah tragedi hukum modern. Hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa menjalankan peraturan hukum hampir sinonim dengan menegakkan hukum.

Aspek keadilan dan kebenaran dalam sistem peradilan legal positivism mengalami marginalisasi besar-besaran. Pengadilan tidak lagi menjadi tempat untuk mendapatkan sebenar keadilan, melainkan untuk mencari sang pemenang (the winner). Pizzi mengatakan: “...we have developed a criminal trial system that is entertaining and that places tremendous emphasis on winning and losing, but the system badly underemphasized truth”, sehingga muncullah fenomena yang oleh Willian T. Pizzi (1999) disebut trial without truth.

Sebagaimana saya tegaskan pada artikel sebelumnya, kendati hukum dan keadilan sering dikatakan sebagai dua sisi dari satu mata uang, namun harus diingat bahwa hukum itu berbeda sama sekali dengan keadilan. Jadi dapat dikatakan bahwa menegakkan hukum tidak sekaligus menghadirkan keadilan, apalagi yang disebut dengan keadilan komprehensif.

Saya mencoba melacak gerangan jenis keadilan apa yang dapat disejajarkan dengan keadilan komprehensif. Dalam literatur ditemukan jenis keadilan yang disebut perfect justice (Werner Menski, 2006). Menurut Menski, pencarian terhadap keadilan melalui hukum telah dilakukan orang dengan menggunakan 3 pendekatan yakni pendekatan filosofis—hasilnya adalah keadilan ideal, normatif positivis—hasilnya adalah keadilan formal dan socio-legal—hasilnya adalah keadilan materiil. Menski menawarkan jenis pendekatan keempat yang disebut dengan pendekatan legal pluralism.

Jenis keadilan yang diharapkan lahir dari pendekatan legal pluralism adalah perfect justice yang dapat disetarakan dengan keadilan komprehensif. Hal ini sesuai dengan pernyataan Menski bahwa melalui pendekatan legal pluralism ini seorang pengambil keputusan hukum harus senantiasa memperhatikan kompleksitas perkara yang dihadapi. Kompleksitas itulah yang dijadikan dasar konstruksi penalaran hukumnya sebelum seorang hakim memutus kebijakan tertentu. Kompleksitas itu berupa state law (hukum negara), living law (sosio-legal) serta natural law (moral, ethics and religion).

Tiga Ratus tahun sebelum Masehi, Ulpianus telah menancapkan tiga prinsip utama hukum alam, yakni honeste vivere (hiduplah dengan jujur), alterum non laedere (terhadap orang lain di sekitarmu janganlah merugikan), dan suum cuique tribuere (kepada orang lain berikanlah apa yang menjadi haknya). Tiga prinsip dasar tersebut sebenarnya merupakan dasar sekalian moralitas manusia sehingga apabila ketiganya diposisikan sebagai perintah, maka perintah itu bersifat perintah yang tidak bisa ditawar-tawar oleh manusia (imperative categories).

Perintah itulah yang dapat memanusiakan manusia dan menjadikan penegak hukum yang humanis. Jujur, tidak merugikan orang lain dan adil adalah sifat-sifat penegak hukum yang humanis tersebut. Ketika hidup ini belum sedemikian complex dan complicated, ketiga sifat itu mungkin tidak selangka dalam kehidupan sekarang yang serba instan dan interaksi antar manusia bersumbu pendek, dan suka menerabas seperti istilah yang pernah dipopulerkan antropolog Koentjaraningrat (1980). Ada beberapa mentalitas buruk, menurut Koentjaraningrat, yang terus dipelihara sebagian besar bangsa ini dan diwariskan turun-temurun kepada generasi selanjutnya.

Beberapa mentalitas buruk itu antara lain suka menerabas, meremehkan mutu atau kualitas, tidak percaya diri, berdisiplin semu, dan suka mengabaikan tanggung jawab. Menerabas itu melakukan pemintasan jalan guna meraih sesuatu secara cepat atau instan. Sebagian besar masyarakat kita tidak mau mengambil jalan yang semestinya dilalui karena memakan waktu lama. Mereka berpikir untuk apa susah-susah, padahal ada jalan yang lebih mudah. Menerabas juga sering diasosiasikan dengan mentalitas yang melangkahi rambu-rambu kepatutan.

B. Urgensi Menjadi Hakim Progresif Untuk Menghadirkan Keadilan Substantif

Sebagai sebuah sistem yang lebih luas dan hidup, masyarakat terdiri atas berbagai subsistem yakni subsistem budaya, sosial, politik dan ekonomi. Dalam Teori Sibernetika Talcott Parsons disebutkan bahwa fungsi primer subsistem sosial dalam masyarakat yang lebih luas adalah melakukan integrasi berbagai kepentingan yang beragam, plural bahkan saling berseberangan sehingga seringkali membentuk friksi dalam interaksi sosial. Dalam sistem sosial yang luas, hukum berada dalam area subsistem sosial sehingga fungsi utama hukum juga sebagai mekanisme pengintegrasi. Dalam praktik penegakan hukum, pengadilan di Indonesia menjalankan fungsi integrasi yang diwakili oleh hakim, sehingga hakim memikul tanggung jawab untuk menghadirkan keadilan (bringing justice to the people) dan kebenaran (searching for the truth) dalam rangka menciptakan integrasi sosial bukan sebaliknya menciptakan disintegrasi sosial.

Harry C Bredemeier yang mengadopsi teori Sibernetika Talcott Parsons menempatkan subsistem sosial sebagai posisi sentral dalam penggunaan hukum sebagai mekanisme pengintegrasi. Dalam dunia hukum, hakim dipercaya sebagai sosok yang mampu mengintegrasikan berbagai macam kepentingan, perbedaan dan friksi-friksinya melalui konversi yang dibekali dengan input berupa fungsi adaptif sistem dari subsistem ekonomi, fungsi mengejar tujuan dari sub sistem politik dan fungsi mempertahankan pola dari subsistem budaya. Setelah melakukan proses konversi di lembaga pengadilan, putusan yang dihasilkan hakim diharapkan memenuhi unsur-unsur efisiensi, legitimasi dan keadilan.

Pada sistem hukum Common Law, hakim dapat menciptakan hukum, hukum baru, yang dikenal dengan prinsip “Judge Made Law”, sehingga hakim benar-benar bersifat independen, tidak terbelenggu dengan peraturan perundang-undangan belaka (la bouche de la loi) dan bebas untuk memperhatikan atau tidak terhadap faktor-faktor yang mengarah kepadanya. Dalam proses mengadili suatu perkara, faktor-faktor yang berada di luar pengadilan termasuk kelompok-kelompok penekan (pressure groups) misalnya Pers, LSM dan lainnya, dapat ditempatkan dalam kedudukan sebagai sahabat pengadilan (Amicus Curiae).

Untuk apa pengadilan punya sahabat? Fungsi utama sahabat pengadilan adalah memberikan masukan-masukan baik diminta / tidak dalam rangka memutuskan suatu perkara, namun masukan itu tidak bersifat mendikte melainkan dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan karena putusan terakhir tetap berada pada otoritas hakim–hakim dalam pengadilan itu. Meminjam istilah Niklas Luhmann maka sistem pengadilan tersebut sebenarnya bersifat AUTOPOIETIC.

Sebagai sistem autopoietic, pengadilan memiliki beberapa karakter yaitu:

1. Pengadilan menghasilkan elemen-elemen dasar yang menyusun sistem itu sendiri (self-producing).

2. Pengadilan mengorganisasikan diri (self-organizing) dalam dua cara, yaitu dengan cara mengorganisasikan batas-batasnya sendiri dan mengorganisasikan struktur internalnya sendiri

3. Pengadilan menentukan referensi sendiri (self-referential) sebagai rujukan untuk menghargai dirinya sendiri. Pengadilan memiliki cara kerja yang didasarkan pada kultur tersendiri yang mencerminkan karakteristik corps.

4. Pengadilan merupakan sistem tertutup, yang berarti bahwa tidak ada hubungan langsung antara pengadilan dengan lingkungannya, termasuk kelompok-kelompok penekan (pressure groups), misalnya LSM, Pers dan lembaga-lembaga lain baik lembaga kenegaraan/pemerintah maupun swasta.

Keempat karakter pengadilan yang didasarkan pada sistem autopoietik itulah yang sebenarnya menginspirasi dan menguatkan dalil kemandirian pengadilan dan kebebasan hakim untuk tidak dipengaruhi oleh intervensi faktor penekan dari luar. Bahan masukan, lingkungan setempat tetap penting, namun otoritas tetap berada di tangannya sehingga tidak tepat apabila hakim dalam memutuskan perkara terpasung oleh “Trial by the Press” atau bahkan “Trial by The Rule“ namun “without the truth“. Sudah semestinya hakim-hakim di Indonesia memanfaatkan “kekuasaan kehakiman” itu dengan cara-cara yang progresif, khususnya dalam menangani perkara pidana yang memang telah disepakati sebagai kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime).

Seperti diberitakan di beberapa media cetak dan elektronik pada kisaran tahun 2013, Tommy Hindratno, pegawai Direktorat Pajak diperberat hukumannya oleh Mahkamah Agung (MA) melalui putusan kasasi, dari 3 tahun 6 bulan menjadi 10 tahun penjara. MA juga menjatuhkan hukuman kepada Zen Umar, Direktur Utama PT Terang Kita atau PT Tranka Kabel, dari 5 tahun menjadi 15 tahun penjara (Kompas, 1 Oktober 2013). Kemudian pada medio November 2013, MA kembali menjatuhkan pidana yang fantastik dengan memperberat pidana kepada Angelina Sondakh dari hukuman 4 tahun menjadi 12 tahun masih ditambah uang pengganti puluhan miliar rupiah (Kompas, November 2013). Atas putusan itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merespons positif dan menyatakan bahwa putusan MA yang memperberat hukuman terdakwa korupsi dan pencucian uang itu progresif dan menumbuhkan optimisme dalam penegakan hukum di Indonesia.

Sejak ditetapkan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime), tindak pidana korupsi seharusnya memang ditangani secara luar biasa pula, baik oleh polisi, jaksa, hakim, petugas lembaga pemasyarakatan maupun oleh advokat dan adresat hukum masyarakat. Enam komponen penegakan hukum tersebut mesti bahu membahu dalam pemberantasan korupsi melalui empat komponen penegakannya yakni komponen substansi (UU), struktur (kelembagaan), kultur hukum serta kepemimpinan. Pengadilan sebagai selama ini telah banyak berubah filosofinya, dari benteng terakhir pencarian keadilan menjadi benteng terakhir pencarian siapa yang menang dan kalah (the winner and the loser). Apa yang kurang dalam hal penyediaan UU dan struktur penegakan hukum kita? Semua telah tersedia, tetapi mengapa keadilan yang dicita-citakan tidak kunjung terwujud juga?

Menurut penulis ada dua hal yang menyebabkan kesulitan perwujudan nilai keadilan yaitu soal kultur hukum aparat penegak hukum hakim dan kepemimpinannya. Dua hal ini menjadi bahan bakar hukum itu dapat bekerja dengan baik atau tidak. Untuk putusan MA atas kasus Hindratno dan Zen Umar jelas sangat kental dipengaruhi oleh faktor kultur hukum hakim dan kepemimpinan Artidjo sebagai Ketua Majelis Kasasi MA yang menangani perkara ini. Putusan Artidjo seolah hendak menjawab bahwa masih ada hakim MA yang “hidup” hati nuraninya setelah beberapa waktu lalu ada hakim MA mengabulkan permohonan peninjauan kembali atas perkara Sudjiono Timan yang berada dalam status buronan.

Kultur hukum hakim sangat berpengaruh dalam kegiatan pemeriksaan sekaligus dalam penyusunan pertimbangan-pertimbangan hukumnya (legal reasoning) sebelum menjatuhkan putusannya. Hakim yang tidak responsif terhadap adanya krisis dalam tindak pidana korupsi akan mengalami conflict of interest bahkan terkooptasi oleh kekuatan-kekuatan lain di luar dirinya, apakah itu campur tangan kekuasaan atau pengaruh keuangan. Sebaliknya bagi hakim seperti Artidjo, tentu telah memiliki kultur hukum yang responsif bahkan memiliki jiwa pejuang (vigilante) dan keberanian (braveness) sehingga putusannya berkarakter progresif.

Menurut penulis, kultur hukum saja tidak akan cukup membingkai karakter hakim-hakim untuk progresif dalam memutus perkara. Persoalan kepemimpinan juga perlu dipertimbangkan. Selama ini masih banyak hakim yang merasa masa bodoh dengan kreativitas dalam memutus perkara, apalagi berwatak progresif karena adanya kekhawatiran bahkan ketakutan akan diperiksa oleh MA dan Komisi Yudisial (KY) karena dianggap tidak mampu menerapkan hukum bila membuat lompatan putusan yang lain dari biasanya. Jadi watak positivistiknya lebih mendominasi kultur hukumnya karena yang dipentingkan bukan bagaimana menghadirkan keadilan kepada masyarakat (bringing justice to the people) melainkan mulusnya karir dan yang penting “selamat”.

Dalam hal ini perlu didorong terus semangat agar hakim-hakim mau melakukan tindakan kreatif dan progresif dalam menangani tindak pidana yang memang sudah ditetapkan sebagai extra ordinary crime seperti tindak pidana korupsi ini. Siapa yang menjadi kunci pendorong itu kalau bukan Ketua MA dan juga Ketua KY tempat para hakim bernaung secara institusional.

Seorang hakim progresif harus lebih mengutamakan pencarian keadilan substantif dibandingkan pencarian keadilan formal-prosedural. Para hakim tidak boleh hanya sekedar menjadi corong undang-undang (la bouche de la loi) dan terkungkung dalam tradisi konvensional yang menghambat kreativitas dalam mewujudkan keadilan. Bukankah keadilan itu mesti diutamakan daripada kepastian hukum seperti yang dikatakan oleh penggagasnya, Gustav Radbruch? Bahkan, terkait dengan adanya kemungkinan pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan Radbruch memegang prinsip yang pada intinya menyatakan bahwa:

"Where statutory law is incompatible with justice requirements, statutory law must be disregarded by a judge...."

Prinsip demikian sangat progresif karena mengajarkan kepada hakim agar tidak berlaku rule bounded, melainkan breakthrough atau pun melakukan rule breaking (terobosan hukum).

Dalam penanganan kasus-kasus hukum di negeri yang serba plural seperti Indonesia ini, termasuk kasus korupsi, tampaknya tidak cukup bagi hakim seperti Artidjo bila hanya menggunakan hukum negara (state law) sebagai bahan dasar utama untuk mengonstruksi penalaran hukum aparat penegak hukum. Dibutuhkan kerja keras untuk mengikutsertakan faset-faset hukum selain faset hukum perundang-undangan mengingat hukum itu bersifat multifaset, interdisipliner dan berarti mesti komprehensif. Bila faset UU tidak cukup mendorong hakim untuk bertindak progresif, maka faset moral, ethics dan juga religion lah yang akan mampu mendongkrak adrenalin hakim untuk berpikir, bersikap dan bertindak progresif dalam memeriksa hingga menyelesaikan perkara korupsi.

Dalam perspektif Islam, menjadi seorang hakim bukanlah pekerjaan yang bisa dianggap ringan. Rasulullah SAW bersabda, ”Apabila seorang hakim duduk di tempatnya (sesuai dengan kedudukan hakim adil), maka dua malaikat membenarkan, menolong dan menunjukkannya selama ia tidak menyeleweng, apabila menyeleweng, maka kedua malaikat meninggalkannya” (HR. Al-Baihaqi)

Rasulullah –shallallahu’alaihi wasallam– memperingatkan umatnya agar berhati-hati dalam mengemban amanat itu, renungkanlah sabda beliau:

“Qadhi (penentu keputusan) itu ada tiga, satu di surga dan dua di neraka. Yang di surga adalah Qadhi yang tahu kebenaran lalu memberikan keputusan dengannya. Sedang Qadhi yang tahu kebenaran lalu zalim dalam keputusannya, maka ia di neraka. Begitu pula, Qadhi yang memberi keputusan tanpa ilmu, ia di neraka” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, di-shahih-kan oleh Al Albani).

“Barangsiapa dijadikan sebagai qadhi (penentu keputusan) di antara manusia, maka sungguh ia telah disembelih dengan tanpa menggunakan pisau (benda tajam)” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Al Albani mengatakan: ‘Hasan Shahih’).

Berdasarkan uraian tentang jenis peradilan Islam beserta karakteristik seorang Qadhi serta risiko-risiko yang harus ditanggung oleh seorang qadhi sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Rasulullah, maka dapat dikatakan bahwa seorang hakim dalam Hukum Islam harus memiliki karakteristik progresif. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan oleh karena Hukum Islam itu sendiri adalah hukum yang progresif, tidak lekang oleh waktu dan tidak dapat pula dikatakan sebagai "expired law", bukan hukum yang kadaluarsa. Progresifitas ini ditunjukkan bahwa hakim atau seorang Qadhi boleh melakukan Ijtihad terhadap hal-hal yang belum secara tegas diatur dalam Al Quran dan Hadis. Bahkan, seorang hakim pun boleh mengupayakan adanya permaafan dalam bidang tertentu terutama terkait dengan hukum qishas dan diyat.

Hakim progresif adalah hakim yang visioner. Cara pembentukan dan bekerjanya visioner dalam arti seorang hakim progresif tentulah bukan seorang sekular melainkan seorang religius. Pemikiran, sikap dan perbuatannya dalam menyelesaikan perkara hukum yang dihadapinya tidak hanya berorientasi pada kehidupan duniawi yang serba profan melainkan juga memiliki visi ukhrowi, akhirat yang serba abadi.

Penutup

Positivisme Hukum tidak mampu menyelesaikan seluruh kasus hukum hingga diperoleh kehadiran keadilan di tengah masyarakat. Untuk menyelesaikan kasus-kasus hukum masyarakat atau negara membutuhkan suatu Sistem Peradilan. Ilmu hukum berkembang, demikian pula metode pencarian keadilan dan kebenaran dalam sistem peradilan tersebut juga mengalami perkembangan.

Hukum modern bukanlah hukum yang jatuh dari langit. Ia tumbuh berkembang berseiring dengan perkembangan struktur sosial di mana hukum itu ada. Cicero mengatakan Ius societas ibi ius. Semula hukum manusia hanya didasarkan atas tradisi baik lokal masyarakat atau komunitas agama, hingga terbentuklah hukum alam (natural law). Setelah revolusi industri melanda dunia, para pemilik modal berusaha untuk menyelamatkan aset dan keberlangsungan usahanya dengan cara menyediakan HUKUM YANG PASTI. Maka muncullah hukum modern itu.

Hukum modern yang serba pasti, mekanistik dan deterministik membutuhkan hakim-hakim yang memiliki karakter untuk menyelamatkan kepentingan para kapitalis itu. Maka hakim cukuplah berfungsi sebagai corong UU (la bouche de la loi).

Dalam perkembangannya ternyata positivisme hukum tidak lagi mampu memenuhi access to justice, terutama pasca 1912 sejak hakim agung Amerika bernama Roscoe Pound mengintrusi dalil law as a tool of social engineering. Maka sejak itu hakim harus progresif.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Lainnya
Opini

Kode Sri Mulyani dan Risma saat Sidang MK

Oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
pada hari Kamis, 18 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Sri Mulyani (dan tiga menteri lainnya) dimintai keterangan oleh Mahkamah Konstitusi pada 5 April yang lalu. Keterangan yang disampaikan Sri Mulyani banyak yang tidak ...
Opini

Tersirat, Hotman Paris Akui Perpanjangan Bansos Presiden Joko Widodo Melanggar Hukum: Gibran Dapat Didiskualifikasi?

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --1 April 2024, saya hadir di Mahkamah Konstitusi sebagai Ahli Ekonomi dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2024. Saya menyampaikan pendapat Ahli, bahwa: ...