Oleh Fuad Bawazier Menteri Keuangan Era Orde Baru pada hari Minggu, 13 Jun 2021 - 20:00:36 WIB
Bagikan Berita ini :

Rutin Dijadikan Project APBN, Kebutuhan Hidup Dasar Dijadikan Objek Pajak

tscom_news_photo_1623589236.jpg
Fuad Bawazier Menteri Keuangan Era Orde Baru (Sumber foto : Net)

Saya mendengarkan kritik-kritik atas pemborosan APBN dari Anggota DPR kepada petinggi negara dalam kesempatan Raker maupun Rapat Dengar Pendapat (RDP).

Antara lain dari Ibu Andi Yuliani Paris (F-PAN) terhadap Menteri ESDM dan jajarannya. Ibu Yuliani, misalnya, menyesalkan pemborosan anggaran untuk berbagai kajian/study ini itu dalam ruang lingkup Kementeriannya dengan anggaran yang aduhai besarnya. Kajian kajian atau study-study seperti ini sebenarnya sudah tugas rutin kementeriannya, sudah tugas pokoknya, tidak perlu di projekkan. Apalagi sering berulang ulang yang mirip mirip saja. Jadi kesannya memang mau cari duit “legal” untuk dibagi bagi. Menghabiskan anggaran saja.

Kejadian seperti ini tidak saja di Kementerian ESDM tapi hampir merata di semua Kementerian termasuk di Kementerian PPN/ Bappenas. Dan dengan dalih bahwa untuk merumuskan kebijakan dalam bentuk Keputusan Menteri, Keppres, Peraturan Pemerintah dll itu perlu riset/ seminar/ konsultan dll, sehingga anggarannya terus membengkak dan sedang jadi trend.

Padahal semua itu sudah merupakan tugas pokoknya selaku pejabat di bidangnya. Tidak perlu di projekkan. Tidak perlu ada anggaran khusus.
Kenapa praktik pemborosan anggaran seperti diatas ini justru muncul di era reformasi?

Sebagai pejabat di era Orba, saya menyelesaikan 10 RUU Perpajakan baik UU baru maupun revisi. Juga memperkenalkan pajak final yang meski dulu dikritik habis habisan, kini semakin digemari dan penggunaannya meluas. Toh tidak di projekkan. Tidak meminta anggaran khusus untuk merumuskannya.

Ditengah keuangan negara yang sedang megap megap, pendapatan negara yang redup, mengapa sampai hati menyiasati pencurian uang negara dengan dalih untuk kajian ini itu, yang dananya kemungkinan besar dari uang pajak rakyat atau dari utang negara.

Karena itu APBN terus membengkak dan “mau tidak mau” pemerintah berburu pajak untuk menutupi atau mengurangi defisit anggaran.

Berburu pajak dengan mata gelap, sampai sampai akan memajaki kebutuhan hidup dasar seperti sembako, jasa/ pelayanan kesehatan dan jasa pendidikan swasta.

Kebijakan itu bukan saja akan mencekik rakyat tapi juga mematikan perguruan swasta yg akan semakin tidak mampu bersaing dengan perguruan negeri yang dibiayai negara dan bebas pajak.

Padahal dulu, sekitar pertengahan 1990an, sebagai Dirjen Pajak saya merumuskan semua perguruan swasta tidak akan dikenakan pajak atas surplus atau keuntungannya, sepanjang digunakan atau di investasikan kembali untuk pendidikan.

Bila betul issue issue diatas akan menjadi kebijakan baru pemerintah seperti sebagiannya tertuang dalam RUU KUP, saya kira ini panic policy. Yang bukan saja tidak adil tapi juga menyengsarakan kita semua.

Protes publik tidak akan jauh jauh dari kalimat bahwa kami rakyat kecil yang tidak berdaya ditambah pajaknya sementara para pemodal dan kaum kaya diringankan.

Pejabat berwenang berkali kali menekankan bahwa pajak pajak baru itu tidak akan di kenakan dalam waktu dekat ini. Pasti saja tidak mungkin dalam waktu dekat ini sebab UU-nya juga belum ada. Belum lagi persiapan administrasinya. Juga belum di anggarkan dalam APBN.

Tapi issue atau masalahnya bukan pada kapan waktu penerapan atau pemungutannya tapi pada kelayakan dan dampak dari pemungutan pajak pajak baru tersebut. Seakan akan, bagi pemerintah, pajak pajak baru itu tidak ada yang salah asalkan tidak di terapkan dalam masa Pandemi Covid atau waktu dekat ini.

Sedangkan bagi rakyat yang akan terdampak, setelah Pandemi berakhirpun pajak pajak atas pendidikan, kesehatan dan kebutuhan hidup dasar itu tidak layak di kenakan. Orang sakit baik dengan biaya sendiri maupun BPJS, tidak layak di kenai PPN.

Sejak zaman penjajahan, rasanya kita belum pernah menerapkan pajak atas jasa pendidikan, jasa kesehatan dan kebutuhan dasar hidup.

Argumentasi demi keadilan untuk memajaki beras premium sedangkan yang non premium tetap bebas PPN, hanya akan memunculkan penyelundupan administrasi dan kongkalikong.

Lalu bagaimana mengatasi defisit APBN bila tidak bikin pajak baru?

Presiden Joko Widodo harus berani mengakhiri praktik korupsi “legal” maupun tidak. Akhiri dulu pemborosan dan kebocoran APBN. Pembengkakan anggaran negara untuk di korupsi itu sesungguhnya tidak bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi.

Tidak ada negara yang bisa maju, sukses, maupun makmur bila korupsinya marak seperti di Indonesia.

Sejujurnya saya kasihan pada Kemenkeu khususnya Ditjen Pajak yang dibebani dengan tugas tambahan pemungutan pajak yang harus berhadapan dengan kemarahan publik sementara yang lain “keenakan” membelanjakannya. Mereka harus berani memberikan masukan yang fair kepada Presiden.

Sebagai penutup, masihkah kita bisa berharap bahwa anggaran yang boros dan bocor serta gagasan gagasan pajak yang nekad itu akan diakhiri oleh Presiden dan DPR?
Wallahualam bhishawab.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Lainnya
Opini

Kode Sri Mulyani dan Risma saat Sidang MK

Oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
pada hari Kamis, 18 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Sri Mulyani (dan tiga menteri lainnya) dimintai keterangan oleh Mahkamah Konstitusi pada 5 April yang lalu. Keterangan yang disampaikan Sri Mulyani banyak yang tidak ...
Opini

Tersirat, Hotman Paris Akui Perpanjangan Bansos Presiden Joko Widodo Melanggar Hukum: Gibran Dapat Didiskualifikasi?

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --1 April 2024, saya hadir di Mahkamah Konstitusi sebagai Ahli Ekonomi dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2024. Saya menyampaikan pendapat Ahli, bahwa: ...