
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Komisi III DPR RI mendorong pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk menelusuri kasus penemuan kerangka Muhammad Farhan Hamid dan Reno Sastrawijaya di Gedung ACC, Kwitang, Jakarta Pusat yang terbakar saat demontrasi akhir Agustus 2025 lalu. Dorongan tersebut dinilai menunjukkan empati dan keberpihakan dewan terhadap publik.
"Dorongan pembentukan TGPF ini patut diapresiasi sebagai bentuk tanggung jawab politik DPR dalam menjaga transparansi dan akuntabilitas hukum," kata Pengamat komunikasi politik, Silvanus Alvin, Rabu (12/11/2025).
Dalam konteks komunikasi politik, Alvin menilai langkah ini menunjukkan kesadaran anggota dewan bahwa publik membutuhkan kejelasan dan kepercayaan, terutama setelah munculnya berbagai spekulasi dan dugaan kejanggalan atas peristiwa yang terjadi di lapangan.
"Selain itu, saya melihat inisiatif ini juga bisa menjadi sarana DPR menunjukkan empati dan keberpihakan pada kepentingan publik, bukan sekadar pada kepentingan lembaga," ujarnya.
Menurut Alvin, keterlibatan unsur lintas lembaga seperti Komnas HAM, KontraS, dan akademisi akan memperkuat pesan bahwa proses hukum tidak boleh dimonopoli oleh satu institusi saja.
"Namun, tantangan terbesarnya ada pada independensi dan tindak lanjut,” sebut Alvin.
“TGPF harus mampu bekerja dengan profesional, terbuka, dan menghasilkan temuan yang bisa diuji publik. Jika tidak, ia berisiko dilihat hanya sebagai panggung politik atau upaya mengalihkan perhatian," lanjut Dosen Milenial di salah satu universitas swasta itu.
Alvin menekankan, transparansi yang diikuti konsistensi adalah satu-satunya cara agar langkah ini benar-benar memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan institusi negara.
Leboh lanjut, Alvin berpandangan dorongan pembentukan TGPF ini juga merupakan upaya DPR untuk memberi masukan kepada Polri, terutama dalam rangka reformasi di tubuh institusi tersebut.
"Saya juga melihat inisiatif ini juga bisa dibaca sebagai upaya DPR memberi masukan positif kepada Polri, bukan menegasikan peran aparat," jelas Alvin.
"Pelibatan unsur kepolisian di dalam TGPF justru penting untuk membersihkan nama institusi sekaligus menepis spekulasi negatif yang berkembang di publik," imbuh Master dari University of Leicester, Inggris itu.
Hanya saja, Alvin menilai, kredibilitas anggota TGPF menjadi kunci utama dan tidak bisa sembarangan. Menurutnya, anggota yang ditunjuk harus berasal dari tokoh-tokoh independen yang memiliki rekam jejak integritas dan bisa dipercaya publik.
"Proses penunjukan dan kerja timnya juga sebaiknya dibuka ke publik agar tidak muncul persepsi politisasi. Dengan cara itu, TGPF dapat menjadi jembatan yang sehat antara transparansi, penegakan hukum, dan komunikasi publik yang bertanggung jawab," tutur Alvin.
Sebelumnya, Anggota Komisi III DPR RI Abdullah mendorong dibentuknya Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Hal ini untuk menelusuri secara menyeluruh kasus penemuan kerangka Muhammad Farhan Hamid dan Reno Sastrawijaya di Gedung ACC, Kwitang, Jakarta Pusat pasca demontrasi akhir Agustus 2025 lalu.
Abdullah menilai keberadaan TGPF penting untuk menjawab berbagai dugaan kejanggalan yang muncul di tengah publik. Sebab, Kontras juga menyoroti dugaan kejanggalan dalam penemuan kerangka tersebut.
Organisasi masyarakat sipil itu, yang sejak awal mendampingi kasus hilangnya Farhan dan Reno pada akhir Agustus lalu, mencatat sejumlah hal janggal.
Kejanggalan itu mulai dari selisih waktu antara pemeriksaan forensik gedung pada 19 Oktober dan penemuan kerangka pada 29 Oktober, kesimpulan polisi yang langsung mengaitkan kerangka dengan Farhan dan Reno, hingga fakta bahwa garis polisi sudah dicabut serta CCTV padam sebelum penemuan berlangsung.
"Hal tersebut tentunya menjadi pertanyaan strategis yang mesti dijawab dengan bukti data yang valid. Saya mengusulkan dibentuknya TGPF Kerangka Farhan dan Reno ini, namun didahului berkomunikasi dengan keluarga korban tersebut,” kata Abdullah, Selasa (11/11).
Anggota komisi DPR yang membidangi urusan hukum itu menilai TGPF perlu dibentuk dengan melibatkan berbagai unsur. Menurut Abdullah, hal ini diperlukan agar investigasi berlangsung objektif dan menyeluruh.
"Misalnya TGPF terdiri dari kepolisan, Komnas HAM, KontraS, Amnesty Indonesia, LPSK, lembaga forensik independen dari dalam maupun luar negeri, akademisi dan media,” usulnya.
“Harapannya melalui TGPF ini, proses investigasi dapat berlangsung transparan, profesional, dan bebas konflik kepentingan,” lanjut Abdullah.
Abdullah juga menyebut pembentukan TGPF memiliki momentum yang tepat, bersamaan dengan lahirnya Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian yang baru saja dilantik Presiden Prabowo Subianto. Menurutnya, tim gabungan ini nantinya dapat memberikan masukan penting bagi komisi itu.
“Saya rasa Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian yang dipimpin Pak Jimly Asshaddiqie ini akan terbuka dengan TGPF terkait temuan-temuannya nanti,” terang Legislator asal dapil Jawa Tengah VI ini.
“Temuan tersebut dapat menjadi masukan strategis untuk tim Pak Jimly dalam mencapai tujuan yang telah diamanahkan oleh Presiden Prabowo,” sambung Abdullah.
Abdullah juga menegaskan pembentukan TGPF bukan wujud ketidakpercayaan terhadap Polri, melainkan bentuk tanggung jawab untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas penegakan hukum.
“Kasus ini menyangkut hak hidup dua warga negara, dan negara berkewajiban menjelaskan kebenarannya. Jika tidak, hukum akan kehilangan legitimasi dan tidak menghasilkan keadilan yang nyata,” tandasnya.