Opini
Oleh Haris Rusly (Aktivis Petisi 28) pada hari Senin, 12 Okt 2015 - 21:50:32 WIB
Bagikan Berita ini :

Tidak Tepat Menata Negara dengan Dasar Trauma

50IMG-20151012-WA0011.jpg
Haris Rusly, Aktivis Petisi 28 (Sumber foto : Istimewa)

Sebetulnya masalah besar bangsa kita saat ini ada pada Pancasila sebagai dasar filosofi yang belum mempunyai operasional sistem yang baku, seperti yang dimiliki ideologi besar (Kapitalisme, Komunisme juga Islamisme).

Padahal ideologi membutukan operasional sistem untuk mewujudkan ide-ide yang abstrak menjadi nyata dan dirasakan manfaatnya.

Belajar dari umat Kristen, dasar filosofinya ada pada Yesus dan Kitab Injil. Namun ajaran Yesus menjadi nyata dan tersebar luas karena peranan dari Rasul Paulus yang membangun operasional sistemnya.

Nah, Pancasila kita di era reformasi saat ini hanya judulnya saja Pancasila, tapi operasional sistem politik dan ekonominya liberalisme.

Sangat tepat philosophy grondslag-nya mengacu pada naskah pidato tentang Pancasila 1 Juni yang disampaikan Bung Karno di depan sidang BPUPKI. Namun, operasional sistem negaranya mengacu pada sistem negara yang pernah di pakai era Orde Baru, disertai sejumlah penyempurnaan.

Tak usah kuatir kita akan kembali lagi ke rezim diktator seperti dulu era Orla dan Orba, karena kemerdekaan menyampaikan pendapat melalui revolusi media sosial saat ini tak akan sanggup dirampas kembali oleh siapapun penguasanya.

Kita juga harus berkomitmen untuk tidak lagi mengobarkan pertarungan antar ideologi seperti yang terjadi di era Orde Lama.

Dan ingat, jangan sampai kita mendesign sistem negara dengan dasar trauma. Orang yang trauma itu pasti gagal dalam melakukan resolusi kehidupan.

Negara itu harus didesign sistemnya berdasar pada filosofi dan tantangan, bukan trauma. Yang ada pada bangsa kita saat ini bukan Jasmerah (eling pada sejarah untuk waspada pada ancaman dan tantang masa depan).

Yang dikembangkan oleh bangsa kita adalah bukan Jasmerah, tapi trauma terhadap dua periode kelam di masa lalu, trauma terhadap Orde Lama dan trauma terhadap Orde Baru.

Orang trauma itu tak akan bisa melangkah dan mengambil hikmah dari "up and down" kehidupan.

Saya pribadi menyarankan untuk kembali ke UUD 1945 dengan operasional sistem bernegara seperti yang dipakai di era Orde Baru, disertai sejumlah koreksi. Diantaranya:

1. Pembatasan massa jabatan Presiden, agar tak ada lagi peluang akumulasi kekuasaan. Akumulasi kekuasaan terjadi lantaran tak ada pembatasan terhadap masa jabatan Presiden.

2. Pembatasan hak politik tentara. Tapi TNI tetap punya wakil di lembaga tertinggi negara MPR sebagai utusan golongan fungsional, sebagaimana wakil ormas agama, wakil profesi dokter, wakil golongan tani, dll.

3. Utusan golongan dan utusan daerah tak diangkat dan ditetapkan oleh Presiden seperti yang terjadi di era Orla dan Orba. Utusan golongan diutus oleh golongan tempatnya berhimpun melalui mekanisme di organisasinya. Utusan daerah dipilih dan ditetapkan oleh DPRD I untuk diutus jadi anggota MPR mewakili daerah (namanya juga utusan daerah). Di Inggris, tempat konsep parlemen dirintis, namanya Lord Of House, atau majelis tinggi, yang anggotanya diangkat, yang pada umumnya berasal dari bangsawan.

Agar MPR itu mencermikan keterwakilan seluruh rakyat, yang dipilih langsung melalui pemilu setiap 5 tahun sekali, dan wakil dari mereka yg diutus, para ulama dan rohaniawan utusan agama-agama akan penjadi penjaga moral di MPR.

4. Kita jalankan kembali konsep singel legitimasi, di mana hanya wakil rakyat di DPR RI dan DPRD saja yang dipilih langsung tiap 5 tahun. Presiden dipilih oleh MPR, Gubernur dan Bupati dipilih oleh DPRD.

Sistem multi legitimasi di mana seluruh pimpinan eksekutif dan anggota legislatif dipilih langsung oleh rakyat, dari Presiden dan DPRRI hingga DPRD dipilih langsung oleh lakyat menyebabkan jalannya organisasi negara tersandera. Presiden tak bisa perintah gubernur dan gubernur tak bisa perintah bupati.

Pemilihan presiden melalui MPR juga menghindarkan kita dari proses seleksi pemimpin negara yang ditentukan oleh pemilik media, konglomerat dan lembaga survey. Akhirnya mereka yang terpilih adalah mereka yang terpopuler, bukan mereka yang berkualitas.

Lama kelamaan pemimpin negara kita ke depan ditentukan oleh para konglomerat yang punya uang merekayasa opini dan rakyat tinggal diseret untuk dipilih.

5. Jaminan atas kemerdekaan berkeyakinan, berserikat dan berpendapat.

6. Hentikan korupsi serta pelanggaran hak hak kemanusian.

Saya kira dengan kembali ke UUD 1945 dengan operasional sistem yang dipakai di era orde baru, yang kita koreksi seperti di atas, Insya Allah Indonesia akan jauh lebih baik, tak ada benturan kedudukan dan kewenangan antar lembaga negara seperti yang terjadi saat ini.

Sebetulnya para pendiri negara kita itu sudah sangat matang merumuskan design sistem negara yang cocok dengan kultur kita. Berdiri di tengah-tengah di antara yang paling kanan dan paling kiri, ada yg dipilih langsung, ada yang diutus, ada yang dimusyawarahkan.

Kita tak mau menganut konsep liberalisme politik seperti di negara kapitalisme di mana semua pimpinan negara dipilih langsung oleh rakyat.

Kita juga tak mau menganut sistem totaliter seperti di negara negara komunis dan fasis, di mana seluruh pimpinan negara diutus dan diangkat oleh jenjang di bawahnya. Tak ada yang dipilih langsung.

Dengan diawali pembaharuan sistem negara sesuai Pancasila dan UUD 1945 yang terlebih dahulu kita sempurnakan, baru kita bisa bangun infrastruktur dan industri pertanian, sebagai dasar dari pembangunan ekonomi kita.

Bagaimana mungkin kita bisa bangkit menjadi bangsa berdaulat dan mandiri, bila untuk makan saja kita bergantung pada bangsa lain, harus impor pangan dari negara lain.(*)

TeropongRakyat adalah media warga. Setiap opini/berita di TeropongRakyat menjadi tanggung jawab Penulis.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #haris  #negara  #trauma  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Kode Sri Mulyani dan Risma saat Sidang MK

Oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
pada hari Kamis, 18 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Sri Mulyani (dan tiga menteri lainnya) dimintai keterangan oleh Mahkamah Konstitusi pada 5 April yang lalu. Keterangan yang disampaikan Sri Mulyani banyak yang tidak ...
Opini

Tersirat, Hotman Paris Akui Perpanjangan Bansos Presiden Joko Widodo Melanggar Hukum: Gibran Dapat Didiskualifikasi?

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --1 April 2024, saya hadir di Mahkamah Konstitusi sebagai Ahli Ekonomi dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2024. Saya menyampaikan pendapat Ahli, bahwa: ...