Opini
Oleh Ariady Achmad pada hari Selasa, 26 Jul 2016 - 07:22:01 WIB
Bagikan Berita ini :

Mudik dan Gegar Budaya Ibukota

99d0d202525e3a7f8d28cb99ecbe03e558cbfe7d6e.jpg
Kolom Obrolan Pagi Bareng Ariady Achmad (Sumber foto : Ilustrasi)

Musim mudik yang baru lalu tak hanya menyebabkan tragedi kemacetan di Brebes Exit (Brexit), namun juga menyisakan sejumlah gegar budaya di pelosok tanah air. Salah satu penyebabnya adalah banjir informasi yang ditopang kemudahan akses internet.

Mengakses internet melalui gadget bukan hanya monopoli orang perkotaan atau kaum urban. Warga perkampungan atau perdesaan hingga udik kini juga diserbu produk-produk gadget dengan akses mudah internet. Banjir informasi tak bisa terhindarkan lagi juga menerjang warga pedesaan yang terbiasa hidup tenteram.

Revolusi digital sedikit banyak telah mempengaruhi kehidupan masyarakat pedesaan. Secara ekstrem, dari tengah persawahan para petani dijejali informasi adanya kudeta Turki atau serangan teroris di Perancis. Bahkan gosip reshuflle kabinet juga bisa dengan mudah diikuti dari udik.

Padahal belum tentu berbagai informasi seperti itu yang sebenarnya dibutuhkan bagi warga pedesaan. Selain itu belum tentu juga warga desa yang umumnya berpendidikan terbatas itu bisa memahami dengan tepat berbagai informasi yang bertebaran di internet tersebut.

Keniscayaan revolusi digital dan banjir informasi yang melanda perdesaan inilah yang tak terelakkan menimbulkan gegar budaya. Sebab, ada kebiasaan yang diubah. Ada budaya yang dilawan. Mereka menolak karena ada keharmonisan hidup pedesaan mulai terkoyak.

Tidak berlebihan jika gegar budaya serupa kini sedang terjadi di ibukota. Tentu dengan sebab dan situasi yang berbeda. Penolakan sebagai warga ibukota terluka hadap gaya kepemimpinan pemerintahan provinsi saat ini pada dasarnya juga sebuah fenomena gegar budaya.

Masyarakat ibukota tidak nyaman, resah atau bahkan menolak pemimpin atau pejabat yang suka uring-uringan, berkata kasar, marah hingga mengumpat ditempat umum. Sebab, betapapun urbannya dan mdernnya ibukota, norma-norma ketimuran tetap melekat dan tak lepas dari masyarakatnya.

Jika pemimpin terang-terangan membawa dan memaksakan kebiasaan etnisnya dalam menjalankan roda pemerintahan ibukota, apakah salah masyarakat ibukota yang sebagian besar berbeda etnis merasa tidak nyaman atau menolak? Kita mengingatkan agar tidak memandang remeh gegar budaya warga ibukota saat ini.(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Ahlan Wa Sahlan Prabowo Sang Rajawali!

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Rabu, 24 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Prabowo Subianto sah sebagai Presiden RI ke delapan. Itu adalah takdir Prabowo yang biasa dipanggil 08 oleh koleganya. Keputusan MK ...
Opini

Jalan Itu Tidaklah Sunyi

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --"Jika Mamah jadi penguasa apakah Mamah akan menjadikan anak Mamah pejabat saat Mama berkuasa?" Itu pertanyaan anakku malam ini. Aku mendengarkan anakku ini. ...