Opini
Oleh Setya Novanto (Ketua Umum DPP Partai Golkar) pada hari Selasa, 26 Jul 2016 - 19:30:36 WIB
Bagikan Berita ini :

Pendanaan Partai Politik

90PIA 001_1451136679933_1469535963140.jpg
Setya Novanto (Ketua Umum DPP Partai Golkar) (Sumber foto : Eko S Hilman/TeropongSenayan)

Dana Aspirasi

Selama ini, Partai Golkar memiliki kepedulian yang tinggi terhadap dana politik. Hanya saja, publik menilai dengan cara berbeda. Dana Aspirasi, nama populer untuk anggaran yang sedang diperjuangkan oleh Partai Golkar untuk percepatan pembangunan di Daerah Pemilihan pada tahun 2010, membuat heboh masyarakat dan media masa.

Kecaman diberikan secara bertubi-tubi, baik dalam nuansa emosional, politik, sampai intelektual. Untuk perkembangan demokrasi, perdebatan untuk sebuah rencana kebijakan ini mengalami kemajuan. Jarang sekali rencana kebijakan didiskusikan seintensif ini. Biasanya, perdebatan yang berbulan-bulan lebih banyak menyangkut persaingan atau perseteruan antar tokoh.

Tentu hal ini patut dipuji. Perdebatan langsung terkait dengan sebuah rencana kebijakan yang mengandung anggaran negara akan mengubah arah politik dari tingkat persepsi menjadi substansi. Hanya saja, pandangan-pandangan negatif dan provokatif dari kalangan yang menolak rencana itu diurai dalam kalimat-kalimat yang menohok. Yang lebih celaka lagi, pembicaraan malah ditiadakan, digantikan dengan semata-mata penolakan.

Karena itu, setiap usaha untuk mendiskusikan sebuah rencana kebijakan adalah justru bagian dari pendidikan politik yang baik. Sikap dasar ini diambil Partai Golkar dengan cara menyampaikan hal-hal yang akan memicu perdebatan luas, setelah kebijakan diambil. Harry Azhar Azis (kini Ketua BPK), Ketua Badan Anggaran DPR RI dari Partai Golkar, secara terbuka menyampaikan itu kepada publik. Satu rencana yang juga memicu reaksi publik adalah penggunaan APBN untuk membangun gedung baru DPR RI. Sikap Harry ini malahan memicu reaksi dari dalam gedung DPR RI sendiri.

Reaksi sejumlah pihak menolak, bahkan dengan konferensi pers besar-besaran, sangat beragam. Reaksi itu menyangkut kedudukan DPR RI, regulasi yang mengatur, kecurigaan atas keterlibatan anggota DPR RI dalam pengelolaan anggaran, tuduhan perampokan uang negara, sampai kepada mekanisme pencairan dana dan partisipasi publik. Ironisnya, penolakan itu bahkan dengan tidak membaca dan tidak mendengar yang sudah disampaikan oleh pihak penggagas.

Kekeliruan peradigmatik itu berujung kepada satu hal, yakni bias Jakarta. Anggota masyarakat di daerah-daerah pemilihan dianggap kurang mampu menggunakan anggaran dengan tepat, begitu juga institusi publik yang tersedia. Peran DPRD juga bisa diperkuat dalam mengawasi Dana Aspirasi ini.

Sejauh ini, DPRD adalah bagian dari pemerintah daerah, bukan legislatif daerah akibat kekacauan dalam UU nomor 32/2004 tentang Pemerintah Daerah. Anggota DPRD bahkan tidak memiliki staf ahli satu orangpun, sehingga mengerjakan banyak tugas-tugas kedewanan sendirian.

Yang bisa dilihat dari penolakan ini adalah kecurigaan yang berlebih atas proses desentralisasi, termasuk desentralisasi politik. Kapasitas politik lokal masih dianggap tidak memiliki kehandalan dalam mengurus anggaran publik.

Sejumlah kasus korupsi yang melibatkan anggota DPRD ditunjuk sebagai trauma psikologis, padahal setiap keterlibatan anggota DPRD itu juga membawa serta kepala-kepala daerah dan birokrasi lokal. Padahal, dari begitu banyak kasus korupsi atau yang merugikan keuangan negara, Jakarta adalah pusatnya. Catat, kasus Bank Bali, BLBI sampai kasus Bank Century.

Bias Jakarta juga ada dalam APBN. Sebanyak 70% APBN dikelola oleh pemerintah pusat, hanya 30 % yang dibagikan ke daerah-daerah. Dari yang dibagikan ke daerah-daerah itu, 70% sampai 80% digunakan untuk anggaran rutin yakni gaji pegawai, baik PNS maupun honorer.

Baru sisanya 20%-30% untuk anggaran program atau anggaran pembangunan. Jadi secara total, hanya 10% APBN yang digunakan untuk pembangunan di daerah-daerah. Tentu, terdapat perubahan besaran anggaran setiap tahun. Hanya saja, dari sisi apapun, anggaran pemerintah pusat jauh lebih besar dari anggaran pemerintah daerah.

Partai Golkar tentu terus berusaha agar kehidupan politik berjalan dengan baik. Banyaknya anggota DPR RI yang ditangkap menunjukan betapa 'ada gula ada semut'. Anggaran yang besar di pusat membawa setiap kelompok bisnis, pejabat daerah, hingga politisi daerah atau yang sudah masuk dalam parlemen pusat melakukan perburuan anggaran di Jakarta.

Dalam situasi yang tak terkendali, akibat 'sistem abu-abu' yang terbangun, terjadilah persekongkolan. Belum lagi bias yang dibangun masyarakat, yakni ketika sejumlah persekongkolan dalam persetujuan anggaran terjadi, pihak yang disebut pertama kali adalah partai politiknya. Partai politik mengalami serangan secara masif akibat serangan demi serangan itu.

Apabila anggaran demi anggaran itu didistribusikan sejak dini dengan melibatkan masyarakat daerah, baik masyarakat politik daerah, komunitas bisnis daerah hingga masyarakat sipil daerah, tentulah banyak pihak tak lagi melakukan upaya pencarian ke pusat. Daripada partai politik mencari anggaran dari sumber yang haram, lebih baik dihalalkan dengan pengawasan yang ketat. Jumlah yang diberikan bisa disepakati bersama dengan prinsip good political governance. (*)


Disampaikan pada 'Pertemuan Nasional Menata Ulang Dana Politik di Indonesia : Peluang Dana Politik Melalui Anggaran Negara' yang diselenggarakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan, Jakarta, Senin (25/7/2016).

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Ahlan Wa Sahlan Prabowo Sang Rajawali!

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Rabu, 24 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Prabowo Subianto sah sebagai Presiden RI ke delapan. Itu adalah takdir Prabowo yang biasa dipanggil 08 oleh koleganya. Keputusan MK ...
Opini

Jalan Itu Tidaklah Sunyi

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --"Jika Mamah jadi penguasa apakah Mamah akan menjadikan anak Mamah pejabat saat Mama berkuasa?" Itu pertanyaan anakku malam ini. Aku mendengarkan anakku ini. ...