Opini
Oleh Deni CA pada hari Rabu, 21 Sep 2016 - 14:29:53 WIB
Bagikan Berita ini :

Mengapa Prabowo Diam Seribu Bahasa?

62deni ca.jpg
Deni CA (Sumber foto : Istimewa)

Usai kalah dalam pilpres, Prabowo Subianto yang juga Ketua Umum Partai Gerindra hampir tidak pernah memperlihatkan batang hidungnya maupun pendapatnya terhadap peri kehidupan masyarakat. Pun ketika kehidupan rakyat semakin berat saat ini akibat berbagai kebijakan pemerintahan Presiden Jokowi, pemenang pilpres rival Prabowo.

Tak hanya itu. Meski Presiden Jokowi beberapa kali nyata-nyata melanggar UU sehingga berpeluang dimakzulkan, Prabowo tetap diam seribu bahasa. Prabowo, seperti Jokowi sudah lupa sama janji-janji kampanyenya.

Sebab, meski kalah, sejatinya Prabowo pernah berjanji untuk menjadi orang yang membela NKRI, rakyat Indonesia dsbnya. Dia juga lupa bahwa hampir 50 persen rakyat Indonesia memilih dia.

Prabowo seperti Jokowi telah lupa sama janjinya untuk mensejahterakan rakyat, menegakkan hukum dll. Prabowo meski tak jadi presiden adalah ketua umum partai sehingga seharusnya tetap memiliki idealisme membela rakyat dan tidak seperti sekarang membiarkan semua ketidabenaran.

Pemilih Prabowo rasanya sekarang bingung, ke mana gerangan sosok sang jenderal yang ketika kampanye, seperti kata pengamat politik, Muhamad Budyatna, bisa duduk gagah di atas kuda layaknya ksatria. Tapi sekarang seolah ngumpet di bawah perut kudanya. Ke mana gerangan Prabowo? Pendukungnya bertanya-tanya.

Mari kita pikirkan dan tengok ke belakang. Tampaknya Prabowo malu dan merasa bersalah karena kondisi saat ini tidak lepas juga dari keputusannya atau mengambli salah langkah. Kenapa? Ini berawal dari kesepakatan Batu Tulis (Bogor) yang dibuatnya bersama Megawati menjelang Pilpres 2009 saat akhir masa pendaftaran pasangan capres-cawapres.

Ketika itu Prabowo yang ngotot maju sebagai capres, terpaksa menerima Megawati sebagai capres dan rela menjadi cawapres. Namun ada syarat bahwa jika pasangan Mega-Prabowo kalah maka pada Pilpres 2014, PDIP mendukung Prabowo sebagai capres dan Megawati menjadi cawapres. Hari berlalu, Partai Gerindra dan PDIP mesra berada di luar pemerintaan.

Kondisi ini kemudian berlanjut sampai 2012, ketika Prabowo mendesak Megawati untuk mengusung Walikota Solo Jokowi. Dikemas oleh pencitraan yang dahsyat, membuat popularitas Jokowi melejit. Semula, bisa jadi, langkah ini sebagai tes case untuk kemenangan pasangan Prabowo-Megawati pada Pilpres 2014.

Tanpa perhitungan matang, Prabowo memasangkan Jokowi dengan Ahok, politisi keturunan Cina dengan jejak perjalanan bunglon karena berpindah-pindah partai politik. Selain itu pilihan ini juga untuk menepis tudingan bahwa Prabowo anti Cina.

Prabowo pun habis-habisan memenangkan pasangan Jokowi-Ahok menumbangkan sang petahan, Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara). Kemenangan Jokowi-Ahok dalam perebutan Gubernur DKI Jakarta 2012 membuat Prabowo girang. Dia sudah membayangkan akan mengantongi kemenangan pada Pilpres 2014.

Namun belakangan, bertubi-tubi Prabowo mengalami salah langkahnya. Diawali Megawati tidak menjaga komitment perjanjian Batutulis (Bogor). Alih-alih mendukung Prabowo, PDIP malah menyalonkan Jokowi untuk melawan Prabowo. Alhasil, Prabowo harus menghadapi kenyataan bertarung melawan Megawati (mantan pasangannya dalam Pilpres) dan berhadapan dengan Jokowi (orang yang dijagokan dalam Pilkada DKI Jakarta 2012).

Tragis, Prabowo pun kalah. Kekalahan itu tambah menyakitkan karena Ahok, yang sebelum Pilkada menjadi kader Gerindra setelah keluar dari Golkar, ternyata juga ingkar dan kemudian hengkang meninggalkan Gerindra.

Kini menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017, Prabowo kembali lagi gigit jari. Sebab Prabowo terlanur berharap agar PDIP mengusung Walikota Surabaya Tri Rismaharini. Jika Risma dipilih PDIP, Prabowo dipastikan akan berkoalisi dengan parpol pimpinan Megawati. Namun kenyataannya, Megawati justru memilih Ahok.

Prabowo seperti kata pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga. Bahkan belum berdiri, kembali tertimpa secara berturut-turut. Wajar jika Prabowo memilih diam seribu bahasa. Maklumlah, masa 'ditipu' kok berkali-kali. Jelas membuat malu yang tak ketulungan.(*/b9)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Ahlan Wa Sahlan Prabowo Sang Rajawali!

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Rabu, 24 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Prabowo Subianto sah sebagai Presiden RI ke delapan. Itu adalah takdir Prabowo yang biasa dipanggil 08 oleh koleganya. Keputusan MK ...
Opini

Jalan Itu Tidaklah Sunyi

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --"Jika Mamah jadi penguasa apakah Mamah akan menjadikan anak Mamah pejabat saat Mama berkuasa?" Itu pertanyaan anakku malam ini. Aku mendengarkan anakku ini. ...