Opini
Oleh Djoko Edhi S Abdurrahman (Mantan Anggota Komisi III DPR RI) pada hari Jumat, 23 Sep 2016 - 09:50:29 WIB
Bagikan Berita ini :

Mengolah Rasa Sakit Gerbong Pribumi

8b8ce0d2386eb3926b8bd3fbebb05b44a0db77d1a.jpg
Kolom Santai Bersama Djoko Edhi S Abdurrahman (Mantan Anggota Komisi III DPR RI) (Sumber foto : Ilustrasi)

Agus Bambang Yudhoyono terpilih sebagai balon gubenur DKI Jakarta untuk melawan petahana Ahok + Djarot. Agus diusung oleh PKB, PAN, PPP, dan Partai Demokrat yang menyebut diri Koalisi Kekeluargaan. Dengan begitu, Yusril Ihza Mahendra (YIM), Rizal Ramli (RR), dan Anis Baswedan (AB), tersisih dari pertarungan.

Tadinya analisis berputar apakah 2 paslon atau 3 paslon. Melihat konfigurasinya, adalah 3 paslon. Berarti ada 2 putaran yang tidak head to head di mana Ahok + Djarot didukung Nasdem, Golkar, PDIP. Paslon ketiga adalah Sandiaga Uno + Ali Mardani yang diusung Gerindra dan PKS.

Kembali ke hipotesis tadi: apakah 3 paslon lebih menguntungkan prihumi atau sebaliknya? Secara klasik, asumsi didasarkan kepada jumlah kursi di parlemen seperti azas legalitas UU Pilkada. Maka, minimal Ahok + Djarot mendulang perolehan 40%. Sisanya taruh prorata terbagi dua: 30% untuk Agus - Silvana, dan 30% untuk Uno +Mardani.

Masih secara klasik, kedua pribumi kalah, dan petahana menang pada putaran pertama. Kekecualiannya, Ahok + Djarot meraih 50% plus 1. Game over!.

Jika tak terjadi game over, terjadi putaran kedua, apakah kedua kalah bergabung?

Jika kedua kalah bergabung, secara klasik, maka gerbong pribumi ini memenangkan pertarungan. Pandangan ini mendominasi pendapat pribumi.

Reasonnya, pribumi memiliki peluang untuk melakukan bargaining kedua kalah untuk bersatu pada putaran kedua. Masalahnya, apa faktor determinan bahwa kedua kalah bisa bergabung?

Sampai pada fragmen ini, pribumi harus ekstra hati-hati jika ingin menang. Dengan kata lain, jika untuk hara kiri, tentu tak perlu. Kegagalan lobi Prabowo Subianto dengan Bambang Yudhoyono menjelaskan kemampuan berhitung yang kurang cermat. Jika terus begitu, ya kalah. Pribumi harus melepaskan miliknya ke politik OBOR (on belt on road one china). Goodbye Tanah Air!

Herbert Feiith memberikan kontribusi bagaimana jika terjadi putaran kedua. Yaitu teori pendulum. Teori ini adalah teori kekuasaan di mana Ahok + Djarot adalah penguasa. Pendulum dari Herbert yang sangat terkenal itu, berasumsi, salah satu dari kedua kalah tersedot ke penguasa yaitu paslon petahana. Hanya minor peluang salah satu kedua kalah memilih bergabung sesama kalah. Artinya nyaris mustahil!

Teori pendulum ini menjelaskan bagaimana logika kekuasaan menyedot lawan-lawannya laksana magnit terhadap pasir besi. Bahkan, yang terpenting, pendulum itu mampu mengkooptasi kebenaran, sehingga yang salah menjadi benar, dan sebaliknya.

Dari Herbert Feith, pilihan 3 paslon harus ditolak. Dalil berikutnya, menggunakan postulat para Sha Kong Sha (penjudi), "Adalah salah berat menitip emas krpada kuda yang kalah!". Juga menolak 3 paslon.

Dalil berikutnya, adalah jalan ke luar bagi pribumi dari Freeman dan Benedict Spinoza, "rational choice" atau pilihan rasional.

Postulat Freeman dan Spinoza menyatakan bahwa lebih dari 2 paslon, tidak rasional. Postulat ini.adalah mengenai proses pembentukan pilihan rasional dan irrasional dalam pembentukan keputusan politik voters.

Yaitu tadi, keputusan politik yang kalah memilih bergabung dengan yang.kalah adalah tidak rasional. Dengan kata lain, keputusan politik yang rasional adalah yg.kalah bergabung dengan yang menang.

Postulat betikutnya dari Harold D Lasswell, yaitu pengelolaan trilogi Citra - Persepsi - Kepurusan Politik publik yang berhubungan dalil Freeman dan Spinoza.

Yang dapat dikelola dari persepsi publik, menurut Bapak Ilmu Politik Modern itu adalah faktor dinamik. Di sini ada peluang dari gerbong pribumi. Yang dimaksud faktor statik adalah antara lain yang utama ialah agama, etnik, faktor antropolgis, ideologis, sedang faktor dinamik adalah faktor sosiologis, trend, gaya dlsb.

Maka, peluang statik ini yang menjadi modal utama pribumi kini. Dapatkah faktor statik itu diolah? Menurut Lasswell, bisa. Yaitu, karena pada dasarnya, keputusan politik adalah irrasional.

Tapi ada syaratnya. Yaitu rasa sakit masa lampau, baik untuk mengolah yang statik maupun yang dinamik.

Sampailah kita ke.kesimpulan, konsentrasi gerbong pribumi ini, harus mengolah rasa sakit itu untuk mengalahkan paslon petahana.

Kelemahan 3 paslon menurut dalil Lasswell, hilangnya daya faith a comply sebagai pemaksa pembentukan keputusan politik publik. Jika dua paslon, terjadi faith a comply minimal yang diterima oleh faktor statik.

Sudah terlanjur salah, perkuat saja pengelolaan faktor statik itu. Sementara soal citra mestinya tak begitu dibutuhkan pada pengelolaan faktor statik. Yang membutuhkan citra lebih adalah faktor dinamik.(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
AMIN BANNER 01
advertisement
AMIN BANNER 02
advertisement
AMIN BANNER 03
advertisement
AMIN BANNER 04
advertisement
AMIN BANNER 06
advertisement
AMIN BANNER 08
advertisement
Opini Lainnya
Opini

In Prabowo We Trust" dan Nasib Bangsa Ke Depan

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Kamis, 28 Mar 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya kemarin di acara berbuka puasa bersama, "Partai Demokrat bersama Presiden Terpilih", tanpa Gibran hadir, kemarin, ...
Opini

MK Segera saja Bertaubat, Bela Rakyat atau Bubar jalan

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi (MK) segera bertaubat. Mumpung ini bulan Ramadhan. Segera mensucikan diri dari putusan-putusan nya yang menciderai keadilan masyarakat.  Di ...