Opini
Oleh Djoko Edhi S Abdurrahman (Mantan Anggota Komisi III DPR RI) pada hari Selasa, 25 Okt 2016 - 22:37:04 WIB
Bagikan Berita ini :

Apakah SBY Mengetahui Pembunuh Munir?

72KolomDjoked.jpg
Djoko Edhi S Abdurrahman (Mantan Anggota Komisi III DPR RI) (Sumber foto : Ilustrasi oleh Kuat Santoso/TeropongSenayan)

Presiden Jokowi menjawab permintaan untuk mengumumkan berkas perkara kasus Munir bahwa berkas tersebut hilang dari Sekretariat Negara. Jokowi lantas meminta Jaksa Agung mencarinya. Dan untuk mencarinya, mantan Presiden SBY akan diperiksa hukum.

Adalah Suciwati, isteri almarhum pejuang HAM Munir yang meminta pengumuman itu mendasarkan UU Keterbukaan Informasi Publik (KIB).

Betul. Jika tak salah Munir tewas tanggal 9, berita dari laboratorium belanda tanggal 11, Kapolri Dai Bachtiar konpers tanggal 12, bom Nurdin Top meledak tanggal 14, Pilpres putaran ke dua tanggal 20. Coba cek lagi.

Saya waktu itu anggota Panja Monitoring kasus Munir. Jadi SBY sudah bukan Menkopolkam setelah ia dipecat Megawati. Di Pilpres itu SBY berhadapan head to head dengan Megawati yang petahana. Dalam timses Megawati adalah Panglima TNI, Kapolri, dan Kepala BIN.

Jika mau dibuka lanjut, sasarannya pasti AM Hendro Prijono yang tercantum dalam laporan TPF yang dipimpin Brigjen Pol Marsudi. Apakah Presiden Jokowi mau menangkap Hendro Prijono? Pecah kongsi rupanya rezim itu. Lanjut!

Lagi pula yang menjadi Jampidum yang menangani kasus itu adalah Prasetio yang kini menjadi Jaksa Agung. Berkas itu ada di Jampidum. Setahu saya berkas perkara terdokumentasi dengan baik. Juga di Mahkamah Agung.

Di sebelah mananya SBY terlibat? Jika sejumlah nama kemudian tak masuk dalam keterlibatan pidana di kasus itu, seperti misalnya dirut Garuda, lalu dokter yang menginjeksi Munir dll, itu tanggung jawab Jampidum yang mengendalikan JPU.

Apa mungkin Jampidum pada waktu itu memperoleh instruksi dari presiden untuk merekayasa tuntutan JPU? Lalu kini Jampidum selaku Jaksa Agung mau membukanya? Berarti Jaksa Agung berperan selaku whistle blower sekaligus justice collaburator. Menarik. Tapi, Jaksa Agung bunuh diri dong.

Saya mengajukan hak angket waktu itu dan ditandatangani 54 anggota, ternasuk Akom, ketua DPR kini. Setelah itu menawarkan kepada Presiden, jika presiden tak membentuk TPF, maka hak angket tadi akan dimajukan untuk menyelidikinya berdasarkan kekuasaan hukum yang diberikan UU Hak Angket nomor 6 tahun 1954. Tak bisa dua duanya karena akan nebis in idem. Presiden lalu membentuk TPF, dan Hak Angket saya urungkan, dan dibentuk Panja Monitoring.

Taruhlah SBY tahu siapa pembunuh Munir. Tapi ia tak punya bukti. Panja berkesimpulan bahwa pembunuhan Munir adalah state crime (kejahatan negara). Tapi Panja memilih sebagai abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan oleh oknum). Pilihan itu yang terbaik. Jika dipilih state crime, BIN niscaya dibubarkan karena resistensi yang tinggi kepada ABRI saat itu.

Saya tak yakin SBY tahu siapa pembunuh Munir. Semua sudah ditelusuri oleh TPF. Dan mereka juga tahu bahwa itu state crime. Dan di TPF itu ada Sekjen Kontras yang bisa bicara bebas di Panja.

Dalam naskah hak angket terurai analisisnya. Saya sendiri beroleh pesan dari Amien Rais untuk membela Munir, karena Munir adalah pendukung utama Amien Rais dan PAN.

Bagaimana mungkin dapat diketahui pembunuhnya dalam kasus state crime?

Dalam naskah yang saya tulis sendiri, pembunuhan Munir adalah bermotif politik praktis. Bukan karena Munir akan menyerahkan sejumlah rahasia negara kepada tribunal di Denhaag. Lantas karena itu ia dibunuh. Tak ada data yang mendukung issu itu. Sederhananya, rahasia negara yang mana? Sebab, sejak reformasi, kita tak punya rahasia negara.

Ketika SBY menjadi Menkopolkam, memang terjadi friksi antara Munir dengan Sudi Silalahi, Sesmenko di Aceh soal GAM. Friksi ini juga menjadi issu sebagai motif pembunuhan Munir oleh pihak SBY. Namun issu ini, juga tak didukung data karena Munir terbunuh ketika SBY sudah tidak di pemerintahan lagi. SBY dipecat oleh Megawati lalu mencalonkan diri menjadi capres. Jeda waktunya sekitar 5 bulan, yaitu hingga tahapan putaran kedua pilpres.

Data putaran kedua pilpres itu yang masuk akal. Waktu itu tinggal SBY lawan Megawati. Issu pilpres terkonsentrasi pada dikhotomi Militer (SBY) versus Sipil (Megawati). Awalnya menguat adalah pilihan terhadap sipil. PAN telah memilih adalah sipil dengan segala paradoksnya.

Tetapi kian mendekati hari H putaran kedua pilpres, elektabilitas Megawati kian anjlok, dan SBY menguat. Untuk menekan elektabilitas SBY, mayat Munir diperlukan. Dan elektabilitas SBY memang tertekan. Sayangnya datang Nurdin Top, yang meledakkan bom, sehingga elektabilitas militer naik lagi, sebaliknya sipil di mana Megawati dianggap bertanggung jawab terhadap tragedi bom itu. Mayat Munir pun tak berguna.

Itu dalam pengantar hak angket.

Kebencian kepada Munir oleh intelijen cukup jelas. Munir adalah pengawal kasus penculikan mahasiswa dan sejumlah orang hilang. Konvergensi.

Mungkin. Aktor intelektualnya. Tapi tetap sukar membuktikan materilnya.

Maksud saya hanya pengakuan SBY saja. Tak cukup dua bukti.

Jatuhnya sebagai petunjuk. Tak ada bukti. Karena posisinya begitu, pertanyaan berikut, apa maksud Presiden Jokowi itu? Tentu ia sudah berkonsultasi dengan Jaksa Agung. Dan Jaksa Agung tahu, itu bukan bukti.

Pembunuhan pakai racun, itu tak mudah. Policarpus saja tak terbukti di pengadilan. Hakim memutus hanya dengan keyakinan hakim doang. Arsenikum yang 446 ppm itu tak mampu dibuktikan, baik dengan teori gelas maupun teori mie.

Begitu juga dengan Muchdi Pr. Yang ada nomor record telepon antara Muchdi dengan Policarpus. Contentnya tak ada.

Lalu bagaimana menghubungkan pengakuan SBY dengan pembunuhan itu?(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
AMIN BANNER 01
advertisement
AMIN BANNER 02
advertisement
AMIN BANNER 03
advertisement
AMIN BANNER 04
advertisement
AMIN BANNER 06
advertisement
AMIN BANNER 08
advertisement
Opini Lainnya
Opini

In Prabowo We Trust" dan Nasib Bangsa Ke Depan

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Kamis, 28 Mar 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya kemarin di acara berbuka puasa bersama, "Partai Demokrat bersama Presiden Terpilih", tanpa Gibran hadir, kemarin, ...
Opini

MK Segera saja Bertaubat, Bela Rakyat atau Bubar jalan

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi (MK) segera bertaubat. Mumpung ini bulan Ramadhan. Segera mensucikan diri dari putusan-putusan nya yang menciderai keadilan masyarakat.  Di ...