Selamat untuk Kapolri dan Panglima TNI telah menjaga bangsa sehingga demo 4 November 2016, berjalan damai. Apakah sukses? Tentu tidak. Sukses dan damai adalah terminologi dekonstruksi semantik.
Sukses 4 November itu hasil prosesi semantik, menunjukkan begitu tak berdayanya rakyat. Silent majority seperti semut yang untuk sekadar bicara tak mampu.
Saya lihat demonstran 4 November itu membawa bendera merah putih. Tak didominasi bendera FPI. Tak ada HTI. Tak ada bendera Muhammadiyah, atau NU yang sudah resmi melarang atributnya dipakai. Ada sekelebatan bendera bertulis La Ilaha Illahloh, tapi bukan yang di bendera ISIS. Tak ada saya lihat bendera Al Nusra, atau simbol kaum terorisme.
Saya membaca semiotikanya, silent majority yang mencintai Tuhannya, Allah Subhanahu Wataala. Kerumunan orang-orang yang menghormati Al Quran Karim. Mereka yang kemarin difitnah sebagai ditunggangi, sebagai radikalis, etcetera.
Saya lihat mereka adalah bangsa. Semua kulit berwarna, seperti kulit saya. Semua warga negara Republik Indonesia asli yang menyebut diri bangsa. Tak ada di sana warga negara Indonesia berbangsa Cina.
Sebagian dari mereka datang dari luar Jakarta yang difitnah dibiayai pihak tertentu. Faktanya, banyak yang menjual hand phonenya untuk ongkos ke Jakarta. Tega-teganya anda menfitnah orang orang malang itu, silent majority yang sekadar untuk bicara tak mampu. Kini malah Presiden Jokowi tak bersedia menemui mereka.
Mereka menjual hand phone untuk sekadar bisa menyampaikan aspirasinya, malah tak kesampaian. Jokowi tak nongol. Yang nongol Wiranto, Menkopolhukam, Wapres Jusuf Kalla. Tentu saja ditolak. Mereka tahu itu kiat Mukidi.
Saya peroleh determinisme terminologis bangsa dan warga negara kemarin dari Bang Imran dalam seminar "Indonesia Hari ini: Kami Melawan" di Taman Ismail Marzuki, sebuah catatan tentang Ahok dari Mochtar Efendy Harahap dan Ramly Kamidin.
Naskah proklamasi menyebut kalimat "Atas nama bangsa Indonesia". Bukan atas nama warga negara Indonesia. Siapa bangsa? Saya melihat demo 4 November itu atas nama bangsa Indonesia. Bukan atas nama warga negara Republik Indonesia. Mereka tak sekadar warga negara yang siapapun bisa. Melainkan bangsa Indonesia. Tak bisa anda mengajari mereka berbangsa.(*)
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #