Tak ada yang tak mungkin dalam politik. Inilah pameo yang membuat Sarwono Kusumaatmadja, salah satu tokoh Golkar, mengungkapkan pergulatannya bahwa dunia politik adalah seni mengelola segala kemungkinan.
Demikian pula dengan posisi Ketua DPR yang belum satu tahun diduduki Ade Komarudin. Rupanya kursi Ketua DPR tergolong 'kursi panas yang terus bergoyang'. Meski kelihatan nyaman diduduki namun tiba-tiba saja kemungkinan bisa berganti penghuninya.
Dinamika politik pasca Munaslub Partai Golkar di Bali bulan Mei 2016 masih belum berhenti menemukan keseimbangan. Baik akibat pengaruh eksternal maupun internal. Munculnya tuntutan pergantian Ketua DPR tak lepas dari pergulatan keseimbangan yang dialami Partai Golkar.
Pleno DPP Partai Golkar, Senin (21/11/1016) memutuskan 'mengembalikan posisi Setya Novanto sebagai Ketua DPR'. Landasannya adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan Setya Novanto bahwa sadapan tak bisa dijadikan alat bukti dalam sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) tentang permufakatan jahat kasus 'Papa Minta Saham'.
Terlebih lagi MKD mengabulkan permintaan Fraksi Golkar memulihkan nama Setya Novanto. Sehingga putusan pleno DPP Partai Golkar tersebut sebuah keniscayaan. Tak bisa dihindari. Sebab, sebagai Ketua Umum, Setya Novanto juga merupakan harkat dan martabat Partai Golkar itu sendiri.
Namun, pergantian Ketua DPR juga bukan tanpa syarat. Sebagai Lembaga Tinggi Negara, posisi Ketua DPR diatur dalam konstitusi. Ada syarat legal formal yang harus dipenuhi. Selain, tentu saja, syarat-syarat politis yang tak terhindarkan dan justru sering menimbulkan gejolak atau gonjang-ganjing.
Peristiwa yang dialami PKS dan Fahri Hamzah bisa dijadikan pertimbangan. Perlawanan yang dilakukan Fahri, hampir mengubur kelanjutan elit PKS mengganti posisi Wakil Ketua DPR. Selain itu, efeknya membuat gejolak internal PKS. Bahkan sengketa ini masih terus berlanjut dan bekepanjangan.
Posisi Ketua DPR sebagai Alat Kelengkapan Dewan (AKD) saat ini memang menjadi kewenangan DPP Partai Golkar yang diteruskan melalui Fraksi di DPR. Hanya saja, apakah Ade Komarudin menerima begitu saja tanpa melakukan perlawanan seperti dilakukan Fahri?
Jika Ade Komarudin memilih melawan maka gonjang-ganjing kursi Ketua DPR bukan hanya dalam komplek parlemen, namun juga akan merembet ke dalam Partai Golkar itu sendiri. Bukan tidak mungkin energi Partai Golkar akan teraduk-aduk terkuras kembali merusak program konsolidasi. (*)
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #