Opini
Oleh Indra J Piliang (Sang Gerilya Batavia) pada hari Rabu, 30 Nov 2016 - 09:37:42 WIB
Bagikan Berita ini :

Tujuh Puluh Tujuh Hari: 7-an Ronin Beringin

93images (14).jpg
Indra J Piliang (Sang Gerilya Batavia) (Sumber foto : Istimewa)

Dua setengah bulan dalam kalender, setara sebelas pekan, atau lebih persis lagi tujuh puluh tujuh hari lagi; bangsa Indonesia bakal membongkar 101 lukah lagi. Ya, 101 pemerintahan provinsi, pemerintahan kabupaten atau pemerintahan kota bakal dipilih. Sekitar 20% dari jumlah seluruh daerah di Indonesia.

Benar, Indonesia memiliki banyak ikan. Tapi, apakah lukah pilkada berisi ikan yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan warga negara? Pun, sudahkah menggambarkan komposisi dari orkestrasi kepemimpinan yang bisa bersinergi dengan kepemimpinan nasional, regional, hingga internasional. Atau, lagi-lagi “terjerambab” dan terjebak dalam jaring laba-laba struktur pemilih yang tidak ideal?

Tak ada teks yang benar-benar dieja tatkala demokrasi dikembalikan kepada warga negara; lewat aksi-aksi jalanan yang diperankan mahasiswa, tapi sesungguhnya dibantu pasokan logistik, tangisan, hingga doa pelbagai lapisan rakyat. Pilihan negara teokrasi tak diambil; pun negara monarki; apalagi fasis dan banyak dikutuk: komunis. Tak ada Republik Kelima ala Perancis.

Ada kata reformasi, juga belakangan restorasi, tapi bukan jiplakan dari pidato-pidato pimpinan negara lain yang juga sedang berubah: glassnost dan perestroika Sovyet akhir abad 20 atau restorasi Meiji Jepang akhir abad 19. Indonesia menempuh jalur demokrasi sendiri, sembari mengumpulkan 550 literatur dan defenisi demokrasi dari negara-negara lain di dunia. Konstitusi Indonesia bukanlah menara batu pualam, tapi dinding-dinding anyaman bambu yang dibuhul sejak dunia kanak-kanak hingga perjuangan masuk-keluar hutan para gerilyawan kemerdekaan.

Dan lihatlah, sudah hampir dua dekade; keadaan baik-baik saja. Mau pengamat sepakbola dengan kacamata setebal alas teropong bintang, atau pendaki gunung yang tak pandai berpuisi; mau perempuan yang sejak kecil sudah pernah lari ke bunker Istana Negara, atau lelaki tinggi pemain bola volley yang tidur di atap bambu joglo bibinya: mereka bisa menjadi Presiden RI. Mereka bisa, rakyat tak binasa; dengan waktu singkat atau lama. Indonesia adalah kuah dari racikan kuliner kaum ibu feminin dan kaum bapak maskulin; dengan ratusan kebiasaan purba hingga pulsa.

***

Karena itu juga, tak ada ketakutan apapun dalam diri sejumlah “kaoem moeda” Partai Golkar untuk berbeda dengan pilihan partainya. Tentu, dengan segala macam resiko. Bukan apa-apa; tak berbeda maka tak Golkar. Bukankah politisi senior yang kini sedang menjaga rumah partai dengan pecut atau senyuman, juga bisa diperiksa buku catatan pembangkangan mereka di era masing-masing.

Ya, mereka bekerja serius. Tapi kala membangkang, pun sangat serius. Dan itulah yang diajarkan dalam rumah besar beringin; tentu bukan dalam pidato-pidato resmi yang kaku, tapi celoteh-celoteh setelah itu.

Tanpa perlu merasa takut, juga dengan nada yang tetap hormat; lahirlah sejumlah Ronin Beringin. Ronin, samurai tanpa Tuan Tanah (Daimyo), tetapi tetap bersandar dan berkelebat di hutan-hutan yang ditumbuhi pohon-pohon beringin dengan dua senjata: pedang untuk bela diri dan katana untuk bunuh diri. Dan jejak para Ronin ini bukan hanya ada dalam era pilkada, tapi jauh berakar sejak era kemahasiswaan masing-masing. Beragam kampus mencatatnya: Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Trisakti, Institut Pertanian Bogor dan kampus-kampus lain yang menghumbalang mereka ke jalanan sebagai pimpinan aktivis era 1990-an hingga 1998.

Pada kuasa yang lebih kokoh, lama, bersenjata, ronin-ronin remaja ini sudah putus urat takutnya; apalagi kala ronin-ronin ini masuk dengan kesadaran sendiri untuk bergerilya di sarang beringin.

Dan rupanya, catatan itu sudah bukan lagi ada dalam buku kumal dalam ransel masing-masing. Para elite Partai Golkar pun sudah menyimpannya. Tak ada teguran. Dialog? Ada, tapi bukan dalam bentuk yang layak masuk berita. Ronin Beringin yang berhadapan dengan lapisan kepemimpinan merdeka dalam alam demokrasi. Ronin Beringin yang mungkin saja dijaga oleh lapisan senior yang jauh lebih banyak, lebih berkarakter, tapi diam tanpa suara untuk membiarkan mesin demokrasi bekerja.

***

Ada apa 77 Hari Lagi? Bukan perayaan Es Teler 77 yang sudah jadi tempat mangkal para Ronin Beringin sejak belajar merayu mahasiswi. Tapi perayaan tujuan-tujuan arus besar yang sudah dijejak sejak lama; reformasi dalam bentuk baru; neo reform yang sempat menyakiti kaum intelektual awal pasca1998 yang langsung masuk politik. Idealita yang pernah merasuki alam pikiran bahkan seorang Nurcholis Madjid (Cak Nur), hingga “tega” menggunakan jaket Partai Golkar demi menegaskan kepercayaannya pada demokrasi yang berbasis partai politik.

Ya, Cak Nur hanya sebentar berjaket Partai Golkar, tapi ialah the only one founding father Ronin Beringin. Wajah yang ditangisi akibat tak bisa dicegah untuk segera berucap “Gizi Saya Tidak Ada”, lalu menyingkir dari panggung. Wajah yang mengisi batere kaum pergerakan dan intelektual bangsa Indonesia, tatkala mengucapkan Pidato Kebudayaan pada tahun 1994 di Taman Ismail Marzuki (TIM) dengan sokongan yang tinggi kepada demokrasi.

Cak Nur, ialah Socrates yang kudu lama menunggu lahir kembali. Cak Nur yang bicara di bawah pohon beringin, tanpa takut dicap keluar dari kerangkeng “Islam Yes, Politik No” sejak 1970. Cak Nur yang sama-sama tak bisa dibela oleh murid-muridnya, kala gizi menguasai metode pemungutan suara Yunani. Socrates yang mencegah murid-muridnya yang kaya untuk unjuk harta, sama halnya dengan Cak Nur yang memeragakan senyum rupawan; walau bisa memanggil puluhan ribu donatur di Istora Senayan untuk sekadar bekerja atas dasar uang berkarung-karung.

Kami tidak sedang menginginkan Patung Cak Nur diukir besar-besar di Jalan Anggrek Nelly. Tapi, sesedikit apapun perannya di dalam perjalanan Partai Golkar; apa kami tak boleh mempercayai betapa bukan hanya Pak Harto saja yang menjadi tokoh besar beringin, tapi juga Cak Nur. Pak Harto sebagai penguasa dan Cak Nur sebagai oposan yang loyal dan setia. Tak mungkin ada pidato 21 Mei 1998 itu, jika Pak Harto tak percaya bahwa ada Cak Nur punya lebih tebal buku guna menjabarkan era baru yang sama sekali berbeda.

Ronin Beringin sekarang, tak lebih dari semut-semut dan padang rumput sabana yang tak bisa mengangkat kepala, kala menengadah kepada kedua tokoh rill dan intelektuil Golkar (Partai Golkar) itu...(*)

Jakarta, 30 November 2016.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Kode Sri Mulyani dan Risma saat Sidang MK

Oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
pada hari Kamis, 18 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Sri Mulyani (dan tiga menteri lainnya) dimintai keterangan oleh Mahkamah Konstitusi pada 5 April yang lalu. Keterangan yang disampaikan Sri Mulyani banyak yang tidak ...
Opini

Tersirat, Hotman Paris Akui Perpanjangan Bansos Presiden Joko Widodo Melanggar Hukum: Gibran Dapat Didiskualifikasi?

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --1 April 2024, saya hadir di Mahkamah Konstitusi sebagai Ahli Ekonomi dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2024. Saya menyampaikan pendapat Ahli, bahwa: ...