JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Anggota DPD RI I Gede Pasek Suardika mengatakan, keinginan PDIP menambah kursi pimpinan DPR dan MPR bisa batal jika DPD tidak menerima revisi UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3).
"Sangat bisa, misalkan DPD keberatan itu bisa membatalkan, tapi harus melalui gugatan ke MK. Kemungkinan DPD akan mempermasalahkan, karena UU itu bukan untuk DPR saja," kata Pasek di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (20/12/2016).
Pasek juga menilai revisi UU MD3 yang hanya menambah jumlah kursi pimpinan saja itu melanggar pasal 12 tahun 2011 yang mengatur soal mekanisme revisi UU.
"Medianya yang benar itu mengunakan komulatif terbuka. Yang dipakai dasar perubahan adalah putusan MK yang mengatur UU itu, nah baru dimasukan penambahan-penambahan personalia," katanya.
Tapi, lanjut Pasek, kalau hanya alasan kesepakatan koalisi itu sama saja mengulang kesalahan yang lalu atas penambahan alat kelengkapan dewan dengan dasar kesepakatan koalisi.
"Tidak ada dasar kesepatan koalisi untuk mengubah UU. (Ketika) itu terjadi DPD keberatan, dan dijanjikan berikutnya bahwa UU MD3 akan dilakukan secara komprehensif, termasuk memasukan putusan MK tentang mekanisme legislasi yang melibatkan pemerintah, DPD dan DPR," kata Pasek.
Pasek sendiri mengakui telah mengusulkan agar DPD segera bersikap atas revisi UU MD3 usulan PDIP tersebut.
"Tadi saya sudah meminta di rapat paripurna biar DPD bersikap. Artinya kita minta dasarnya harus putusan MK untuk mengubah UU MD3. Putusan MK tentang pengaturan mekanisme legeslasi tentang DPD, DPR dan pemerintah yang belum dimasukan dalam UU. Itu sudah ada mekanisme pembahasan. Itu harus dipakai. Dan itu yang diatur dalam UU 12 tahun 2011 bahwa komulatif terbuka sebagai salah satu alasan untuk melakukan revisi," terangnya.
Menurutnya, sesuai UU 12 tahun 2011, PDIP tidak bisa mengusulkan revisi UU MD3 hanya untuk penambahan pimpinan DPR dan MPR dari Fraksi PDIP.
"Kalau ini permintaan partai untuk menambah kursi,tidak ada revalansinya. Tetapi kalau komulatif terbuka dan dibahas, itu tidak menjadi masalah. (Tapi) harus ada putusan MK dan masuk prolegnas prioritas," tandasnya. (plt)