Opini
Oleh Djoko Edhy S Abdurrahman (Mantan Anggota Komisi III DPR RI) pada hari Selasa, 27 Des 2016 - 09:10:12 WIB
Bagikan Berita ini :

Menolak Lembaga Penafsir Pancasila Pemerintah

83SAVE_20160822_125409.jpg
Kolom Bersama Djoko Edhy S Abdurrahman (Mantan Anggota Komisi III DPR RI) (Sumber foto : Ilustrasi oleh Kuat Santoso )

Pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan membentuk lembaga khusus pemantapan Pancasila yang langsung berada di bawah komandonya. Khabarnya, alasan pembentukan lembaga ini dilatarbelakangi persoalan bangsa seperti menguatnya intoleransi, radikalisme dan terorisme.

Keinginan pemerintah ini mendapat sambutan baik Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Prof Jimly Asshiddiqie. Bahkan Prof Jimly meminta lembaga tersebut nantinya tak hanya berfungsi dalam pengembangan wacana semata, melainkan juga berperan dalam mengkaji serta mengadvokasi produk legislasi yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Saya berpandangan lain. Menurut saya pembentukan lembaga ini harus ditolak. Apapun nama dan alasannya, pembentukan lembaga ini ujungnya hanya akan membuat pemerintah memonopoli penafsiran Pancasila. Itu berbahaya. Sori berat Prof Jimly, saya tak setuju.

Masih ingat Prof Emil Salim dan almarhum Prof Mubiyarto? Diskursus keduanya berhenti ketika Pemerintah mengambil alih sebagai penafsir tunggal Ekonomi Pancasila. Emil salim menggunakan mazhab Neo Classic versus Mubyarto menggunakan metodologi Jogya.

Tadinya dari diskursus itu diharapkan ditelurkan metodologi ekonomi Pancasila. Tiba-tiba diambil alih pemerintah dan jadilah ekonomi liberal kini. Logi ketiga trilogi pembangunan gagal dan terjerumus kepada konsep WW. Rostow "The Stage Economics Growth Non Communist".

Rasanya kita juga belum lupa pak Harto dengan taktis dan strategis mengambilalih penafsiran Pancasila dan UUD 1945 secara santun karena dibungkus dengan embel-embel 'secara murni dan konsekuen'. Namun jargon 'melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen' justru menghasilkan pemerintah yang otoriter sehingga harus dikoreksi oleh gelombang reformasi 1998.

Apakah kita mau ulangi lagi memberikan kesempatan pemerintah menjadi penafsir tunggal Pancasila? Janganlah. Sekarang saja ekonomi yang dijalankan sama sekali tak berasa Pancasila. Tapi berasa OBOR (on belt on road one china). Ngeri!(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Kode Sri Mulyani dan Risma saat Sidang MK

Oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
pada hari Kamis, 18 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Sri Mulyani (dan tiga menteri lainnya) dimintai keterangan oleh Mahkamah Konstitusi pada 5 April yang lalu. Keterangan yang disampaikan Sri Mulyani banyak yang tidak ...
Opini

Tersirat, Hotman Paris Akui Perpanjangan Bansos Presiden Joko Widodo Melanggar Hukum: Gibran Dapat Didiskualifikasi?

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --1 April 2024, saya hadir di Mahkamah Konstitusi sebagai Ahli Ekonomi dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2024. Saya menyampaikan pendapat Ahli, bahwa: ...