JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI kembali diingatkan untuk tidak main-main dalam mendata daftar pemilih tetap (DPT) untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur di Pilkada DKI.
Kali ini, terkait hak pilih Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) menjadi kebingungan tersendiri 40 hari jelang pemungutan suara pada 15 Februari 2017 mendatang.
Pasalnya, sebagian dari mereka dikategorikan warga negara Indonesia yang layak menggunakan hak pilihnya, lantaran kondisinya dianggap sudah membaik. Sedangkan yang lain tidak.
Diketahui, ada ribuan orang gila di DKI yang kini tersebar di 4 Panti Laras di wilayah DKI. Yaitu, Panti Laras Ceger, Panti Laras Cipayung, Bina Laras Daan Mogot dan Panti Laras Cengkareng.Total jumlah pemilih di 4 Panti tersebut diperkirakan mencapai ribuan orang gila.
Wakil Ketua Bidang Data dan Saksi Tim Pemenangan Anies-Sandi, Ahmad Sulhy mengatakan, tingginya angka orang gila di DKI dapat menjadi celah gugurnya hak pilih secara sia-sia dan sekaligus menjadi celah bagi pihak-pihak tertentu untuk memanfaatkan hak pilih mereka.
"Saya khawatir suara orang gila itu akan menjadi sia-sia karena belum memiliki kesadaran penuh untuk datang ke TPS untuk memilih, atau justru dimanfaatkan oleh paslon tertentu," kata Sulhy kepada TeropongSenayan, Jakarta, Kamis (5/1/2017).
"Misalnya hak mereka dimanfaatkan oleh pihak-pihak lain yang memengaruhi mereka atau kalau ada keluarga yang mendampingi mereka, bisa saja pilihannya diarahkan," tutur Sulhy.
Karena itu, Sulhy meminta agar KPU DKI menyertakan surat keterangan sehat dari dokter, bahwa yang bersangkutan betul-betul dalam kondisi yang memungkinkan untuk menentukan pilihan politiknya.
"Ini yang tinggal di Panti kan karena kesehatannya dianggap bermasalah, nah kalau sekarang mau dikasih hak pilih, KPU mestinya menggandeng dokter dong," terangnya.
"Jadi, harus dicek dulu, nanti biar dokter kasih surat keterangan yang mencantumkan bahwa yang bersangkutan sehat jasmani dan rohani, atau kondisinya sudah membaik. Jangan sampai nanti sampai di TPS malah cakar-cakaran (kumat)," kata Sulhy berseloroh.
Selain itu, mantan aktivis HMI ini menambahkan, mengingat jumlah orang gila yang sedemikian banyak, KPU juga harus mendirikan TPS khusus di masing-masing Panti.
"Bayangkan, di Panti Bina Laras Cengkareng saja terdapat sekitar 478 orang sakit jiwa yang hak pilih. Jadi, sebaiknya buat TPS khusus saja. Jangan disatukan dengan TPS sekitar (bersama warga normal)," jelas Sulhy.
Sementara KPU, kata dia, hingga kini menolak mendirikan KPU khusus, karena mereka dianggap cukup berbaur dengan TPS sekitar.
Diketahui, sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan sebagian gugatan uji materi Pasal 57 ayat (3) huruf a Undang Undang Pilkada terkait dengan penghilangan hak pilih bagi penyandang gangguan jiwa.
Dalam putusannya hakim MK menyatakan bahwa Pasal 57 ayat (3) huruf a UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa "terganggu jiwa atau ingatannya" bila tidak dimaknai dengan "mengalami gangguan jiwa atau gangguan ingatan permanen yang menurut profesional bidang kesehatan jiwa telah menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih dalam pemilihan umum".
Dalam pertimbangan Mahkamah, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyebutkan bahwa hak untuk memilih dan untuk didaftar sebagai pemilih dalam Pemilu adalah hak semua warga negara Indonesia yang memenuhi syarat.
"Selain itu, gangguan jiwa dan gangguan ingatan adalah dua kondisi yang berbeda meskipun secara kategoris keduanya beririsan," kata Hakim Konstitusi Wahiduddin beberapa waktu lalu.
Mahkamah juga menimbang bahwa tidak semua orang yang sedang mengalami gangguan jiwa atau gangguan ingatan akan kehilangan kemampuan untuk menjadi pemilih dalam Pemilu.
Selain itu Mahkamah berpendapat bahwa ketiadaan pedoman atau kriteria dan ketiadaan lembaga atau profesi yang tepat untuk melakukan analisis kejiwaan terhadap calon pemilih mengakibatkan ketentuan a quo berpotensi menimbulkan pelanggaran hak konstitusional.(yn)