Sembilan belas tahun sudah Indonesia berada di Era Reformasi. Hiruk pikuk perdebatan pendapat dan pemikiran tentang negara hukum atau negara kekuasaan menjadi topik utama pada sejumlah diskusi publik. Sementara itu kegelisahan terhadap persoalan ideologi negara, pondasi hidup berbangsa bahkan masa depan NKRI kembali membahana memenuhi ruang publik.
Baik itu melalui seminar, ruang perkuliahan, opini media mulai tulisan-tulisan lepas serta disertasi dari sejumlah mahasiswa pascasarjana, militer aktif maupun purna tugas, pakar hukum tata negara, tak ketinggalan pula sebagian politisi parlemen. Semuanya bermuara pada semangat kembali ke UUD 1945 Asli .
Secara sadar, bisa ditarik benang merah bahwa publik berkesimpulan UUD 2002 itu karya asing/intervensi asing. Ini mengingatkan publik bahwa bangunan praktek gerakan reformasi di tanah air memiliki pola yang mirip di negara-negara lain didunia seperti Afghanistan, Iraq, Mesir, Lybia dll. Inilah model 'kawasan' yang diciptakan kapitalis AS dan sekutu-sekutunya.
Demokrasi (liberal) dipakai dengan tujuan menghadirkan pemerintahan yang lemah untuk mengendalikan kekuasaan negara dan rakyatnya. Penghancuran dengan model politik adu domba atau politik pecah belah di arahkan pada pilar demokrasi yaitu partai politik-partai politik yang akhirnya membawa bencana yakni masyarakat tercerai berai dalam kotak-kotak kelompok kepentingan.
Bagaimana tidak. Menjadi pemandangan umum bahwa pimpinan partai politik dalam perkembangannya tidak lagi memperdulikan tujuan partai politik yang sesungguhnya, namun lebih berorientasi bagaimana mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Sehingga retorika elit parpol ada senandung berebut kekuasaan.
Pada sisi yang lain, arena rezim Pemilu, baik itu Pileg, Pilkada maupun Pilpres, telah melahirkan budaya sengkarut politik. Baik politik uang (money politics) maupun turunannya. Inilah budaya politik menghalalkan segala cara. Bahkan diakui atau tidak, hingga kini tidak satupun lembaga berwenang yang bisa menyelesaikan kasus kecurangan dan pelanggaran pidana Pemilu dengan tuntas.
Korupsi dan suap menyuap dengan segala cara, menjadi fenomena politik yang tidak terhindarkan akibat dari budaya politik uang tersebut. Pimpinan Daerah mulai dari Ketua dan Anggota DPRD, Gubernur, Bupati dan Wali Kota yang berurusan dengan KPK dan masuk penjara menjadi tontonan masyarakat, sebagai akibat budaya politik uang.
Ironis, menjadi semakin bagai lingkarasan setan, lembaga pemberantas korupsi seperti KPK juga mulai dipertanyakan oleh masyarakat. Hal ini antara lain akibat bermain-mainnya menangani kasus Ahok, Setnov dsbnya. Padahal, lembaga ini merupakan tumpuan akhir menegakan hukum terhadap koruptor yang antara lain buntut budaya politik uang.
Sekarang ini muncul fenomena baru, para pemilik modal atau uang berlomba-lomba menyalonkan dalam Pileg, Pilkada maupun Pilpres walau kapasitas dan kompetensinya memble. Apa boleh buat ini semua karena adanya sutradara dibelakangnya. Tak tanggung-tanggung para konglomerat turun gunung menopang calon boneka.
Kekhawatiran selingkuh antara pemilik modal, politisi dan kekuasaan tak terhindarkan. Apalagi yang diburu selain aset ekonomi? Saya berpendapat mungkin agak ekstrim, bahwa sebahagian besar aset dan infrastruktur ekonomi Indonesia sudah ditangan pemilik modal, baik asing maupun lokal, yang berselingkuh tadi.
Rasanya sulit untuk menepis sinyalemen skenario bahwa bagi negara-negara barat, China, Taiwan dan Singapura yang beranggapan apa bila Presiden adalah orang pribumi yang berintegritas, kapabel dan mumpuni, maka cepat atau lambat Indonesia akan menjadi negara kuat dan besar. Ini yang ditakuti negara asing itu.
Sebab, jika Indonesia menjadi negara kuat maka kapitalisme sebagai alat penguasaan aset perekonomian tidak lagi dengan leluasa mencengkeran Indonesia. Praktis, thesis bahwa negara kapitalis ingin Indonesia harus dipimpin oleh tokoh yang Lemah terutama yang mau dipromosikan, bila perlu dari komunitas Cina agar persekutuan bisnis mereka semakin kokoh.
Maka, bagi para aktivis sejati dan tokoh peduli negara tidak ada pilihan lain UUD 2002 (hasil amandemen 1, 2 ,3 dan 4 ) harus diperjuangkan untuk dikembalikan seperti semula sebelum Amandemen. Karena Amandemen UUD 45 yang berlaku sekarang ini sudah sesuai dengan rencana berdasarkan sekenario kapitalisme.
Namun, jika ada anak bangsa yang menginginkan kembali ke UUD 1945 yang asli justru ditangkap melakukan perbuatan makar, akal sehat mana lagi yang bisa menerimanya? Kepada siapakah seharusnya para penguasa sekarang ini mengabdi? Masihkan penguasa seperti ini bagian dari bangsa Indonesia?(*)
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #