Luar biasa Inayah membela Ahok. Sampai sampa dibikin puisi (kemudian dibantah dengan menyatakan sebagai hoax). Jika benar prosesnya, puisi adalah hasil sublimasi yang mendorong nurani terdalam untuk menghasilkan sang tokoh. Tuhan pada Iqbal adalah penokohan sublimasi, jauh lebih dalam ketimbang essay atau narasi artikel.
Misalnya :
Tuhan, di mana teman orang-orang miskin ini?
Pada bait yang lain,
Tuhan, jadikanlah aku sebatang lilin
yang terbakar
meleleh
untuk menerangi gelap malam
Tuhan, jadikanlah kami bukit thursina
agar kami mampu membakar kedzaliman kekuasaan itu
seolah bilal dan laila
Pada Pablo Neruda, penerima nobel sastra, personikasi ilahiahnya juga hasil sublimasi yang intent. Tuhan di situ adalah tokoh yang menguasai seluruh renungan, sehingga puisi bukan kalimat yang dipotong-potong. Saduran saya dan tuhannya Pablo Neruda 20 tahun lalu, sebagian sudah lupa:
temanku itu
tak mendengar
ia tuli
ia terpenjara dalam nikmatnya kekuasaan
apa kau tak dengar erangan perempuan itu
yang suaminya mati dengan bendera merah putih
tertancap di perutnya
mereka mendustai kita
menunggang kuda sambil terengah-engah
tiga hari tiga malam
diamlah dulu
agar panasnya nikmat kekuasaan itu
tak membakarmu
tak ada dalam perjanjian kita
korupsi arogansi ketika dulu kau menjanjikan reformasi
Tuhan pada Kahlil Gibran juga personifikasi sublimitas yang memenjarakan Gibran, dalam "Sang Nabi" maupun "Sayap Sayap Patah".
Karenanya saya harus menjenguk proses penciptaannya dalam essay "Surat Surat Cinta Gibran Kepada May Ziadah".
Kekasih, sudah masanya kita berterus terang tentang dosa-dosa yang kita perbuat..
Puisi bagi Gibran adalah perbuatan dosa. Juga bagi May yang menjadi kritikusnya. Ia mengajak May mengakui terus terang dosa-dosa mereka.
May adalah kekasih Gibran selama 40 tahun, tanpa pernah bersua. May di London, sedang Gibran di Lebanon yang kemudian pindah ke New York. Asmara mereka oleh dunia diabsah sebagai "percintaan terbesar" di abad ini. Dua bulan setelah Gibran meninggal, May wafat.
Kembali ke puisi Inayah tadi, apakah Ahok adalah turunan dari ilahiah sublimasi tadi. Saya kira Pablo Neruda benar: ia terpenjara oleh nikmatnya kekuasaan!
Kekuasaan tak memiliki kemarahan, melainkan syahwat berkuasa. Menurut Suparlan (1984), pada mekanisme Mancapat Mancalimo Kejawen, penguasa adalah tuhan itu sendiri. Ia adalan titisan Sang Hiyang Widi yang turun kepada Sang Hiyang Wisesa lalu kepada Sang Hiyang Wenang. Ia tak punya amarah.
Amarah senantiasa milik rakyat, bukan milik Sang Hiyang Wenang. Dalam Rosseau, Sang Hiyang Wenang memiliki obligation (kewajiban negara), dan rakyat memiliki rights (hak rakyat).
Menurut Natalius Pigal, negara tak punya hak. Yaitu tadi, hanya memiliki syahwat berkuasa. Ansor hanya rakyat, lupakan saja. Memang sangat mudah memandangnya dari penjara nikmatnya kekuasaan. Dan, lebih mudah, andaikata puisi tak mampu berdusta.(*)
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #