Opini
Oleh Agus Wahid (Peneliti Lembaga GARUDA INDONESIA) pada hari Selasa, 14 Feb 2017 - 10:02:39 WIB
Bagikan Berita ini :

Pasca Pilkada Jakarta: Menguji Cinta Anak Bangsa

88IMG-20160613-WA0008_1465797416811.jpg
Agus Wahid (Peneliti Lembaga GARUDA INDONESIA) (Sumber foto : Istimewa )

Akankah pikada Jakarta berjalan lancar, jujur, adil dan transparan? Itulah pertanyaan yang sangat mendasar yang perlu disikapi serius sebagai sikap konstruktif dalam kerangka melihat secara obyektif sampai sejauh mana minimal warga Jakarta, bahkan seluruh elemen bangsa ini mencintai negeri ini, atau justru hipokret. Sama atau beda antara slogan politik yang selama ini dikumandangkan?

Di atas kertas dan secara prediktif, sulit dijamin proses pilkada Jakarta ini berjalan lancar, meski Polda Metro Jakarta sudah mempersiapkan sekitar 13.000 personel untuk mengamankan proses pemungutan suara di setiap TPS. Tiadanya jaminan sejalan dengan gelagat yang sudah dipersiapkan semua pasangan calon (paslon) yang siap melakukan aksi di wilayah TPS.

Di satu sisi, terdapat paslon yang jauh-jauh hari telah mempersiapkan aksi (manuver) untuk menggelembungkan suara secara melawan hukum, sistimatis dan terencana. Indokatornya sudah tercium: menggunakan e-KTP yang telah digandakan yang keberadaannya asli tapi palsu (aspal). Satu orang menggandakan, minimal dua KTP. Menurut data yang sudah terupload di berbagai media sosial, telah terjadi penggandakan KTP milik seseorang menjadi KTP milik dirinya dengan mengubah wajah pemiliknya dan menjadi beberapa KTP aspal. Arahnya, agar dapat memilih dan lebih dari sekali.

Bahkan, Lukman Eddy dan Agung Widyantoro dari Komisi II DPR RI sempat sidak ke Bea cukai Bandara Soekarno-Hatta setelah mendengar berita penggandaan sekitar 450.000 KTP yang terkirim dari Vietnam. Ternyata, berita itu bukan hoax. Wakil rakyat dari Fraksi PKB dan Golkar itu benar-benar menemukan KTP ganda sebanyak itu. Manuver picik itu juga akan ditambah lagi dengan penambahan TPS di daerah Taman Indah Kapuk (PIK) dan kawasan reklamasi, yang menurut berita yang tersiar siap mengakomodasi sekitar 650 ribu pemilih.

Kini, penggelembungan suara itu kian menampak tujuan penggunaannya. Untuk bisa memilih salah satu paslon. Hal ini bisa dicermati dengan aksi mobilisasi kalangan tertentu dari berbagai daerah, antara lain Morowali, dan Singkawang, yang secara etnik sama dengan salah satu paslon. Akan lebih meningkat lagi mobilisasi itu pada hari H itu, khususnya untuk para transitor sesaat asal daerah tetangga Jakarta seperti Tangerang, Depok, Bogor dan Bekasi. Aksi itu diyakini bisa menggunakan hak pilih sejalan dengan ketentuan Pasal 57 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, bahwa ketika Warga Negara Indonesia tidak terdaftar sebagai pemilih pada saat pemungutan, mereka dapat menunjukkan e-KTP.

Sebuah renungan, apakah KPU melalui petugas TPS bisa menegakkan prinsip kejujuran dalam proses pemungutan suara itu? Jika persoalannya hanyalah seputar e-KTP yang benar-benar asli, tentu KPU (petugas TPS) harus mentolelirnya. Dan ketentuan UU tersebut dirancang sebagai solusi atas kendala administratif data kependudukan yang sah, sekaligus untuk menjamin tingkat partisipasi politik rakyat. Bisa menjadi hal positif untuk meningkatkan kualitas demokrasi di negeri ini. Yang menjadi persoalan serius, bagaimana dengan e-KTP aspal hasil penggandaan ilegal? Inilah tantangan KPU (petugas TPS) yang harus mampu membedakan antara e-KTP asli dan aspal.

Dalam hal ini, KPU sudah mempersiapkan alat deteksi untuk mengecek keaslian KTP (PoC e-KTP reader). Dengan perangkat ponsel android, akan muncul foto asli pemilik KTP asli dan dengan sendirinya akan beda dengan foto KTP aspal itu. Proses deteksinya singkat dan mudah. Ketika di antara pemilih terbukti KTP aspal, maka petugas TPS haruslah tegas: menolak penggunaan hak pilihnya. Jika tak dilakukan tindakan tegas, maka seluruh komponen masyarakat pemilih yang berada di sekitar TPS, termasuk saksi resmi dari unsur partai atau lainnya, akan mempersoalkannya (keberatan).

Reaksi ini sejalan dengan paslon-paslon lainnya telah mempersiapkan saksi untuk memonitor secara proaktif terhadap jalannya pemungutan suara dan penghitungannya. Jika pengguna e-KTP aspal terkategori besar jumlahnya dan terbiarkan, maka kualitas protes keberatannya akan menguat. Di sanalah potensi keributan akan benar-benar meledak. Di sana pula, tak ada jaminan kelancaran dalam proses pemungutan suara, meski dikerahkan aparat kepolisian untuk mengamankan setiap TPS.

Tidak hanya sampai di titik pemungutan suara. Selanjutnya, ketika terjadi perbedaan jumlah riil antara daftar resmi KPU dengan jumlah suara yang telah direkapitulasi di tingkat TPS dan ketika dipindahkan kotak suaranya ke Kelurahan, Kecamatan dan Kotamadya, hal ini pun akan menambah kualitas protes yang makiningkat. Jika KPU tak mampu menegakkan aturan hukumnya dengan transparan dan fair, protesnya tidak lagi hanya sebatas ketegangan psikologis, tapi sangat berpotensi untuk mendorong reaksi fisik. Emosionalitas itu tak akan terbendung meski di hadapannya terdapat beberapa aparat kepolisian yang sigap dan taat komando untuk bertindak tegas.

Ketegasan kepolisian yang ada justru menimbulkan pertanyaan, apakah tindakannya on the track secara hukum atau justru menampakkan keberpihakannya terhadap salah satu paslon? Jika keberpihakan itu yang amat menonjol, masyarakat yang kecewa tidak akan mundur. Sikap keras barisan yang kecewa kian menguat sejalan dengan persoalan pilkada Jakarta dinilai sangat ideologis, dalam perspektif agama, atau kepentingan kenegaraan (NKRI). Dua landasan ini akan menggiring sikap idealistik: siap menghadapi proses pemungutan suara yang dinilai tidak jujur, sekalipun harus bersiko secara fisik. Dalam hal ini jihad onbehalf keyakinan (agama) dan atau kecintaannya terhadap Pancasila, UUD 1945 dan NKRI ini menjadi sumber energi demi proses pilkada yang jujur dan akuntabel.

Sulit dibantah, mekanisme penyelenggaraan pilkada Jakarta yang dinilai penuh curang akan mendorong reaksi massa menuntut penegakan hukum yang tegas dan berpihak pada keadilan. Yang perlu kita catat lebih dini, ekspresi kekecewaan masyarakat langsung terjadi, meski statusnya masih dalam proses menuju penentuan (hasil akhir), antara lain Mahkamah Konstitusi (MK). Publik yang kecewa akan lebih memilih aksi fulgar dan sebegitu heroiknya. Bukan tak mungkin, aksinya tanpa kontrol, terutama bagi pihak tertentu yang sejauh ini memang telah berseberangan dengan rezim. Ada pihak tertentu yang kemungkinan mengambil kesempatan. Jika hal ini terjadi, maka persoalannya akan melebar: dari persoalan politik, ke sektor sosial dan ekonomi. Dan inilah yang pernah terjadi pada 1998, sebuah tragedi yang membuat sebagian etnis negeri ini harus lari menyelamatkan diri ke negeri jiran (Singapura) dan sebagian lagi menjadi korban kekerasan seksual.

Mengapa konflik horisontalnya melebar ke ranah ekonomi dan sosial? Hal ini tak lepas dari akumulasi kekecewaan yang sudah terbungkus sekian lama, terkait problem penegakan hukum yang dinilai diskriminatif, atau gurita neokolonialisme ekonomi dari pihak pendukung salah satu paslon yang sudah merengkuh ekonomi negeri ini. Jumlah prosentasenya sangat fatastik: lebih dari 82%. Dan politik (pilkada) hanyalah menjadi pemantik, sehingga sektor ekonomi dan sosial menjadi implikasi integral dari perilaku politik yang selama ini telah mengemuka. Karena itu, reaksi yang muncul hanyalah sebuah akumulasi kekecewaan yang telah terpendem. Dan kecurangan dalam proses pilkada menjadi pintu masuk, bukan tidak siap kalah atas kontestasi politik.

Konflik horisontal dan pertanggung jawaban politik
Di atas kertas, konflik horisontal pasca pilkada sulit dihindari. Sebab, barisan pro-kontra akan sama-sama mengerahkan kekuatannya. Tentu, dengan argumen yang berbeda. Ketika masing-masing kekuatan secara vis a vis berhadapan secara diametral, maka di atas kertas akan menelan korban yang tidak sedikit. Barisan kepolisian atas nama tugas akan mengerahkan kekuatan untuk menghadapi desiden yang dinilai tidak bisa menerima realitas kekalahan. Sementara, barisan yang dinilai kalah, tidak mempersoalkan hasil akhir suara itu, tapi lebih menitikberatkan proses kecurangannya. Harusnya, diserahkan mekanismenya kepada MK sebagai pihak yang menyelesaikan sengketa pilkada. Namun, ketidakpercayaannya pada proses hukum, hal inilah yang mendorong reaksi demonstratif. Di sinilah saat-saat genting, karena korban yang bergelimpangan akan mendorong satuan lainnya, terutama TNI, akan mengedepankan prinsip melindungi seluruh rakyat tanpa membedakan afiliasi politik, ras, suku, agama yang tengah berlangsung.

Yang perlu kita garis-bawahi, konflik horisontal dan penelanan korban yang diperkirakan tidak sedikit, fakta ini bisa dinilai sebagai kegagalan pemerintah, bukan hanya melindungi rakyatnya, tapi dan hal ini yang jauh lebih serius juga gagal mengimplementasikan sila ketiga Pancasila (Persatuan Indonesia). Dan secara mikro, rezim ini juga dinilai melanggar konstitusi, dimana sebagai negara hukum haruslah tunduk dan committed untuk menyelengarakan proses pemilu sesuai UU, di antaranya melarang proses kecurangan, bukan membiarkan praktik culas dan nakal itu.

Pelanggaran serius terhadap Pancasila dan UUD 1945 Pasal 1 Ayat 3 menjadi argumen yang sah dan valid bagi rakyat untuk menuntut Presiden mempertanggungjawabkan instabilitas itu, bukan hanya wilayah Jakarta, tapi potensinya yang akan meluas ke tanah air. Dalam hal ini Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) harus responsif melihat realitas konflik horisontal yang berdampak serius bagi instabilitas sebuah negeri. Maka, sesuai amanat konstitusi, MPR dapat menyelenggarakan sidang istimewa (SI) dengan agenda satu: minta pertanggungjawaban presiden.

Sebuah renungan, apakah MPR berkenan menyelenggarrakan sidang istimewa itu? MPR sebagai kumpulan para anggota dan atau fraksi DPR RI dan DPD RI yang beragam sikap politiknya – belum tentu bulat suaranya. Namun demikian, pelanggaran serius terhadap Pancasila dan UUD 1945 bisa dijadikan landasan yuridis untuk memformulasi sikap politik untuk SI. Dalam hal ini DPD RI yang jelas-jelas tidak dalam bayang-bayang cengkraman partai bisa memaikan peran maksimalnya untuk bersuara dan bersikap jauh lebih kritis.

Jika Presiden tidak memuaskan jawabannya dalam arena SI, maka MPR dapat mengeluarkan satu rekomendasi (impeacment) kepada MK. Namun, jika MPR loyo atau tak mampu mengeluarkan rekomendasi krusial itu akibat kooptasi yang sudah terbangun jauh sebelumnya, maka rakyat secara ekstra parlementer terdorong untuk melakukan mobilisasi massif. Di sinilah detik-detik prahara nasional akan muncul. Bukan hanya di tengah Jakarta, tapi imbas demonstratifnya akan meluas ke berbagai daerah. Juga, implikasinya tidak hanya sektor politik itu sendiri, tapi sektor ekonomi dan sosial akan menjadi bagian yang tak terpisahkan.

Sebagai anak bangsa tentu tidak menginginkan prahara itu, yang pasti akan mendegradasikan keberadaan Indonesia, sebagai negara atau rakyatnya. Karena itu, terkait pilkada Jakarta ini, tak ada kata lain, kecuali proses dan mekanismenya haruslah jujur, transparan dan adil. Inilah solusi dasar untuk mencegah tragedi nasional di Tanah Air ini.

Jika, kerangka solusi itu diabaikan, maka mereka sejatinya bukanlah pihak yang mencintai negeri ini. Bohong besar cinta NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Mereka secara intrinsik memang bertekad menghancurkan bangsa dan negara ini. Dengan proses penghancuran ini, maka kekuatan asing yang sudah dipersiapkan secara militeristik dan finansial secara ofensif akan mudah menguasai negeri ini. Terjadilan kondisi baru: neokolonialisasi. Lalu, terbayanglah, Pancasila akan sirna di negeri tercinta ini dan terganti dengan ideologi baru yang bisa jadi berubah menjadi komunis, minimal, atheis. Jika hal ini terjadi, maka masyarakat agamis dan nasionalis tinggal menunggu nyawa yang siap dipenggal secara massif.

Itulah skenarionya? Bukan tak mungkin. Tapi, sebaik-baik skanario adalah sekanario Allah (Q.S Ali Imron: 54), yang tak mungkin tertandingi oleh skenario manusia. Meski demikian, tugas umat manusia adalah ikhtiar (berjuang) agar skenario destruktif manusia tidak terjadi di balahan negeri ini. Semoga.(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Ahlan Wa Sahlan Prabowo Sang Rajawali!

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Rabu, 24 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Prabowo Subianto sah sebagai Presiden RI ke delapan. Itu adalah takdir Prabowo yang biasa dipanggil 08 oleh koleganya. Keputusan MK ...
Opini

Jalan Itu Tidaklah Sunyi

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --"Jika Mamah jadi penguasa apakah Mamah akan menjadikan anak Mamah pejabat saat Mama berkuasa?" Itu pertanyaan anakku malam ini. Aku mendengarkan anakku ini. ...