Sangat menarik klarifikasi dari Mendari (Tjahjo Kumolo/TK) dan juga Dirjen Otda (Soni Sumarsono) di hadapan pimpinan Ombudsman tadi pagi (16/2/2017) di kantor Ombudsman, Jakarta. Mendagri TK memang perlu saya apresiasi tinggi karena disamping selalu sangat responsif terhadap undangan Ombudsman, juga kali ini dengan lugas klarifikasi langsung terkait status Ahok yang kembali aktif sebagai Gubernur DKI Jakarta, status mana hari-hati ini sangat kontroversial.
Mendagri TK menyatakan bahwa belum dinon-aktifkannya Ahok lantaran: (1) masih adanya dua pandangan hukum terhadap status Ahok terkait dakwaan lama hukuman 'minimal 5 tahun' sesuai UU Nomor 23 psl 83 ayat 1 itu, dan (2) konfirmasi dengan lembaga peradilan yang ternyata dianggap juga masih mendua, yakni dakwaan bisa 5 tahun, dan bisa juga kurang dari 5 tahun.
Pada saat sama, sikap Mendagri hingga saat ini juga ternyata dipengaruhi oleh nasehat Karo Hukumnya yang mengingatkan Mendagri agar tak tergesa-gesa menonaktifkan kart ada pengalaman yang pernah langsung non-aktifkan seorg kepala daerah yang tertangkap narkoba, di mana yang bersangkutan menggugat putusan Mendagri dan ternyata menang di pengadilan baik di tingkat PN maupun di tingkat banding. Jadi rupanya TK merasa trauma atas diskresi terhadap seorang narapidana.
Namun demikian, agaknya TK masih terus memantau perkembangan dan memperoleh masukan dari berbagai pihak termasuk dari Ombudsman. Yang lebih menarik lagi, ketika Dirjen Otda menambahkan satu hal yang sangat saya tak duga. Yakni, pernyataan Mendagri tanggal 16 Desember 2016 bahwa setelah masa cuti berakhir Ahok langsung akan dinon-aktifkan, itu dinyatakan saat Ahok masih nonaktif. Lalu, setelah aktif kembalilah kemudian akan dipertimbangkan untuk dinonaktifkan. Ini artinya, pihak Kemendagri masih mencari momentum tepat untuk ambil sikap dan kebijakan penonaktifan Ahok dari jabatan Gubernur DKI Jakarta.
Ombudsman memang harus mengingatkan Presiden Jokowi (termasuk melalui Mendagri) tentang status Ahok ini dalam upaya menjalankan kewajiban hukum atau memberi contoh patuh pada hukum dan tak boleh pilih kasih.
Pertama, syarat formil sesuai rujukan UU, sudah terpenuhi. Ketika dianggap masih diperdebatkan, maka sama halnya dengan cari-cari alasan untuk tetap memposisikan sang penista agama di kursi kekuasaan.
Kedua, secara sosiologis, sikap Ahok sudah menciptakan keterbelahan dalam masyarakat bangsa, menciptakan kegaduhan dengan korban materi baik dari pihak masyarakat maupun uang negara. Betapa tidak.
Secara nyata saja demo besaran sebagai ekspresi protes publik muslim terhadap Ahok sudah 3 kali, di mana masyarakat harus rela dan suka rela mengeluarkan biaya dari kantong sendiri.
Begitu juga uang dari pemerintah, niscaya tak sdikit jumlahnya untuk biaya aparat (misalnya) dalam upaya "membela Ahok" baik dalam beberapa kali demo damai jutaan massa itu maupun menjaga instabilitas lainnya sebagai dampak dari sikap dan atau penistaan agama oleh Ahok.
Ketiga, dalam kaitan dengan pelayanan publik, niscaya akan berpengaruh dari statusnya sebagai terdakwa. Ahok, dan ini biasanya dialami oleh manusia normal, pastilah tak akan fokus dalam jalankan tugasnya, dan bukan mustahil pula akan emosional dalam ambil kebijakan termasuk bersikap sentimentil terhadap kelompok masyarakat atau bahkan aparatnya yang diketahuinya tak memilihnya dalam pilgub 15 Februari 2017 kemarin.
Ombudsman, memang, sudah menerima laporan pengaduan dari masyarakat terkait kembalinya Ahok pada jabatannya itu. Ya..semua ini akan terus jadi perhatian khusus bagi Ombudsman dan khusus saya.(*)
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #