Opini
Oleh Agus Wahid (Peneliti Lembaga Garuda Indonesia) pada hari Sabtu, 18 Feb 2017 - 19:49:41 WIB
Bagikan Berita ini :

RUU Pemilu dan Positioning DPD

99IMG-20160613-WA0008_1465797416811.jpg
Agus Wahid (Peneliti Lembaga Garuda Indonesia) (Sumber foto : Istimewa )

Berusaha melakukan kompilasi terhadap beberapa UU Pemilu terdahulu dan berusaha komprehensif. Itulah yang mendorong Rancangan Undang-Undang (RUU Pemilu) yang kini masih digodog serius. Arahnya, agar tidak terjadi tambal-sulam lagi seperti yang dilakukan selama ini: setiap jelang pemilu, terjadi revisi. Dan ini memaksa Komisi Pemilihan Umum (KPU) sering diperhadapkan masa kritis untuk penyelenggaraan pemilu akibat UU Pemilu teranyarnya dinilai baru rampung.

Cukup ideal ikhtiarnya. Tapi, tak bisa dipungkiri, upaya kompilatif itu bukan hanya menelan waktu cukup lama, tapi energi yang luar biasa. Hal ini tak lepas dari tarik-menarik kepentingan partai yang diwakilinya di parlemen. Fraksi-fraksi yang ada sebagai perpanjangan partai akan selalu kukuh sikap politiknya untuk dan atas nama kepentingan sempitnya, bukan demi bangsa dan negara.

Dalam hal ini, ada beberapa isu strategis yang dapat kita soroti tajam dari RUU Pemilu yang masih alot itu, di antaranya, ambang batas parlemen (parliementary threshold atau PT) untuk DPR RI, kuota perempuan dan sistem proporsional terbuka-terbatas.

Seperti kita ketahui, pemilu 1999 dan 2004, tak dikenal PT. Jadi, meski hanya satu kursi perolehan suaranya, ia berhak masuk ke kandang DPR RI. Dan pada pemilu 2009, dikenakan PT 2,5%. Pemilu 2014 naik lagi PT-nya: menjadi 3,5%. Kini, untuk pemilu 2019 melalui RUU Pemilu sejumlah partai besar seperti Golkar dan PDIP bahkan Partai NasDem terus berusaha menaikkan PT-nya: antara 10 15%, meski kemungkinannya akan mentok di angka antara 5 - 7,5%.

Dapat dipahami arah politiknya: meminimalkan jumlah fraksi di DPR RI. Untuk mengurangi potensi kegaduhan politik di parlemen. Hal ini berandil positif untuk mengefektifkan sekaligus memperkuat sistem presidential. Yang menjadi persoalan, apakah pembonsaian jumlah fraksi ini menjamin serapan aspirasi rakyat secara menyeluruh? Tentu tidak. Rakyat yang mempercayakan aspirasinya kepada partai tertentu selain partai-partai pengusul PT tinggi itu kemungkinan hangus akibat partai pilihannya tidak lolos PT.

Maka, prosentase PT tinggi dapat dinilai mengeberi hak-hak rakyat dan atau demokrasi. Karena itu, partai-partai menengah dengan alasan tidak demokratis mereka keberatan dengan PT tinggi. Bahkan, seperti Partai Hanura lebih cenderung untuk menghilangkan PT. Sebagai partai terkecil kursinya di parlemen (16 kursi), ia sudah dibayang-bayangi akan sirna dari panggung Senayan jika PT-nya lebih dari 3,5%. Jika tetap bertahan pada PT sekarang pun, Hanura sudah terbayangi kemungkinan tak lolos lagi ke parlemen. Bahkan, partai menengah lainnya juga dibayang-bayangi tidak lolos PT, meski di antara mereka punya basis massa primordial seperti PKB dan PAN.

Pendek kata, persoalan PT tak mudah dicapai, apalagi jika dinilai tinggi prosentasenya. Dan hal ini praktis akan memolorkan jadwal persetujuan RUU Pemilu menjadi UU. Pemolorannya akan menambah lama lagi sejalan dengan tuntutan keadilan kaum politik perempuan. Bukan persoalan jumlah kuotanya, tapi masalah sistem kontestasinya. Selama UU Pemilu masih belum mengubah format pertarungan politiknya secara diemateral dibiarkan lelaki verus perempuan maka kuota perempuan tak pernah terpenuhi. Pada 2009, kuota perempuan hanya terisi 18,2%. Pada pemilu 2014 menurun: menjadi 17,3%. Padahal, pada pemilu 2009, kandidat perempuan yang mencalonkan diri mencapai 33,6%, sedangkan pada pemilu 2014 naik: menjadi 37%.

Maka, atas nama keadilan, RUU Pemilu kali ini harus mengubah pola pertarungannya: haruslah perempuan versus perempuan. Dengan pola baru pertarungan ini, pasti kuota perempuan terisi. Ekspektasi inilah yang juga tidak mudah dicapai titik temunya. Sebab, kuota khusus perempuan itu juga berpengaruh pada kuota lelaki, yakni mereka memperebutkan kuota 70% yang ada. Pembatasan jatah ini pun di mata kandidat pria dinilai tidak adil. Perbedaan persepsi atau cara pandang ini jelas menyedot energi dan waktu tersediri. Implikasinya RUU Pemilu tak kunjung selesai.

Sekali lagi, pembahasan RUU Pemilu berpotensi akan menambah molor lagi sejalan dengan keinginan sebagian fraksi untuk kembali ke proporsional tertutup, meski dengan nama tersamar, yakni sistem proporsional terbuka-terbatas. Logikanya rasional. Fakta di lapangan menunjukkan, sistem proporsional terbuka telah mendorong persaingan vulgar dan sangat tidak sehat antar-kontestan separtai, apalagi antarpartai. Implikasinya sungguh memprihatinkakan. Yaitu, terbentuk mentalitas pragmatis di tengah publik konstituen. Wani piro itulah sikap politik masyarakat ketika diajak untuk memilih kandidat wakil rakyat.

Mereka tidak mau mempedulikan jatidiri sosok yang dipilihnya, terkait moralitas, integritas, kapabilitas dan akuntabilitasnya. Bahkan, tak mau tahu apa program yang akan diperjuangkan di parlemen. Bagi mereka, track record sang kandidat tidak pernah terlintas untuk dijadikan bahan pertimbangan khusus ketika akan memilih. Yang terlintas secara dominan adalah siapa saja kandidat yang mengobralkan amunisinya untuk para pemilih dan berapa banyak nilai rupiahnya.

Secara mental, sikap pragmatis itu mencerminkan kualitas degradasi para konstituen. Hanya berfikir sesaat, tanpa mencerna dampak kontigionnya untuk lima tahun ke depan. Sementara, satu suara pun sesungguhnya ikut menentukan nasib bangsa dan negara ke depan. Karena memilih kandidat yang salah atau tidak memenuhi kriteria ideal sebagai wakil rakyat, hal ini sesungguhnya menjadi faktor destruktif bagi kita semua, sebagai rakyat (bangsa) dan atau negara. Inilah yang tidak disadari. Nilai hanya sekitar Rp 50.000,- atau lebih justru memasung cita-cita ideal akibat salah pilihnya.

Sadarkah para pemilih atas kekeliruannya? Tidak, apalagi di level grass-root. Mereka secara edukatif jauh di bawah standar kecerdasan, yang tidak mampu memahami program. Juga secara ekonomi mereka jauh di bawah level sejahtera. Karenanya, seberapa kecil rupiah yang ditawarkan pasti akan diterima dengan penuh antusias. Dan, dua faktor itu yakni keterbatasan pendidikan dan kesejahteraan menjadi faktor mudahnya pemilih untuk tergiring kepada kandidat yang obral duit itu, tanpa menilai kritis bagaimana kualitas jatidirinya, programnya, apalagi track recordnya. Baginya, duit yang diterima itu segalanya. Mereka tak peduli akan terjadi pemasungan kepentingan atau haknya selama lima tahun ke depan.

Panorama sosial itu jelaslah mengantarkan sejumlah kandidat yang mau tak mau harus berduit. Menukil riset Pramono Anung untuk disertasinya, kandidat yang akan masuk parlemen (DPR RI), rata-rata keluarkan dana sekitar Rp 6 milyar, meski ada jauh di bawah itu. Catatan ini menimbulkan kesimpulan, kandidat manapun yang tidak berduit sebesar itu, ia tak punya harapan untuk sampai ke parlemen, sekalipun ia berkualitas secara ilmu, mentalitas, integritas dan dedikasi yang semua menunjang untuk sebuah kinerjan Dewan. Kesimpulan itu juga menimbulkan kesimpulan lain: sistem proporsional terbuka telah menutup pintu bagi kandidat yang memenuhi kriteria ideal sebagai wakil rakyat. Dan hal ini jelaslah sebuah kerugian besar bagi kepentingan bangsa dan negara.

Lebih merugikan lagi ketika sejumlah kandidat yang terpipih itu kemudian abai terhadap janji politiknya. Ia lebih mengedepankan prinsip bagaimana segera mengembalikan biaya politiknya, bahkan lebih dari itu: pundi-pundinya harus terisi luber. Inilah yang kita saksikan pada panorama sejumlah anggota Dewan yang menyalahgunakan wewenangnya untuk memperkaya diri, secara individual ataupun kelompok. Dan itulah yang kita saksikan, mengapa sejumlah anggota Dewan saat ini terpaksa harus menjalani proses hukum dan di antaranya harus mesantren.

Ketika prinsip dagangnya terartikulasi lebih riil, maka praktis sikap politik pro rakyatnya akan mengikis. Setidaknya, patriotismenya sebagai wakil rakyat hanya pencitraan, tanpa kerja konkret. Sebuah renungan, salahkah para anggota Dewan abai terhadap janji politiknya? Secara moral memang salah. Tapi, secara ekonomis, bisa diperdebatkan. Mereka menilai, ketidakmaksimalan sikapnya terhadap pro rakyat karena dirinya telah membayar atau memenuhi sejumlah keinginan konstituen ketika maju ke parlemen. Inilah alibi yang membuat dirinya punya alasan mendasar bahwa rakyat tidak sepatutnya menuntut kinerja anggota Dewan.

Sekali lagi, komitmen moral anggota Dewan itu masih debatable. Masing-masing selaku rakyat dan wakilnya punya landasan jastifikasi. Dan untuk mengembalikan moralitas anggota Dewan, terpaksa harus mencari akar persoalannya. Dalam hal ini, sistem proporsional terbuka pada akhirnya harus disoroti lagi. Penyorotan itu juga menjadi relevan sejalan dengan munculnya pemikiran kuat bahwa sistem demokrasi saat ini terkait pemilu legislatif hanya milik kalangan berduit. Jika hal ini menyelimuti sebagian besar masyarakat berilmu, maka mereka menjadi antipati terhadap partisipasi politik.

Jika hal ini terjadi, implikasinya jauh lebih destruktif bagi kepentingan bangsa dan negara. Keberadaan mereka yang hanya di luar sistem, maksimal hanya menjadi faktor penekan: sebagai presure group. Meski keberadaan dan peran kelompok penekan ini juga powerful, tapi yang jauh bisa diharapkan adalah keberadaan yang berada di dalam sistem. Ketika berada di dalam sistem, ia atau mereka bisa berbuat banyak untuk melakukan perubahan seperti yang dikehendaki rakyat. Di sinilah urgensinya masuk dalam sistem. Dan di situ pula urgensinya kalangan yang memenuhi standar ideal sebagai wakil rakyat bisa masuk ke parlemen.

Di sisi lain, potret sistem pemilu yang telah berjalan pada pemilu 2009 dan 2014 perlu kita review. Seperti yang kita saksikan, para pihak yang sudah sekian lama mendedikasikan diri pada partai politik dan sudah menjadi pilihan hidupnya, tapi ketika harus maju ke parlemen, ia mudah tersingkir oleh pendatang baru karena memiliki keunggulan komparatif-kompetitif seperti financing dan atau basis massa.

Mencermati sejumlah potret kelam sistem proporsional terbuka tersebut, maka layak kita pertimbangkan pemikiran lama dalam sistem pemilu, yaitu memilih gambar partai politik, bukan kandidatnya. Yang akan tampil di lembaga perlemen adalah urutan teratas dari partai politik yang telah ditentukan. Meski demikian, siapapun yang memperoleh suara sesuai jumlah ambang batas menurut UU, ia berhak manggung, sekalipun ia ada di nomor urut bawah. Inilah sistem proporsional terbuka-terbatas.

Sebuah renungan, apakah semua partai politik sepakat dengan pemikiran sistem proporional terbuka-terbatas? Belum tentu, apalagi bagi partai-partai kecil yang masih belum mengakar kuat. Namun demikian, jika yang ditatap lebih jauh masalah kepentingan yang jauh lebih besar (bangsa dan negara), maka sistem proporsional terbuka-terbatas menjadi opsi yang layak kita diperjuangkan. Menjadi sangat relevan ketika perjuangannya dikaitkan dengan penguatan sistem presidensial.

Kita perlu mengaris-bawahi bahwa sistem proporsional terbuka-terbatas merupakan opsi solusi konstruktif atas implikasi output politik yang kelam itu. Namun demikian, seluruh elemen partai politik tentu punya perbedaan cara pandang. Perlu dicari titik tengah, yang perlahan tapi pasti mengarah pada perubahan besar sistem ketatanegaraan kita. Namun demikian, komitmen proproporsional terbuka-terbatas juga dinilai tidak menguntungkan bagi sejumlah partai menangah ke bawah. Partai-partai ini sejalan dengan belum begitu kuat akarnya berpotensi akan mengurangi tingkat keminatannya ikut kontestasi politik menuju parlemen. Sepi peminat akan menjadi konsekensi logis bagi partai menengah, khususnya. Reaksi ini akan membuat keberadaan partai politik, bukan hanya sulit berkembang, tapi juga stagnan bahkan cenderung terjun bebas. Inilah yang mendorong sifat terbatas masih menjadi tarik-menarik yang cukup kuat, terutama bagi partai-partai yang terkategori menegah.

Implikasinya, akan semakin banyak kader-kader baru masuk ke partai-partai prospektif, termasuk kutu loncat. Namun di sisi lain akan kian mengkristal budaya baru politik publik: pragmatisme (wani piro). Dan hal ini secara alami akan mendegradasikan minat elemen masyarakat yang sejatinya berintegritas, kapabel dan full committed to pablic intetest. Rugi Besar bagi kepentingan bangsa-negara. Tapi, inilah indahnya tarik-menarik dalam kancah politik antara kalkulasi idealitik vesus pragmatisme, yang akhirnya kekuatan barisan pragmatis akan lebih mengemuka dan tampil sebagai sang pemenang.

Ada plus-minus ketika tetap mengambil sikap proporsioal-terbuka dalam sistem pemilu itu. Tapi, itulah urgensinya para anggota parlemen perlu mengkaji ulang (review) atas RUU Pemilu, yang tentu harus bisa menjawab kebutuhan yang relatif merangkul kedua aspek mendasar antara idealisme dan pragmatisme itu. Arahnya jelas: demokrasi kian berkualitas, tapi masyarakat pemilihnya pun kian cerdas (mampu menghadirkan calon wakil rakyat yang berintegritas dan kapabel), tidak tergiur dengan recehan rupiah yang sejatinya pasti akan mendegradasikan kepentingan bangsa dan negara tercinta ini.

Positioning DPD RI
Kondisi tarik-menarik di tengah DPR RI sejatinya bisa berimplikasi positif-konstruktif bagi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Lembaga ini bisa menjadi alternatif pengabdian bagi para pihak yang senantiasa terpanggil untuk mengartikulasikan kepentingan rakyat. Artikulasi politiknya tidak kalah meaningfullnya dibanding DPR RI, ditinjau dari sisi konstitusi atau statusnya sebagai pejabat negara.

Sementara, DPD yang tidak mengenal sistem PT dan tak terjerat sistem proporsional terbuka ataupun terbuka-tertutup, hal ini juga bisa menjadi faktor penguat untuk lebih melirik DPD. Pendek kata, DPD bisa menjadi lembaga penyaluran ghirah atau obsesi politik untuk kepentingan publik, meski pintunya melalui daerah. Justru, DPD punya kewajiban moral dan konstitusional bagaimana mengawal daerah agar lebih mengefektifkan roda pemerintahannya demi kemajuan wilayah dan ternikmati rakyatnya.

Sejauh ini, pemerintahan daerah punya link khusus dengan pemerintah pusat. Setiap tahunnya, masing-masing harus menyampaikan proposal pembangunannya, di samping pertanggungjawabannya. Seluruh proposal itu pada akhirnya dibahas antara Pemerintah Pusat dan DPR. Dalam hal ini, DPD sesuai amanat fungsional konstitusi juga terlibat prosesnya secara proaktif, meski ada sejumlah keterbatasan kewenangan sesuai dengan ketentuan MD3. Namun demikian, sesuai amanat Mahkamah Konstitusi (Keputusan MK No. 79/PUU-XII/2014, terutama Pasal 250 Ayat 1 UU MD3 sebagaimana yang dimaksud Pasal 249), DPD punya kewenangan untuk menolak seluruh produk UU versi DPR ataupun Pemerintah jika tanpa persetujuan DPD. Seluruh produk UU menjadi tidak berlaku tanpa tanda tangan pimpinan DPD. Inilah keberadaan DPD yang perlu diketahui publik, terutama Pemerintah Daerah, sehingga akan muncul kepentingan untuk menggandeng atau selalu bersama DPD, di samping DPR.

Mencermati keberadaan dan fungsi DPD dan di sisi lain terdapat perbedaan tantangan politiknya menuju parlemen, maka DPD RI bisa dilirik lebih jauh sebagai ajang perjuangan. Jika hal ini menjadi pengetahuan dan kesadaran para calon politisi, maka DPD RI akan meningkat positioningnya di mata publik. Akan semakin meningkat lagi jika kinerjanya mampu menyalip kinerja DPR. Minimal, integritas dan moralnya, dedikasi dan kapabilitasnya yang akan membuat posisi tawarnya lebih kuat dibanding DPR di mata publik. Jika secara komparatif kita saksikan bagaimana keseimbangan posisi politik lembaga kongres dan senat seperti yang terjadi di Amerika Serikat, maka citra DPD bukan hanya positif, tapi lebih bercahaya, bahkan menjadi tumpuan aspirasi publik. Salah satu hikmah yang bisa dipetik dari peningkatkan positioning DPD adalah meningkatnya citra lembaga parlemen. Citra buruk DPR RI yang selama ini sudah terbentuk relatif akan tertutupi kinerja terbaik DPD.

Akhirnya, RUU Pemilu bisa menjadi faktor untuk menggiring kesadaran publik bahwa keberadaan DPD bukan hanya menjadi alternatif pengabdian, tapi publik juga bisa berharap atas kinerjanya untuk secara fungsional membangun kepentingan daerah, yang tentu menjangkau penduduknya. Yang menjadi tantangan, mampukah setidaknya adakah kesadaran dari elemen DPD yang kini masih aktif untuk mensosialisasikan keberadaan lembaga politiknya? Tanpa harus mendegradasikan saudara tuanya, tapi DPD melalui RUU Pemilu yang masih dibahas ini punya celah untuk membuka pengetahuan dan kesadaran publik untuk melihat jatidiri DPD RI. Inilah transformasi yang sungguh berharga. Diperlukan komunikasi publik yang produktif, di samping aksi (kerja nyata) para senator.(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
AMIN BANNER 01
advertisement
AMIN BANNER 02
advertisement
AMIN BANNER 03
advertisement
AMIN BANNER 04
advertisement
AMIN BANNER 06
advertisement
AMIN BANNER 08
advertisement
Opini Lainnya
Opini

In Prabowo We Trust" dan Nasib Bangsa Ke Depan

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Kamis, 28 Mar 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya kemarin di acara berbuka puasa bersama, "Partai Demokrat bersama Presiden Terpilih", tanpa Gibran hadir, kemarin, ...
Opini

MK Segera saja Bertaubat, Bela Rakyat atau Bubar jalan

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi (MK) segera bertaubat. Mumpung ini bulan Ramadhan. Segera mensucikan diri dari putusan-putusan nya yang menciderai keadilan masyarakat.  Di ...