JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) – Anggota Komisi VII DPR Rofi Munawar meminta pemerintah tegas dalam menegakkan aturan tentang renegoisasi kontrak dengan perusahaan pemegang Kontrak Karya (KK), salah satunya terhadap PT Freeport Indonesia. Rofi menilai, polemik Freeport mencuat karena kebijakan pemerintah mudah berubah.
"Pemerintah selama ini cenderung lunak terhadap berbagai kewajiban yang telah diamanatkan UU Minerba terhadap perusahaan kontrak karya. Hal ini dapat dilihat dari berbagai aturan relaksasi yang dikeluarkan pemerintah sejak UU No 4/2009 ini disahkan. Ini menandakan pemerintah tidak serius menjalankan aturan yang telah dibuat. Akibatnya, polemik dengan PT Freeport Indonesia (PT FI) terus terjadi karena arah kebijakan pemerintah yang berubah-ubah dan tidak transparan. Salah satu contohnya adalah proses monitoring pembangunan smelter yang tidak dikendalikan oleh pemerintah dan tidak dijalankan dengan serius oleh PT FI," papar Rofi kepada TeropongSenayan di Jakarta, Kamis (23/2/2017).
Politisi PKS ini menilai, sikap pemerintah dalam menegakan UU Minerba harus konsisten dan selaras dengan semangat pengelolaan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Di sisi lain, pemerintah juga harus memastikan, proses pengembangan sumber daya alam yang ada melibatkan tenaga kerja lokal dan memberikan manfaat yang besar bagi industri nasional.
Sementara itu, kepada perusahaan kontrak karya (KK), Rofi meminta harus memiliki komitmen tinggi dalam melaksanakan peraturan dan road map yang jelas dalam renegoisasi kontrak.
"Proses renegoisasi kontrak karya antara pemerintah dengan PT Freeport Indonesia harus dilakukan secara transparan, sehingga ada kejelasan iklim investasi, keberlangsungan produksi, peningkatan pembelian barang dan jasa. Ada baiknya, kedua pihak berkomunikasi dan mendorong ruang publik untuk memonitoring setiap perubahan yang terjadi dalam koridor hukum yang berlaku," paparnya.
Sebagai informasi, pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah No 1/2017 menawarkan kepada semua pemegang Kontrak Karya yang belum melakukan hilirisasi (membangun smelter) untuk mengubah Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khsus (IUPK). Sesuai Pasal 102-103 UU No 4/2009, perusahaan akan tetap mendapat izin melakukan ekspor konsentrat dalam jangka waktu lima tahun sejak PP No 1/2017 diterbitkan. Namun tetap diwajibkan membangun smelter dalam jangka waktu lima tahun.
Progres pembangunan smelter akan diverifikasi oleh verifikator independen setiap enam bulan. Jika progres tidak mencapai minimal 90% dari rencana maka rekomendasi ekspor akan dicabut.
Pemerintah memberikan batas waktu untuk PT FI memikirkan hal-hal ini selama enam bulan sejak izin ekspor diberikan, yakni sejak Jumat (17/2/2017), sembari menyesuaikan aturan dengan UU yang ada. Namun, PT FI tetap bersikeras mempersingkat masa berpikir ulang terhadap seluruh aturan pemerintah dan memberi waktu kepada pemerintah untuk mempertimbangkan keberatan PT FI selama 120 hari.(plt)