JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Anggota Komisi VII DPR Farid Al Fauzi menyayangkan pihak PT Freeport yang kaku dalam merespons upaya negosiasi ulang yang ditawarkan pemerintah.
Seharusnya, kata Farid, Freeport sebagai pihak yang berkepentingan di Indonesia dapat menunjukkan sikap yang lebih terbuka.
"Kurang apalagi coba pemerintah, Presiden Jokowi sudah memberikan sinyal untuk berunding. Seharusnya, Freeport cerdas dan tanggap atas keeterbukaan presiden. Hingga saat ini, Freeport belum juga menunjukkan inisiatifnya untuk mencari win win solution bagi dua pihak. Malah mengancam mau menggiring ke arbitrase internasional," ujar Farid Al Fauzi saat dihubungi, Jumat (24/2/2017).
Politisi Partai Hanura itu melanjutkan, kebijakan perubahan status kerjasama bisnis dari Kontrak Karya (KK) menjadi Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang diajukan pemerintah terhadap Freeport merupakan tawaran yang logis.
Sebab, pemerintah memiliki tanggung jawab yang membawahi kepentingan nasional serta amanat konstitusi. Dalam hal ini, Freeport sebagai mitra bisnis yang sudah lama dengan pemerintah memperlihatkan sikap yang tidak akomodatif. Apalagi mengancam pemerintah mau membawa ke arbitrase internasional.
"Saya mendukung pernyataan presiden yang akan mengambil sikap tegas jika Freeport tidak mau beunding. Dan saya pikir, DPR utamanya Komisi VII akan mendukung pemerintah," ungkapnya.
Sebelumnya, presiden Joko Widodo menyampaikan akan mengambil sikap terkait negosiasi antara PT Freeport Indonesia dengan Pemerintah Indonesia.
"Kalau memang (Freeport) sulit diajak musyawarahn sulit diajak berunding, saya akan bersikap," tandas Jokowi, Kamis (23/2/2017).
Seperti diketahui, Pemerintah telah mengumumkan perubahan status operasi Freeport dari status KK menjadi status Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) pada 10 Februari lalu.
Perbedaan kedua status operasi tersebut adalah posisi negara dengan perusahaan dalam KK setara, sedangkan dalam IUPK posisi negara yang diwakili pemerintah lebih tinggi selaku pemberi izin.
Dalam IUPK, skema perpajakan bersifat prevailing atau menyesuaikan aturan yang berlaku. Perusahaan juga dikenai kewajiban melepas sahamnya sedikitnya 51 persen kepada Pemerintah Indonesia atau swasta nasional. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017, hanya perusahaan pemegang IUPK yang bisa mengekspor konsentrat.(yn)