Opini
Oleh Asyari Usman (Mantan Wartawan BBC) pada hari Minggu, 12 Mar 2017 - 18:31:19 WIB
Bagikan Berita ini :

PDIP dan e-KTP : Harakiri atau Dipecat

25IMG_20170201_194211.jpg
Asyari Usman (Mantan Wartawan BBC) (Sumber foto : Istimewa )

Hari-hari ini, PDI-Perjuangan sedang berjuang menghadapi masalah yang sangat serius. Empat kader senior partai terbesar itu terimplikasi dalam kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP. Dakwaan jaksa KPK dalam persidangan kasus ini dengan terdakwa dua mantan pejabat tinggi Kemendagri, yaitu Irman dan Sugiharto, menyebutkan bahwa Yasonna Laoly (Menkumham), Ganjar Pranowo (gubernur Jawa Tengah), Olly Dondokambey (gubernur Sulawesi Utara), dan Arif wibowo, ikut menerima aliran dana untuk memuluskan pembahasan proyek itu di DPR semasa mereka duduk di lembaga wakil rakyat pada tahun 2009.

Sesuai prinsip hukum, semua orang haruslah melihat keempat kader PDIP ini dalam bingkai praduga tak bersalah. Akan tetapi, sangat logis kalau mekanisme internal partai melakukan berbagai langkah guna mempertahankan stabilitas hubungan PDIP dengan massa pendukungnya. Akan halnya hubungan dengan media massa, terutama stasiun-stasiun TV besar, kelihatannya PDIP bisa lega karena mereka itu semua "teman akrab" partai. Mereka itu akan selalu positif terhadap PDIP, dan Bu Mega.

Namun demikian, "perjuangan" PDI-Perjuangan untuk membersihkan namanya dari impkikasi dakwaan jaksa KPK tadi, tidaklah ringan. Masalah berat ini boleh jadi membuat pemimpin PDIP, Ibu Megawati Soekarnoputri, tidak bisa tidur nyenyak. Kasus ini pantas membuat para petinggi partai sibuk membicarakan jalan keluar yang terbaik. Pantas juga menyulut kemarahan di kalangan kader-kader muda yang berusaha menegakkan slogan PDIP sebagai partai pembela rakyat kecil, bersih, bebas korupsi.

Kalau kita majukan pembahasan ini selangkah, tentulah semua mata tertuju pada Bu Mega. Karena beliaulah yang memegang otoritas tertinggi di partai. Jalan keluar yang sedang diolah, pada akhirnya bisa diiyakan atau ditidakkan oleh beliau. Pada saat bersamaan, pimpinan partai harus segera bertindak untuk membatasi kerusakan.

Orang luar seperti kita ini paling-paling hanya bisa berkomentar. Kita hanya bisa mengatakan bahwa keempat kader senior yang kini menghadapi masalah itu, sekarang menjadi "beban" yang memberatkan PDIP. Khlayak umum tidak akan peduli dengan asas praduga tak bersalah. Bagi mereka, keempatnya "telah" melakukan korupsi. Apalagi implikasi (tuduhan) itu datang dari jaksa KPK, khalayak langsung percaya.

Seorang kader PDIP mengatakan, keempat figur penting yang disebut-sebut menerima aliran dana proyek e-KTP itu sudah "diperiksa"oleh partai. Intinya, pimpinan partai belum yakin mereka terlibat. Arteria Dahlan, politisi Banteng, mengatakan keempat kader itu dianjurkan untuk melaporkan Irman dan Sugiharto ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik, seperti yang dilakukan mantan ketua DPR, Marzuki Alie, yang juga terseret e-KTP.

Bisa dimengerti mengapa PDIP mengambil strategi ulur waktu ini. Mereka tidak menduga nama-nama besar itu terbabit. "Bencana" ini datang bagaikan tsunami tanpa peringatan dini. Terperanjat melihat nama-nama korban. Empat "jenderal" cerdas!

Sayangnya, para jenderal ini bukan sedang berjuang di medan tempur. Tetapi bagaikan tertangkap kamera wartawan di tempat tak baik.
Sangat memalukan. Aib besar. Pemberitaan faktual dan gosip-gosipnya beredar luas, tidak mudah untuk dijinakkan.

Bu Mega dan para letnannya tidak punya banyak waktu. Seiring detak jam, persoalan ini pun akan semakin ruwet. Upaya untuk memulihkan nama baik keempat kader itu dengan cara mempolisikan Irman dan Sugiharto, bisa berefek bumerang. Khalayak akan menilai pimpinan PDIP melindungi dan mempertahankan orang-orang yang merugikan negara.

Solusi yang terbaik, seperti diusulkan para pakar politik, adalah aksi patriotisme keempat jenderal itu untuk mencopot sendiri tanda pangkat mereka. Artinya, melakukan "harakiri politik" lebih terhormat, dan lebih cantik, bagi PDIP ketimbang panglima tertinggi partai mengeluarkan perintah "tembak" alias pemecatan.

Drama empat kader senior ini sebaiknya tidak dibiarkan menjadi "cerita bersambung" yang akan ditonton setiap hari selama berminggu-minggu oleh khalayak. Semua ini mutlak berada di tangan Bu Megawati.(*)

(Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis, tidak ada kaitannya dengan BBC).

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Ahlan Wa Sahlan Prabowo Sang Rajawali!

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Rabu, 24 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Prabowo Subianto sah sebagai Presiden RI ke delapan. Itu adalah takdir Prabowo yang biasa dipanggil 08 oleh koleganya. Keputusan MK ...
Opini

Jalan Itu Tidaklah Sunyi

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --"Jika Mamah jadi penguasa apakah Mamah akan menjadikan anak Mamah pejabat saat Mama berkuasa?" Itu pertanyaan anakku malam ini. Aku mendengarkan anakku ini. ...