Opini
Oleh Djoko Edhi Abdurrahman (Mantan Anggota Komisi III DPR) pada hari Senin, 13 Mar 2017 - 13:11:58 WIB
Bagikan Berita ini :

Hati-hati Bro, KPK Cuma Punya Narasi Korupsi E-KTP

23SAVE_20160822_125409.jpg
Djoko Edhi Abdurrahman (Mantan Anggota Komisi III DPR) (Sumber foto : Ilustrasi oleh Kuat Santoso )

Mulai brebet. Sejak kapan Bareskrim menggunakan dalil Lex Specialis seperti dikemukakan Mantan Wakil Ketua KPK Pandu Praja. Kalau menggunakan dalil itu, pimpinan KPK dulu tak bisa disel oleh Jenderal Buwas.

Tabrak saja Pak Tito, sebab next menyusul korps kepolisian. Bahaya itu. Saya baca surat Anas Urbaningrum, juga menolak anggapan BAP KPK bahwa ia menerima duit korupsi E-KTP itu.

Teguh Juarno juga. Setnov malah duluan menolak. Ahok menolak. Seharusnya semua Anggota Komisi II melapor ke Bareskrim, Komnas HAM, Ombudsman, dan PMH (onrechtmatige daad). Seperti kata Pandu, Marzuki Alie menerima duit yang dituduhkan BAP. Tapi berani tidak, Pandu jadi saksi dan menyodorkan bukti, bukan narasi?

Bukti itu yang tak ada kini. Karena tak punya bukti, KPK menempuh kiat memperbanyak saksi, untuk kemudian mengubah kesaksian menjadi bukti materil. Kiat standar. Akibatnya, jumlah BAP mencapai 24.000 halaman, 280 saksi. Kalau punya bukti untuk apa saksi sebanyak itu, padahal sidang tak boleh lebih enam bulan.

Konstruksinya Rekening Gendut

Sama kasusnya dengan rekening gendutnya Jenderal Budi Gunawan yang ditangani KPK. Cuma narasi, tak ada materilnya.

Materilnya tahun 2004, saya masih di Komisi III DPR dan membahas kasus ini dengan PPATK. Akun dan duitnya sudah tak ada ketika terbit sprindiknya Abraham Samad.

Plus dokumen kadaluarsa terhadap bukti. Berdalil bisa, tapi bukti tak ada. Melawan Budi Gunawan dan keperkasaan Pasal 170 KUHAP diterabas oleh Hakim Sarpin. Pasal itu kini tak bisa lagi menjadi tempat sembunyi Penyidik dan JPU. Tak punya bukti kuat, kalah di Praperadilan. Makanya dapat dipastikan KPK takkan berani menaikkan status saksi menjadi tersangka.

Satu hal yang terlupakan bahwa tindak pidana korupsi adalah kejahatan tanpa korban, sama seperti narkoba, pelaku saling kenal dan sepakat melakukan kejahatan. Karenanya kalau cuma narasi, sulit dibuktikan.

Sebentar lagi pasti ada narasi Presiden SBY menerima aliran dana, tapi cuma narasi seperti berita sosmed yang covernya dilay-out BAP. Itulah bahaya yuridis ketika penegak hukum menjadi alat kekuasaan atau alat nonjustice, menjadi extra judicial.

Saya baca di BAP penerima duit, saksi-saksi utama tak di BAP sebagai terdakwa karena KPK tak punya bukti. Hanya dua terdakwa yang berkisah seperti novel fiksi. Yaitu, KPK tak punya bukti, cuma narasi.

BAP Dramaturgi

Saya berkesimpulan BAP itu dramaturgi. Ujung-ujungnya cuma dua terdakwa dari Dukcapil itu yang masuk. Tapi KPK beroleh credit point memperbaiki wibawanya yang digerus Ahok tanpa menanggung resiko dikerjai kekuasaan karena kasus itu legacy rezim Abraham Samad.

Kalau narasi yang mau digunakan, Ketua KPK Agus Rahardjo dituduh Gamawan Fauzi terlibat karena ia yang pimpin lelangnya. Sementara hak paten dari perusahaan Perancis itu sudah diakuisisi oleh perusahaan milik Setnov.

E-KTP bukan baru. Tahun 2000, sudah saya bahas dengan Noorca Massardi yang waktu itu Redpel Majalah Forum. Puluhan ribu orang mendemo Presiden Perancis Franqois Mitterand meminta proyek E-KTP dibatalkan. Dan Mitterand membatalkannya.

Alasan para demonstran, pertama content E-KTP adalah data pribadi yang lalu dibaca oleh satelit dan dipublikasikan.

Kedua, data E-KTP berada di wilayah hukum privat, tak boleh masuk ke wilayah hukum publik.

Ketiga, data privat itu tak jelas siapa yang menguasai.

Keempat, melanggar HAM.

Belakangan prototipe ini dibeli Setnov dan terbit di Indonesia. Untuk tiap penerbitan kartu itu, Setnov akan kebagian Rp 2.000 dari Rp 5.000 harga jualnya, sedang dari proyek itu akan menerima 11%. Setnov tak menerima cashnya, tapi kata BAP ada Rp 500 miliar yang mengalir ke DPP Golkar.

Itu yang dimaksud Yusril Ihza Mahendra pemerintah hendaknya mengajukan pembubaran Golkar ke MK. Yaitu, penerimanya adalah lembaga orpol. Bisa itu. Tapi Presiden Jokowi bisa jadi nomaden karena PDIP juga akan ikut bubar. Jadi gelandangan deh.

Sementara itu, kualitas kartu E-KTP yang telah terbit KW3 (kualitas tiga) dibanding kartu ATM. Begitu pula chips di dalamnya. Tapi sudah dibantah oleh Setnov di TV News. Duit yang banyak sekali itu dan terus mengalir hingga akhir zaman sepanjang Indonesia memakai EKTP. Canggih Setnov.(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
AMIN BANNER 01
advertisement
AMIN BANNER 02
advertisement
AMIN BANNER 03
advertisement
AMIN BANNER 04
advertisement
AMIN BANNER 06
advertisement
AMIN BANNER 08
advertisement
Opini Lainnya
Opini

In Prabowo We Trust" dan Nasib Bangsa Ke Depan

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Kamis, 28 Mar 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya kemarin di acara berbuka puasa bersama, "Partai Demokrat bersama Presiden Terpilih", tanpa Gibran hadir, kemarin, ...
Opini

MK Segera saja Bertaubat, Bela Rakyat atau Bubar jalan

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi (MK) segera bertaubat. Mumpung ini bulan Ramadhan. Segera mensucikan diri dari putusan-putusan nya yang menciderai keadilan masyarakat.  Di ...