JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Anggota Komisi VII DPR Mukhtar Tompo geram dengan perilaku PT Freeport Indonesia yang tidak patuh terhadap berbagai peraturan yang diberlakukan pemerintah selama ini.
"Saya secara tegas menyatakan bahwa arogansi yang ditunjukkan PT Freeport Indonesia (PTFI) dalam berbisnis di Indonesia, tak berbeda dengan gaya VOC, perusahaan asal Belanda di zaman penjajahan dahulu," tandas politikus Hanura itu di Jakarta, Senin (15/03/2017).
"Setelah mempelajari sejumlah dokumen, mulai dari Kontrak Karya 1991, Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, hingga surat dari Freeport yang menolak IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus), saya menyimpulkan bahwa Freeport adalah reinkarnasi VOC," sambungnya.
Arogansi Freeport tersebut, terang dia, bisa dilihat dari beberapa bukti yang ada selama ini. Pertama, Freeport tidak punya itikad baik untuk membangun smelter, sesuai yang dipersyaratkan UU Minerba.
"Belakangan, Freeport berdalih, bahwa mereka akan melanjutkan pembangunan Smelter, jika diberikan kepastian perpanjangan kontrak setelah 202," ungkapnya.
Kedua, lanjut dia, ketika Freeport bersurat untuk melakukan perubahan bentuk pengusahaan pertambangan menjadi IUPK, namun perusahaan asal Amerika itu menggunakan frase ‘dengan syarat’, salah satunya persetujuan operasi PTFI melewati tahun 2021, atau perpanjangan operasi 2021-2041.
"Untung orang yang memimpin Kementerian ESDM, berkepala dingin seperti pak Iganasius Jonan. Kalau saya menterinya, tanpa pikir panjang lagi, saya langsung usir mereka. Ini negeri kita, kok mereka mau mendikte. Seolah negara ini tidak punya kedaulatan," tandas dia.
Sebenarnya, kata dia, apa yang selalu digaungkan Freeport dengan menyandarkan pada Kontrak Karya (KK) hal tersebut sangat tidak relevan.
"Selama ini Freeport selalu mengatasnamakan Kontrak Karya (KK), untuk melanggar sejumlah UU atau peraturan yang berlaku di Indonesia," ujar dia.
Padahal, lanjut dia, dalam pasal 3 KK, ditegaskan bahwa PTFI adalah suatu badan usaha yang didirikan berdasarkan UU Republik Indonesia, serta tunduk kepada UU dan yurisdiksi pengadilan di Indonesia.
"Saya menganggap cara pandang Freeport yang menganggap dirinya setara dengan Pemerintah, adalah cara pandang keliru. Saya mengutip pandangan guru besar hukum internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, bahwa Freeport harus membedakan pemerintah sebagai subyek hukum perdata, dan sebagai subyek hukum publik," jelasnya.(yn)