Ragam
Oleh Simon Syaefudin pada hari Kamis, 06 Apr 2017 - 09:37:53 WIB
Bagikan Berita ini :
Catatan dari Festival Sastra ASEAN

Denny JA, Pendobrak Stagnasi Sastra

19IMG-20170404-WA0028.jpg
Penyair Jodi Yudhono sedang membaca puisi-puisi Denny JA di Festifal Sastra ASEAN di Kinabalu, Sabah, Malaysia, Rabu (5/4/2017) (Sumber foto : Istimewa )

Dunia sastra yang selama ini diam, tiba-tiba bergolak. Isu-isu sosial yang sensitif yang dahulu pantang digubah dalam puisi, tiba-tiba dikuak dan dipertanyakan.

Masalah pernikahan antaragama, kekerasan terhadap minoritas, diskriminasi etnis Cina, dan penolakan LGBT (lesbian, gay, dan biseks, dan transgender), misalnya, dibuka dalam dunia sastra. Bagai kotak pandora, masalah-masalah yang dulu tertutup dalam sastra ini, kini ramai dibincangkan oleh para penyair. Dampaknya, kini dunia sastra makin terlibat dalam pergumulan hidup sehari-hari manusia modern.

Fenomena sosial baru yang tidak popular itulah yang ditampilkan Denny JA melalui puisi-puisi esainya. Dan itu pula keunggulan puisi-puisi esai Denny JA yang tak banyak dimiliki sastrawan-sastrawan lain.

“Denny JA sengaja memilih isu sosial tidak popular untuk dituangkan dalam puisi-puisi esainya, sehingga muncul kontroversi. Dan sangat sedikit sastrawan yang berani mengambil resiko berhadapan dengan massa mayoritas,” kata Jamal D. Rahman, penyair yang juga pemimpin redaktur Majalah sastra Horison di acara seminar membedah 24 puisi karya Denny JA di kampus Institut Pendidikan Guru (IPG) Ken Tuaran, Sabah, Malaysia, Rabu (5/4).

Jamal mengaku bisa memahami pilihan Denny karena dia adalah ilmuwan sosial yang kritis melihat kondisi sosial yang ada di sekelilingnya.

Dalam buku “Atas Nama Cinta” – tambah Jamal – Denny mengupas problem sosial di Indonesia dengan kisah-kisah liris yang mudah dipahami. Pilihan bahasanya sangat komunikatif sehingga menjangkau khlayak yang lebih luas. Penulis Tarekat Nurcholishy ini mengutip penggalan puisi Denny berjudul “Cinta Terlarang Batman dan Robin.”

Aku seorang homoseks, Ibu
Sudah kulawan naluriku selama ini
Tapi tak mampu aku!
Aku tetap seorang homoseks
Maafkanlah aku, Ibu.

Denny JA menulis puisi ini, karena melihat keprihatinan kaum homoseksual yang eksistensinya belum diterima di masyarakat Indonesia. Ini berbeda dengan di Eropa dan Amerika Serikat. Keberadaan kaum homoseks sudah diterima masyarakat dan hak-haknya sebagai warga negara yang normal dilindungi.

Sementara itu sastrawan Sabah, Jasni Matlani, menyatakan kehadiran puisi esai Denny JA yang mendobrak konsep ketuhanan seperti melanjutkan puisi-puisi sufistik Hamzah Fansuri, Chairil Anwar, dan Abdul Hadi WM. Dalam puisi Denny JA yang berjudul “Burung Trilili Bertengkar dalam Persepsi” -- menurut Jasni yang juga Presiden Dewan Bahasa dan Sastra Sabah ini – sang penulis mencoba menggedor ideologi, pemikiran, dan konsep ketuhanan yang stagnan yang selama ini ada.

Denny JA membuat metafor Burung Trilili untuk menghadirkan berbagai persepsi manusia terhadap ideologi dan ketuhanan yang sedemikian rupa, yang akhirnya tidak pernah selesai. Bahkan kemudian terjadi pertumpahan darah akibat perbedaan persepsi tentang Burung Trilili itu. Kisah-kisah yang ada dalam Burung Trilili, lanjut Jasni, merupakan revolusi persepsi manusia terhadap nilai-nilai ideologi dan ketuhaanan yang selama ini beku dan mengeras. Dengan demikian, bagi penulis novel “Pulau Tanpa Cinta” ini, puisi-puisi Denny JA merupakan perombak stagnasi puisi-puisi relijius yang ada saat ini.

Secara pribadi, kata penulis cerpen “Balqis dan Mimpi Jerusalem” ini, saya mengagumi Denny JA karena puisi-puisinya sangat inspiratif. Di tengah kesibukannya sebagai seorang konsultan politik dan pebisnis, ia masih menyempatkan diri membuat puisi.

Yang menarik, puisi-puisi Denny JA menggunakan bahasa yang mudah dicerna sehingga setiap orang mampu menangkap maknanya, meski kadar penangkapan makna itu berbeda-beda, sesuai latar belakang pengetahuan dan pengalaman pembaca. Dalam hal ini, Denny JA, tambah tokoh pegiat sastra Sabah ini, memberikan kontribusi yang luar biasa dalam dunia sastra, karena puisi di tangan Denny JA lebih memasyarakat dan terlibat dengan isu-isu kontemporer.

Karya-karya Denny JA menginspirasi kita bahwa semua orang pada hakikatnya adalah sastrawan dan penyair. Dengan demikian, Denny JA telah merombak persepsi di masyarakat bahwa dunia sastra adalah dunia langit yang sukar dijangkau orang awam. Di tangan Denny JA, puisi sangat merakyat dan siapa pun bisa menulis puisi, lanjut Presiden Dewan Bahasa Sabah ini. Sedangkan puncak prestasi Denny JA, ujar penulis 20 buku sastra ini, adalah gagasannya mengenai puisi esai. Yaitu puisi prosa dengan catatan kaki.

Sebetulnya, puisi esai ini dulu sudah ada. Namanya prosa liris atau puisi yang bertutur.Tapi Denny JA memberikan persyaratan baru. Yaitu puisi prosa dengan catataan kaki. Catatan kaki ini berfungsi sebagai pendukung fakta yang melatarbelakangi imajinasi dalam puisi tersebut. Puisi esai dengan catatan kaki ini benar-benaar terobosan yang luar biasa dalam dunia sastra, kata Jasni, peraih empat anugerah “Cerpen Eceran” di Sabah ini. Denny JA adalah pendobrak stagnasi sastra, ungkap peraih SEA Writer Award 2015 tersebut.

Adapun Prof. Madya Ampuan Dr. Haji Ibrahim dari Akademi Pengajian Brunai Universitas Brunai Darussalam menilai puisi esai karya Denny JA ini unik dan murni karena ia mempunyai style yang berbeda dengan kebanyakan karya puisi yang ada. Setiap puisi esai karya Denny JA ada isu sosial yang berbasis peristiwa nyata. Ia menyelipkan banyak pengajaran atau pesan-pesan sosial kepada masyarakatnya.

“Ini memperlihatkan bahwa Denny JA adalah seorang penyair yang luar biasa, menghasilkan puisi-puisi komit dengan gaya baru dan sangat terikat dengan status sosial di sekelilingnya,” ungkap Dr. Haji Ibrahim.

Sementara itu, pengkaji sastra asal Thailand, Dr. Phaosan Jehwae menilai puisi Denny JA bukanlah puisi yang biasa-biasa saja. Menurut pengajar sastra di Universitas Pattani, Thailand ini, menulis puisi seharusnya tidak sekadar memilih kata-kata indah dan estetika kalimat bertipografi sastra. Tapi juga puisi harus merekam jejak sejarah dan berbicara tentang realitas yang ada. Karena itu, kepekaan sosial, kemahiran mengolah bahasa dan kecerdasan pikiran harus dimiliki penulis puisi. Hal-hal seperti itulah yang dimiliki Denny JA, kata pegiat sastra di Thailand ini.

Dalam Festival Sastra yang berlangsung selama bulan April di Sabah, di mana pada tanggal 6 April 2017 secara khusus membahas 24 puisi karya Denny JA itu, hadir Menteri Pembangunan Masyarakat dan Hal Ehwal Pengguna Sabah, Datuk Hajah Jainab Datuk Sri Panglima Haji Ahmad Ayid. Sejumlah sastrawan membacakan puisi-puisi mereka dengan iringan music yang menggetarkan. Datuk Hajah Jainab menyatakan, festival sastra ini tidak hanya membangkitkan sastra di Sabah, tapi juga di Asia Tenggara.(dia)

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Ragam Lainnya
Ragam

Film Buya Hamka Luar Biasa, Wajib Ditonton dan Perlu

Oleh Abdullah Al Faqir/Adang Suhardjo
pada hari Sabtu, 29 Apr 2023
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Ketika saya menerima undangan dari Chandra Tirta W saat itu saya sedang di Bandung, dan saya mempercepat kepulangam ke Jakarta dari rencana sebelumnya akan pulang hari ...
Ragam

Abdul Wachid Gelar Acara Bukber dan Santunan Bersama 1000 Anak-anak Yatim dan Piatu

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Anggota DPR RI dari fraksi partai Gerindra, Abdul Wachid mengadakan acara buka bersama dan santunan bagi seribuan anak-anak Yatim dan Piatu di kediamannya. Rangkaian ...