JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Wakil ketua Komisi IV DPR RI Viva Yoga Mauladi menyesalkan sikap negara-negara Eropa yang menolak komoditas sawit asal Indonesia. DPR curiga penolakan tersebut tak lepas dari kepentingan korporasi terganggu oleh Sawit Indonesia.
"Mereka (negara-negara Eropa) memiliki persepsi negatif terhadap produk Sawit Indonesia. Dengan alasan bahwa sawit tidak ramah dan merusak lingkungan, penyebab deforestasi, dan lainnya," ungkap ketua DPP PAN itu saat dihubungi di Jakarta, Minggu (9/4/2017).
Penolakan tersebut tertuang dalam sebuah aturan yang baru-baru ini mereka buat.
"Pada 4 April 2017 parlemen Eropa mengesahkan "Report on Palm Oil and Deforestation of Rainforests", yang isinya adalah laporan negatif dan mendiskreditkan sawit Indonesia. Bahwa Sawit Indonesia dihasilkan dari praktik korupsi, mengeksploitasi pekerja anak, melanggar HAM, dan menghilangkan hak masyarakat adat," terang Viva.
Penolakan tersebut, kata dia, menunjukkan bahwa parlemen Eropa tak terlepas dari kepentingan korporasi tertentu yang terganggu dengan Sawit Indonesia.
"Laporan itu menunjukkan parlemen Eropa menyalahgunakan kekuasaan dan wewenangnya, dan menunjukkan menjadi subordinasi dari kepentingan ekonomi perusahaan minyak yang terancam dengan produk Sawit Indonesia," tuding dia.
Hal tersebut menjadi bukti bahwa parlemen Eropa menjadi alat politik dari perusahaan minyak. Ini pula alasan di balik rekomendasi agar Pemerintah Indonesia mengubah investasi dari Sawit ke minyak bunga matahari (sunflower oil) dan rapeseed oil.
"Kita tahu bahwa Sawit sulit tumbuh di tanah Eropa. Sedangkan dari sisi keunggulan produk komoditas dan ekonomi, sunflower dan rapeseed kalah dibanding Sawit dan produk turunannya," sindirnya.
Dia menambahkan, tudingan parlemen Eropa bahwa sawit Indonesia merusak lingkungan sangat tidak berdasar di tengah upaya pemerintah Indonesia meratifikasi ketentuan internasional soal lingkungan.
"Pemerintah Indonesia telah melakukan ratifikasi dan konvensi internasional untuk kelestarian lingkungan, ekologi, dan ekosistemnya," ungkapnya.
Sangat disesalkan, ujar dia, ketika perkebunan Sawit Indonesia yang luasnya 11 juta hektare, baik yang dikelola korporat (55%) maupun petani Sawit rakyat (45%) juga harus tunduk pada aturan tersebut.
"Meski ada beberapa kasus penyimpangan pengelolaan, namun pemerintah telah bertindak tegas untuk menegakkan hukum dan aturan demi sustainable development," terangnya.
Menyikapi penolakan parlemen Eropa, Pemerintah Indonesia harus melakukan perjuangan diplomasi.
"Negara harus hadir untuk membela eksistensi Sawit Indonesia di perdagangan internasional. Ini adalah perang dagang internasional. Para pihak korporat produk sunflower oil dan rapeseed oil di Eropa telah menggunakan parlemen Eropa untuk menyuarakan kepentingan mereka," pungkasnya. (plt)