JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Masyarakat Peduli Pemberantasan Korupsi meminta DPR untuk menahan diri dan tidak mencampuri kewenangan penegakan hukum oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyusul usulan pengajuan hak angket oleh Komisi III DPR.
"Kami berpendapat bahwa inisiatif hak angket yang digulirkan oleh beberapa anggota DPR dalam kaitannya dengan penyidikan terhadap Miryam S Hariani bisa mengarah konflik kepentingan dan intervensi proses hukum di KPK (ostruction of justice). Karena itu kami menyerukan agar DPR bisa menahan diri untuk tidak mencampuri kewenangan penegakan hukum KPK," kata perwakilan Masyarakat Peduli Pemberantasan Korupsi Natalia Subagyo di gedung KPK di Jakarta, Jumat (21/4/2017).
Natalia menyampaikan pernyataan bersama tokoh antikorupsi lainnya yaitu Betti Alisjahbana, Lelyana Santosa dan Zainal Arifin Muchtar. Selain keempat orang itu, masih ada 11 orang, antara lain Erri Ryana Hardjapamekas, Dadang Trisasongko, HS Dillon, dan Todung Mulya Lubis yang bertemu pimpinan KPK yaitu Agus Rahardjo dan Laode M Syarif untuk menyampaikan aspirasinya.
"Dalam diskusi panjang, ada kecurigaan hak angket ini abal-abal karena tidak jelas alasan sesungguhnya. Beberapa orang mengatakan ini terkait dengan Miryam dan laporan keuangan KPK, tapi dua-duanya kelihatan tidak pas karena mengenai laporan keuangan KPK itu beberapa tahun lalu sudah diproses BPK dan sudah selesai," kata Zainal Arifin Muchtar.
Usulan hak angket ini tercetus saat KPK menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III pada Rabu (19/4/2017) dini hari. Usulan ini menanggapi sikap KPK yang menolak membuka rekaman pemeriksaan mantan anggota Komisi II dari fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani di luar persidangan terkait kasus KTP Elektronik.
Pada sidang dugaan korupsi e-KTP pada 30 Maret 2017, penyidik KPK yang menangani kasus tersebut yaitu Novel Baswedan mengatakan bahwa Miryam ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III untuk tidak mengakui fakta-fakta menerima dan membagikan uang dalam penganggaran e-KTP.
"Begitu juga dengan dokumen pemeriksaan BAP, kami anggap dokumen pemeriksaan pro-justicia maka hanya bisa dibuka di persidangan. Kami tidak tahu alasan di balik DPR memaksa membuka itu. Jangan-jangan ini bukan untuk memperjelas proses penegakan hukum tapi memperkeruh proses penegakan hukum. Jangan sampai KPK mau membuka ini. Ini akan jadi modus berulang yaitu ancaman-ancaman yang bisa dibuat-buat," tambah Zainal.
Zainal juga menilai bahwa usulan pengajuan hak angket tersebut berlebihan.
"Penggunakan hak angket itu agak berlebih. Hak penyelidikan kaitannya dengan kebijakan pemerintah jadi agak berbahaya menjalankan UU sebagai bentuk kewenangan pengawasan DPR karena tidak tertutup kemungkinan nanti hakim bisa dipanggil oleh DPR. Hak angket penyelidikan ujungnya rekomendasi. Kami agak bingung dalam penegakan hukum lalu ujungnya ada rekomendasi ke KPK, jangan-jangan DPR terlalu memperluas proses angket itu sendiri," ungkap Zainal. (plt/ant)