Opini
Oleh June Mellawati (Profesor Riset Badan Tenaga Nuklir Nasional-BATAN, Jakarta) pada hari Sabtu, 22 Apr 2017 - 19:57:53 WIB
Bagikan Berita ini :

Kartini Gunung Kendeng, Kartini Edisi Reformasi

4IMG_20170422_195306.jpg
June Mellawati (Profesor Riset Badan Tenaga Nuklir Nasional-BATAN, Jakarta) (Sumber foto : Istimewa )

Kartini adalah pembuat kisah. Sebuah kisah tentang pemikiran dan perjungan hidup. Kartini adalah sebuah identitas naratif yang menginspirasi banyak orang. Karena itu, kisah Kartini, pinjam istilah filsuf Paul Ricoeur, tidak berdiri sendiri. Kisah itu bertaut dengan kisah-kisah lain yang muncul sebelum, semasa, dan sesudah Kartini hidup. Itulah sebabnya, kisah hidup Kartini sangat inspiratif dan tidak lekang oleh zaman. Dan kini, karena kisah-kisah hidup dan perjuangannya, Kartini telah berubah menjadi sejarah. Kartini adalah sejarah itu sendiri.

Tak mudah memang memahami sejarah kepahlawanan Kartini. Bahkan seorang sejarawan terkenal, Prof. Dr. Harsja Bachtiar, pernah menggugatnya. Tulis Harsja, Kartini adalah kisah pahlawan yang dibesarkan Belanda. Harsja menilai, kepahlawanan Kartini dimunculkan karena surat-surat yang dikirimnya kepada orang-orang Belanda, yang nota bene teman-teman Kartini dan mereka penjajah. Harsya tampaknya lupa, pada masanya hidup seorang perempuan seperti Kartini sangat sulit. Belenggu tradisi dan adat priyayi, menutup semua akses untuk wanita yang ingin keluar dari kepungan budaya feodalisme.

Melalui surat-suratnya itulah, Si Trinil – panggilan akrab putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, Bupati Jepara ini – memberontak. Sebagai gadis Jawa yang ingin menguak dunia, Kartini memberikan inspirasi, bagaimana seharusnya wanita itu hidup. Wanita harus berpendidikan, kata Kartini, karena wanita-lah yang akan mendidik generasi. Tidak persoalan apakah wanita terdidik itu kelak hanya menjadi ibu rumah tangga atau hidup di bawah kungkungan tradisi feodalisme; yang jelas kaum wanita terdidik akan bisa membesarkan anak-anaknya dengan cara yang lebih baik dan educated untuk merubah masa depannya. Wanita-wanita terdidik, meski hanya ibu rumah tangga, tetap akan memberikan pencerahan dan inspirasi kepada keluarga sehingga keluarga itu akan maju. Dan itulah yang diinginkan Kartini.

Awalnya Kartini kalah. Si Trinil “dipaksa” secara tradisi menikah dengan pria pilihan ayahnya, Bupati Rembang K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Ia tak bisa menolak. Tapi Kartini tetap ingin memperjuangkan idealismenya. Kesempatan menjadi raden ayu yang terhormat di mata perempuan Jawa, ia manfaatkan untuk mendidik ibu-ibu di sekitar rumahnya, membangun sekolah untuk anak-anak perempuan, dan terus menyadarkan kaumnya agar keluar dari kegelapan.

Lihat salah satu surat Kartini yang ditulis 6 November 1899 untuk temannya, Stella Zeehandelaar. Trinil menulis: “Jalan kehidupan gadis Jawa itu sudah dibatasi dan diatur menurut pola tertentu. Kami tidak boleh mempunyai cita-cita. Satu-satunya impian yang boleh kami kandung ialah, hari ini atau besok dijadikan istri yang kesekian dari seorang pria. Saya tantang siapa yang dapat membantah ini. Dalam masyarakat Jawa persetujuan pihak wanita tidak perlu. Ia juga tidak perlu hadir pada upacara akad nikah. Ayahku misalnya bisa saja hari ini memberi tahu padaku: Kau sudah kawin dengan si anu. Lalu aku harus ikut saja dengan suamiku. Atau aku juga bisa menolak, tetapi itu malahan memberi hak kepada suamiku untuk mengikat aku seumur hidup tanpa sesuatu kewajiban lagi terhadap aku. Aku akan tetap istrinya, juga jika aku tidak mau ikut. Jika ia tidak mau menceraikan aku, aku terikat kepadanya seumur hidup. Sedang ia sendiri bebas untuk berbuat apa saja terhadap aku. Ia boleh mengambil beberapa istri lagi jika ia mau tanpa menanyakan pendapatku. Dapatkah keadaan seperti ini dipertahankan, Stella?”

Kartini menggugat. Ia memang tidak berhasil merubah tradisi feodalisme saat itu. Tapi Kartini, setidak-tidaknya, pinjam istilah Hanung Bramantyo, sutradara film Kartini edisi terbaru (2017), telah merekonstruksi budaya feodalisme menjadi budaya yang menyongsong budaya modern. Kartini berhasil merenovasi penjara tradisi, sesuai dengan cita-citanya. Dalam surat-surat Kartini yang terkompilasi dalam buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” terungkap bagaimana obsesi Kartini untuk memajukan bangsanya, terutama kaum perempuannya. Surat Kartini yang lain yang ditujukan untuk Nyonya Abendanon (15 Juli 1902), misalnya, mengungkapkan harapan Si Trinil “… dan kami yakin seyakin-yakinnya bahwa air mata kami, yang kini nampaknya mengalir sia-sia itu akan ikut menumbuhkan benih yang akan mekar menjadi bunga-bunga yang akan menyehatkan generasi-generasi mendatang.”

Kini “Trinil” Kartini telah tiada. Kaum wanita Indonesia yang berpendidikan dan maju sudah bertebaran di mana-mana. Tapi itu tidak berarti perjuangan Kartini telah selesai. Masih banyak wanita yang ingin berpikir generasional, tapi justru terhalang oleh pemikiran-pemikiran dangkal para penguasa dan pengusaha yang terpenjara tembok-tembok “ekonomi materialisme instan”. Di daerah yang sama dengan Kartini tempo dulu, Rembang dan Jepara, sejumlah wanita berjuang untuk menyelamatkan lingkungan hidupnya. Mereka menolak pembangunan pabrik semen yang akan mengeksploitasi Gunung Kendeng. Jutaan ton batuan karst di Gunung Kendeng yang membujur di wilayah Rembang dan Jepara akan diambil untuk menjadi bahan mentah pabrik semen tersebut.

Para penguasa dan pengusaha yang silau limpahan uang terus berusaha menambang batuan karst di wilayah Gunung Kendeng dan sekitarnya, tapi sejumlah “Kartini” yang berpikir panjang – berpikir generasional – menolaknya melalui berbagai cara. Duduk di depan istana (sambil mengecor kakinya dengan semen) untuk memohon agar Presiden Jokowi membatalkan izin operasional pabrik itu. Lalu mendatangi Senayan agar DPR tidak menyetujui keberadaan pabrik tersebut. Protes kepada Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo, yang meneken izin pendirian pabrik semen tadi dan minta izin itu dibatalkan. Macam-macam bentuk penolakan kaum Kartini tadi. Hasilnya? Nihil.

Kartini-Kartini ini – seperti halnya Si Trinil – memang rewel. Tapi kerewelannya bertujuan baik: Untuk survivalitas kehidupan generasi akan datang. Jika batuan karst di Gunung Kendeng dieksploitasi, maka sumber-sumber mata air yang selama ini menjadi andalan irigasi untuk sawah-sawah mereka akan kering. Maka, meranalah riwayat pertanian di sekitar Gunung Kendeng, seperti di Rembang, Jepara, dan Pati itu. Mereka, para Kartini edisi reformasi yang melek ilmu lingkungan itu menyatakan, batuan karst sangat vital peranannya dalam ‘penataan sirkulasi air’ bawah tanah yang menjadi sumber mata air. Jika batuan karst di Gunung Kendeng digali untuk bahan baku semen, itu sama artinya dengan menghancurkan puluhan mata air yang selama ini menjadi andalan irigasi pertanian di wilayah Rembang dan Jepara. Apa jadinya anak cucu mereka jika mata air itu lenyap? Sekali lagi, pemikiran Kartini Edisi Reformasi lantang dikumandangkan untuk menyelamatkan lingkungan.

"Nanti yang petani jadi buruh, padahal kan tidak sehat. Biarkan kami bekerja dengan alam," kata Sukinah, salah satu dari “Kartini-Kartini” Kendeng yang menyemen kakinya sebagai bentuk penolakan di depan Istana Negara Maret lalu. Para petani juga menuding analisis mengenai dampak lingkungan yang dibuat oleh perusahaan tersebut palsu. Mereka menduga ada manipulasi data oleh para penyusun dokumen Amdal agar pabrik semen yang merusak ekosistem karst itu bisa berdiri. Salah satunya adalah jumlah keberadaan gua, ponor, dan mata air yang tidak sesuai. Dalam Amdal, misalnya, tercatat jumlah gua ada sembilan, padahal di lapangan ada 64 gua. Sedangkan untuk mata air disebutkan ada 40 buah, namun di lapangan tercatat ada 125 sumber mata air. Dalam Amdal tidak disebut adanya ponor (satu fitur karst, misalnya lubang di permukaan di mana air dapat masuk ke dalam sistem jaringan air bawah permukaan), namun kenyataannya terdapat 28 titik ponor. Meski protes masyarakat atas berdirinya pabrik semen itu terus berlanjut, PT Semen Indonesia tetap meneruskan pembangunan pabriknya. Ahli geologi, Dr. Surono mengatakan kawasan yang bakal menjadi lokasi penambangan merupakan cekungan air tanah. Cekungan air tanah itu, kata Mbah Rono, merupakan daerah resapan, aliran, dan pelepasan air tanah. Kawasan tersebut merupakan penyimpan air tanah yang ikut menyuplai kebutuhan air di wilayah Pegunungan Kendeng Utara dan sekitarnya (Patria, 2017).
Dalam perjuangannya untuk menyelamatkan lingkungan, salah seorang dari Kartini-Kartini itu, namanya Patmi (48), akhirnya tewas 21 Maret lalu. Patmi tewas dalam upayanya memperjuangkan kelestarian lingkungan hidup di Gunung Kendeng demi survivalitas generasi mendatang. Aku yakin, perjuangan Patmi, Sukinah, dan kawan-kawan tersebut terinspirasi perjuangan dan kepahlawanan Kartini.(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Tersirat, Hotman Paris Akui Perpanjangan Bansos Presiden Joko Widodo Melanggar Hukum: Gibran Dapat Didiskualifikasi?

Oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
pada hari Rabu, 17 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --1 April 2024, saya hadir di Mahkamah Konstitusi sebagai Ahli Ekonomi dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2024. Saya menyampaikan pendapat Ahli, bahwa: ...
Opini

Wawasan Yusril Sempit Untuk Bisa Membedakan Ahli Ekonomi, Ahli Hukum, atau Ahli Nujum

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --1 April 2024 (bukan April Mop), saya hadir di Mahkamah Konstitusi dalam kapasitas sebagai Ahli Ekonomi, terkait sengketa Perselihan Hasil Pemilihan Umum 2024. Saya ...