Opini
Oleh Chusnul Mar pada hari Sabtu, 22 Apr 2017 - 21:13:47 WIB
Bagikan Berita ini :

Islamophobia: Political Activist Perspective (1)

81IMG_20170419_112202.jpg
Chusnul Mar (Sumber foto : Istimewa )

Pendahuluan

Di beberapa kesempatan baik dalam forum informal maupun formal (termasuk international conference yang saya hadiri) membahas fenomena civil Islam dalam 411 dan 212, seringkali banyak scholars Indonesianist, terkaget-kaget bila saya mengatakan hadir di 411 dan 212 sebagai engage scholar.

Bahkan di WAG pun dosen yang pernah menjadi mahasiswapun dengan menggunakan tone negatif menyatakan : "saya tahu anda ikut cawe-cawe di 411. 212 bla bla", ada lagi tulisan apa pantas akademisi seperti itu? Harus dimaafkan saja mahasiswa yang tidak punya adab baik pada gurunya. Saya jadi ingin menulis apa itu being Muslim as my identity mulai sejak mahasiswa ilmu politik UI yang dari SPG Lamongan orang Desa Babat, Jawa Timur.

Saat mahasiswa 1979-1986 saya sering diajak demonstrasi tentu status hanya sebagai massa. Saat itu ada kebijakan NKK BKK dari Mendikbud Daud Yoesoef. Mahasiswa dilarang berpolitik di Kampus.

Saya sendiri aktif di Komisariat HMI FISIP UI (sebagai sekretaris) juga sekali-sekali ikut di Korkom UI (yang ketuanya Mulyaman Haddad) serta di HMI Cabang Cilosari (walau tidak aktif sekali karena kegiatan perempuannya bazar-bazaran). Saya juga aktif di Dewan Mahasiswa UI yang ketuanya Peter Sumaryoto yang sekarang menjadi Mohammad Peter. Juga aktif di Senat Mahasiswa FISIP UI. Di samping menjadi asisten dosen Ibu Miriam Budiardjo dan Nazaruddin Sjamsuddin. Tidak cukup di situ saya pengurus Asrama Wismarini (sebagai orang yang tidak punya banyak uang, sebagai pengurus mendapat previlige gratis uang bulanannya). Saat itu juga aktif di NGO Kalyanamitra (1985) dan ikut bersama kawan-kawan dari Bandung membentuk Pusat Studi Pengembangan Kelautan (PSPK) dengan Pak Sangkoyo sebagai ketuanya.

Saat itu juga saya sudah sangat sering diidentifikasi orang hijau di kampus FISIP UI Rawamangun. Bahkan saat membentuk Depok's Informal Group dosen-dosen muda, hebohlah para Ketua Departemen. Suatu hari saat Jumatan saya mendengar ada oukemene di ruang kelas lantai dua di atas Aula 1. Saya bertanya kenapa kita tidak punya Musholla yang dibutuhkan untuk sholat dluhur, asyar dan maghrib saat kami berada di kampus? Alhasil bersama-sama, akhirnya ada ruang gudang beras yang dibersihkan bersama-sama menjadi Musholla pertama di FISIP UI Rawamangun.

Saat kuliah marathon jam 14-18, persis jam 16, biasanya saya nulis di kertas kecil kepada asisten dosen almarhum mas Sunardi izin untuk sholat Asyar. Jadilah saya bahan ledekan di kelas politik pedesaan, sebagai contoh orang desa. Sementara di kalangan kelompok Islam saya sering mendapat julukan Islamnya dipertanyakan. Saya ikut pengajian di YISC Masjid Al Azhar (Jimly dan Yusril yang sering ceramah).

Walaupun saya in-search of identity saat kuliah tidak pernah saya berkonflik dengan non muslim dan Chiness. Bahkan kelompok belajar kami itu campuran Muslim, Kristen, Chiness, Jawa, Sumatera. Kami belajar bersama Mylda, Elly, Yanti, Amhar, Adrianus dan saya sendiri. Kami sukses melawati kuliah dengan baik.

Di satu sisi Islamophobia selalu ada dalam masyarakat, tapi kita dapat membuktikan Islam itu rahmat untuk sekalian alam. Bersyukur saat di Australia 1990-1998 saya tinggal dengan the Leigh family, kita share our knowledge of our faith. Hal itu semakin memperkaya bagaimana perlunya membangun interfaith dialog.

Sebagai dosen Ilmu Politik, fenomena 411 dan 212 menarik. Memahami fenomena civil Islam ini melalui participant observer dapat memberikan perspektif yang lebih utuh. Kelompok elit terdidik muslim pun juga phobia pada Islam. Apakah karena kampanye global setelah glasnot dan perestroika jatuhnya former USSR? ataukah munculnya kekuatan-kekuatan perlawanan kelompok Islam? Bagaimana dengan Rohingnya di Burma? Bagaimana migrasi besar-besaran karena perang di Suriah saat ini? Bagaimana perang di Iraq, Bagaimana demokratisasi di Timur Tengah?

Referensi tentu bermacam-macam yang kadang kita yakini begitu saja. Misal to serve US foreign policy Huntington menulis buku fenomenal the clash of civilisation. Sementara buku Edward Said memotret bagaimana media Barat melihat Islam: Covering Islam tidak dianggap penting oleh kita. Referensi tersebut dan banyak lagi perlu dikaji secara kritis how the theory derived from? Mari kita membuat narasi kita untuk dekolonisasi pengetahuan kita tentang diri kita. Wallahu'alam.(*)

(Bersambung)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Ahlan Wa Sahlan Prabowo Sang Rajawali!

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Rabu, 24 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Prabowo Subianto sah sebagai Presiden RI ke delapan. Itu adalah takdir Prabowo yang biasa dipanggil 08 oleh koleganya. Keputusan MK ...
Opini

Jalan Itu Tidaklah Sunyi

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --"Jika Mamah jadi penguasa apakah Mamah akan menjadikan anak Mamah pejabat saat Mama berkuasa?" Itu pertanyaan anakku malam ini. Aku mendengarkan anakku ini. ...