Beberapa tulisan media dan scholars menganalisa hasil pilkada DKI yang dimenangkan pasangan Anies-Sandi menunjukkan adanya ketakutan kelompok agama Islam radikal berkuasa. Dalam teori-teori voting behaviour agama juga dimasukkan dalam kategori penting di antara banyak variables party identification seperti: wilayah asal daerah, gender, ras, usia, income, pendidikan, union member, agama, ideologi dsb.
Seseorang memilih dalam Pemilu ada karena true believers, ada pula kelompok swing voters terhadap partai tertentu. Misal di USA orang Yahudi hampir 48 persen memilih demokrat, dan 34 persen memilih Republik dan sisanya independen. itu bila hanya dari satu variabel agama. Sementara Protestan so:so antara Republican dan Democrat dan Katholik lebih banyak ke Republican. Demikian juga di Australia dan di negara-negara Eropa yang telah memisahkan negara dan gereja, agama juga berpengaruh bagaimana mereka memilih. Di Era Orde Baru, Jakarta seringkali PPP yang menang.
Dalam Islamic Teaching tidam ada pemisahan antara agama dan negara, tidak ada pemisahan antara politik dan agama. Bila kemudian analisisnya dengan tone negatif dan sinis bahwa kelompok radikal yang menang dan Jakarta akan mempengaruhi politik. Ditambah lagi analisis dengan pilihan kata seperti Anies dipecat sebagai menteri, padahal reshufle itu biasa saja untuk jabatan politik bukan menggunakan kata dipecat tapi diganti. Dipecat bila melanggar Undang-Undang. Bila alasan bagi-bagi kursi itu digeser atau diganti.
Tentu analisa variable-variable itu penting sebagai upaya mempelajari kenyataan politik yang ada. Namun tidak semua bisa dijelaskan dengan pendekatan positivisme. Bila kita percaya dalam agama itu ada yang paling Maha Kuasa, maka kita berpolitik harus dengan akhlak yang baik. Fenomena Jakarta voting behaviour: rakyat fight back, despite banjir sembako dsb. Bisa pula leadership, bisa pula sekedar beautiful politician ( karena ibu-ibu ada yang bilang nomor 3 calonnya gantheng-ganteng). Namun bisa pula karena agama dan rasnya. Dalam demokrasi semua boleh-boleh saja. Kita tidak perlu sinis memilih karena agama dianggap sektarian. Nah pada saat yang sama menunjuk orang lain sektarian adalah sektarian itu sendiri bukan?
Sepertinya strategi Snouck Hourgronye yang memisahkan agama Islam dan politik berbuah saat ini. Islam tidak menganut pemisahan antara agama dan politik. Mari kita terus menuliskan narasi negara kita. Mari kita rebut kembali knowledge kita - dekolonisasi. Mari kita rumuskan kembali demokrasi Indonesia yang rahmatan lilla'alamin. Kalau pergantian kepemimpinan dilakukan melalui pemilu ygo jujur, adil dan bebas, hasil apapun dari kesepakatan itu yang berlaku.
Bismillah... Al Fatihah... Amin.(*)
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #