Awan mendungkembali menggelayuti duniaperbankankita, seiring terjadinyapembobolan 7 bank senilai Rp 846 miliar dengan modus kredit fiktif dan pembobolan senilai Rp 255 miliar oleh karyawan bank di salah satu bank BUMN.Sungguh bukan jumlah yang tidak kecil.
Fenomena ini seolah membuktikan bahwa kejahatan berbentuk pembobolan perbankan ada terus sepanjang jaman. Padahal dalambeberapa tahun terakhir fenomena seperti ini sudah hilang dari pemberitaan.
Meminjam ucapan Bang Napi di RCTI, kejahatan terjadi kalau ada kesempatan waspadalah…. waspadalah.Apalagi dengan semakin canggih teknologi, semakin terbuka pula peluang melakukan tindak kejahatan termasuk di sektor keuangan dan perbankan. Bagi dunia perbankan, kasus pembobolan bank adalah bagian dari risiko operasional bank.
Orang Dalam
Dalam sejarah perbankan bila melihat besaran kuantitatif jumlah uang yang dibobol, pembobolan dana BLBI (bantuan likuiditas bank Indonesia) menempati peringkat teratas.BLBI sejatinya adalah skema bantuan (pinjaman) yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas saat terjadinya krisis moneter 1997-1998. Setidaknya, telah terkucur bantuan likuiditas sebesar Rp 144,5 triliun kepada 48 bank.
Namun, ternyata dana tersebut dibawa kabur oleh beberapa pemilik bank. Audit BPK terhadap penggunaan dana BLBI oleh ke-48 bank tersebut menyimpulkan telah terjadi indikasi penyimpangan sebesar Rp 138,4 triliun.
Pembobolan bank lainnya yang juga cukup besar adalah kasus Bank Century senilai Rp 6,7 triliun, kemudian pembobolan di City bank, Bank Mega dan Bank Bali.
Nah, menurut sinyalemen yang ada kasus pembobolan bank yang pernah terjadi di Indonesia hampir 90 persen melibatkan orang dalam dari bank itu sendiri. Bahkan, pembobolan bisa terjadi karena nasabah itu sendiri.
Bila melihat skala mikro bisnis operasional sebuah bank, alur pengawasan bank sebenarnya cukup ketat dan berlangsung tiga lapis.Pada lapisan atas level kebijakan dan prosedural yang digawangi oleh para komisaris independen dan Direksi kepatuhan. Level kedua level control dan verifikasiyang digawangi oleh Direktur Pelaksana dan Dewan Audit berupa auditor dan controller. Dan level paling bawah level eksekusi transaksi yang digawangi oleh Direktur Pelaksana dan Dewan Audit berupa pengawasan melekat. Semua lapis pengawasan tersebut dibungkus dalam tiga sistem control perbankan berbentuk paramida baik internal control,internal audit dan risk management.
Jadi tidak mungkin juga kalau tiga lapis pengawasan tersebutbisa terjadi pembobolan bila tanpa keterlibatan pihak pengawas internal tersebut. Karena pihak regulator seperti BI dan OJK yang dalam konteks ini bertindak sebagai pengawas eksternal tidak bisa mengendus aksi moral hazard tersebut. Regulator mempercayakan tugas pengawasan ini pada pihak komisaris. Karena bank adalah lembaga kepercayaan.
Bisa saja regulator bertindak lebih pro aktif dalam pengawasan, Cuma bisa muncul pertanyaan apa jadinya kerja para komisaris dan Direksi kalau regulator bertindak pro aktif dalam pengawasan bank?
Risiko Hukum
Menyangkut pembobolan bank, selama ini tidak ada hukuman berat terhadap pelaku pembobol bank sehingga beredar pameo di kalangan pembobol bank, “kalau membobol bank jangan tanggung-tanggung. Yang besar sekalian setelah itu cukup keluar beberapa miiar dengan membayar oknum penegak hokum maka semuanya beres”.
Artinya selama ini tidak ada hukuman maksimal yang diterapkan pada pembobol bank, sehingga membuat mereka jera atau takut melakukan aksi kejahatannya.
Waktu jaman kejahatan BLBI, penyelesaian kasusnya ada yang pemilik banknya membayar dengan menerima hukuman penjara dan membayar sesuai uang yang mereka terima. Hal ini dilakukan pemilik Bank Umum Nasional Bob Hasan. Ada juga yang membayar dengan uang dan menyerahkan asset perusahaannya yang lain seperti dilakukan oleh pemilik BCA walaupun ada nada minor jumlah yang dibayar pemilik BCA masih kurang untuk mengganti semua kewajibannya.
Terkait hal ini penulis mengusulkan agar pelaku pembobol bank dikenakan hukuman maksimal, berupa hukuman mati atau hukuman seumur hidup atau bila mengganti dengan uang dimaksimalkan agar pembobol bank sampai jatuh miskin mengganti uang yang dibobolnya. Langkah ini dilakukan sebagai efek jera atau membuat mereka takut untuk melakukan aksi membobol bank lagi, namun yang lebih utama hukuman maksimal ini untuk melindungi kepentingan nasabah atau masyarakat yang uangnya dititip di bank.(*)
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #