JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)--Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami informasi soal pengambilan kebijakan dalam penyidikan kasus tindak pidana korupsi pemberian surat keterangan lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim senilai Rp4,8 triliun.Dalam pidan korupsi yang merugikan negara Rp3,7 triliun ini KPK menetapkan mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Tumenggung sebagai tersangka.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Selasa (2/5/2017) menyatakan, lembaganya ingin mendalami apa yang terjadi pada rentang waktu tersebut. Di samping itu juga akan menggali informasi-informasi tentang apakah pengambilan kebijakan tersebut sesuai dengan prosedur saat itu.
"Dilakukan berdasarkan aturan apa, kemudian kronologis pengambilan kebijakannya seperti apa dan jika dalam kondisi-kondisi tertentu, misalnya obligor masih memiliki kewajiban namun kemudian diterbitkan SKL itu diduga melanggar apa," kata Febri.
Dalam penyidikan kasus itu, KPK pada Selasa memeriksa Menteri Keuangan dan Koordinator Perekonomian periode 2000-2001 Rizal Ramli.
Rizal Ramli sesuai diperiksa KPK menyatakan, kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) tidak bisa dilepaskan dari tekanan IMF kepada Indonesia.
"Seperti diketahui di Asia pada 1997-1998 mengalami krisis, negara-negara tetangga kena krisis dan Indonesia juga kena. Kalau kita undang IMF ekonomi Indonesia tetap kena krisis dan anjlok sekitar enam persen, dua persen bahkan nol persen," kata Rizal.
Namun, kata dia, Menteri Perekonomian pada waktu itu mengundang IMF akibatnya ekonomi Indonesia malah anjlok ke minus 13 persen.
"Sebelum Managing Director IMF Michael Camdessus ketemu Pak Harto pada Oktober 1997, saya diundang dengan beberapa ekonom. Saya satu-satunya ekonom yang menolak IMF datang ke Indonesia karena pengalaman di Amerika Latin, IMF malah bikin lebih rusak daripada lebih bikin bagus," katanya.(plt/ant)